Merekam Eksistensi Wetu Telu dan Tanah Ulayat Masyarakat Adat Bayan

Sekolah adat menjadi ikhtiar lestarikan budaya

Lombok Utara, IDN Times - Keberadaan masyarakat adat Desa Bayan diyakini sebagai peradaban agama islam pertama di Pulau Lombok. Hal itu terbukti dari keberadaan Masjid Kuno yang terletak di Desa Bayan Beleq Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.

Awal mula pembangunan Masjid Kuno itu pun menyimpan banyak sejarah. Masjid yang diyakini sudah berdiri sekitar 300 tahun lalu itu mulai melahirkan banyak budaya adat istiadat yang terus dilestarikan oleh masyarakat adat di Desa Bayan. Salah satunya ialah adanya Wetu Telu. Selain itu, masyarakat adat juga secara bersama-sama menggarap tanah ulayat.

Sejak awal didirikan, masjid kuno di Desa Bayan Beleq menyimpan sejarah dan budaya yang melekat di tengah masyarakat adat Bayan itu sendiri. Tercatat sebagai masjid tertua di Lombok yang diperkirakan berdiri setelah Raja Lombok (yang berkedudukan di Teluk Lombok) menerima Islam sebagai agama kerajaan. Ajaran agama Islam mulai dikembangkan ke seluruh wilayah kerajaan tetangga, seperti ke daerah Langko, Pejanggik, Parwa, Sarwadadi, Bayan, Sokong, dan Sasak.

Adat dan budaya itu kini menemukan sejumlah tantangan. Masyarakat adat Bayan terus berusaha melestarikan adat istiadat itu di tengah perkembangan zaman yang kian modern.

1. Peninggalan bersejarah dan makna wetu telu

Merekam Eksistensi Wetu Telu dan Tanah Ulayat Masyarakat Adat BayanMasjid Bayan Beleq (travel.okezone)

Menurut salah satu masyarakat adat Desa Bayan yang bermukim di Desa Anyar Kecamatan Bayan Atriadi (25) menjelaskan Masjid Kuno Bayan Beleq adalah peninggalan terpenting yang dapat dijadikan sebagai bukti peradaban penyebaran agama islam di Pulau Lombok.

Sebelumnya, masyarakat yang tinggal di Desa Bayan memiliki paham animisme dan dinamisme. Sejak kemunculan itulah pola dan budaya masyarakat adat Bayan terbentuk dalam adat istiadat bernama Wetu Telu (tiga waktu) manusia.

“Jelas dalam perayaan budaya Wetu Telu itu banyak perubahan dari masa-ke-masa,” jelas Atriadi, Minggu (10/4/2022).

Beberapa akulturasi dari perayaan budaya Wetu Telu sendiri dirangkai dalam beberapa pelaksanaan adat istiadat. Dalam sejarah lahirnya adat istiadat di tengah masyarakat adat Bayan, pemaknaan Wetu Telu sendiri terus berkembang.

Atriadi mengulas beberapa rangkaian acara cara menghargai kehidupan manusia berdasarkan tiga rangkaian dalam wetu telu dapat dibagi dalam tiga fase. Pertama ialah merayakan kelahiran manusia. Kedua merayakan kehidupan manusia dan perkembangan, dan fase ketiga adalah merayakan kematian manusia itu sendiri.

“Nah, masing-masing fase ini manusia akan menemukan pola dan bentuk kehidupan yang baru dari fase sebelumnya. Nah inilah yang banyak dirayakan dalam bentuk adat istiadat di tengah masyarakat Bayan,” jelasnya.

2. Budaya berubah mengikuti perkembangan zaman

Merekam Eksistensi Wetu Telu dan Tanah Ulayat Masyarakat Adat BayanProsesi dalam Maulid Adat Bayan di Lombok Utara (https://www.wisatadilombok.com/)

Atriadi tak menampik adanya pergeseran budaya pada setiap perayaan ritual keagamaan di tengah masyarakat adat Wetu Telu Desa Bayan Lombok Utara.

Salah satu pergeseran yang mulai tampak akhir-akhir ini kata Atriadi orang-orang yang boleh masuk masjid Kuno Bayan Beleq itu bukan lagi orang-orang yang dulunya dari keturunan orang ternama yang lahir di Desa Bayan.

Semakin ke sini, kebijakan itu berubah. Siapa sangka, wisatawan bahkan masyarakat umum yang datang berkunjung ke Masjid Kuno itu diperbolehkan untuk masuk hanya sekedar melihat-lihat kontruksi bangunan Masjid Kuno sebagai sebuah lokasi wisata.

“Kalau dulunya masyarakat adat melarang orang masuk ke dalam masjid kuno. Karena itu hanya untuk ritual ketika merayakan hari-hari besar seperti Maulid adat Desa Bayan,” katanya.

Perkembangan zaman pun mengubah pola kehidupan masyarakat adat Bayan akhir-akhir ini. Positifnya, kehidupan masyarakat adat lebih menyesuaikan seiring perubahan zaman. Misalnya, dari keperluan kelengkapan ketika acara perayaan upacara mate (mati) ketika proses pembuatan kurung batang atau keranda. Biasanya, tali pengikat keranda mayat menggunakan benang khusus yang dibuat oleh masyarakat adat.

“Tapi untuk memudahkan sekarang boleh pakai tali rafia. Perubahan seperti ini sudah sejak lama terjadi,” katanya.

Kemudian para acara pemandian jenazah ketika upaca mate, biasanya benda sebagai wadah penampung air pada proses pemandian jenazah itu menggunakan kendi yang dibuat oleh masyarakat adat dari tanah Desa Bayan.

“Nah untuk memudahkan sekarang itu menggunakan ember dari atau wadah lainnya. Jadi hal-hal seperti itu sekarang sudah mulai bergeser pakai plastik. Seperti bak dan sejenisnya,” kata Atriadi. 

Baca Juga: Tersangka Hoaks Dana PEN, Polda NTB Tahan Ketua KSU Rinjani 

3. Pakaian adat dimodifikasi modern

Merekam Eksistensi Wetu Telu dan Tanah Ulayat Masyarakat Adat BayanProsesi dalam Maulid Adat Bayan di Lombok Utara (laluhusnulyakin.blogspot.com)

Jenis pakaian di tengah masyarakat adat Bayan juga mulai sedikit berubah. Saat ini pakaian atau alat salat boleh acap kali juga digunakan dalam ritual acara-acara adat dan sebaliknya.

Dulu, masyarakat adat di Desa Bayan selalu memakai sarung Brodak Penjong ketika acara adat dilakukan. Selain itu, saat upacara keagamaan misalnya seperti beberapa tradisi mestinya menggunakan capuk atau ikat kepala khas Sasak sebagai penanda menjunjung nilai budaya.

"Tapi sekarang masyarakat mulai ada pakai peci. Seharusnya menggunakan capuk. Dalam hal ritual budaya dan keagamaan," kata Atriadi.

Perubahan-perubahan kecil seperti hal tersebut bukanlah ancaman yang serius di tengah masyarakat adat di Desa Bayan. Yang menjadi ancaman ketika nilai leluhur dalam Lokaq tidak lagi diterapkan sesuai keputusan tetua adat.

"Sebenarnya ancaman itu sesuai dengan perkembangan peradaban. Salah satu yang dibahas pola kehidupan pemuda saat ini ialah yang melakukan pendidikan keluar daerah pulang membawa sesuatu yang baru yang jauh dari yang diketahui oleh masyarakat adat. Inilah tantangan sebenarnya. Bahwa ada yang menganggap sebagian ritual itu bertentangan dan semacamnya," katanya.

"Misalnya seperti paham Wetu Telu. Itu tidak ada yang berubah. Ada banyak makna di sana yang berkaitan konsep tentang kehidupan dan keyakinan," sambungnya.

4. Bangun sekolah adat

Merekam Eksistensi Wetu Telu dan Tanah Ulayat Masyarakat Adat BayanDok.probadi/Ahmad Viqi

Pergeseran budaya dan adat istiadat tersebut kata Atriadi mestinya ada upaya untuk tetap mempertahankan adat dan budaya di tengah masyarakat Bayan. Upaya yang telah dilakukan untuk kekayaan budaya masyarakat adat Bayan ialah dengan mencoba merancang untuk membentuk sekolah adat.

"Di desa adat di Badui dan beberapa adat di Jawa itu sudah mulai ada sekolah khusus masyarakat yang tujuannya untuk memperkuat nilai-nilai budaya di tengah masyarakat. Inilah yang sedang kami bahas di beberapa Desa di Bayan," terangnya.

Rencana pembuatan sekolah adat itu mulai serius dibicarakan agar bisa membunuh rasa apatis di tengah kehidupan kaum muda di Desa Bayan.

"Kami baru membahas masukan tetuah masyarakat adat Bayan di desa Anyar. Ini semata-mata untuk menghadapi perubahan itu," katanya.

Rencana pembuatan sekolah adat itu juga sudah mulai pada tahap gagas pendapat. Masing-masing remaja dan tetua di seluruh desa adat di Kecamatan Bayan mulai dikumpulkan. Baik dari masyarakat pedalaman hingga masyarakat luar desa Adat.

"Jadi ada tiga perwakilan desa. Inilah yang akan memutuskan apakah sekolah adat ini diperlukan atau tidak. Tetapi menurut saya itu sangat perlu," ujarnya. 

5. Tanah ulayat diutak-atik pemda

Merekam Eksistensi Wetu Telu dan Tanah Ulayat Masyarakat Adat BayanIlustrasi Rumah Adat (Irian) (IDN Times/Mardya Shakti)

Selama ini aturan pengelolaan tanah pecatu atau tanah Ulayat milik keliang atau kepala Dusun mestinya dikelola oleh masyarakat adat. Dari hasil tanah seluas 400 meter persegi itu digunakan untuk sumbangan hasil pertanian saat upacara keagamaan. Misalnya seperti maulid adat, lebaran adat serta acara lainnya.

"Pemerintah sudah sudah ada niat untuk ambil bagian di lahan itu. Pemda Lombok Utara mau mengambil tanah ulayat ini dan hasilnya dibagi dengan pemerintah," katanya.

Padahal dalam aturan adat Bayan, tanah Ulayat tersebut semestinya harus dikelola oleh para pemangku adat. Hasil pertanian dari lahan tersebut wajib dibagikan ke semua masyarakat adat Bayan.

"Jadi Pemda sudah mematok tanah ulayat ini. Dulunya hasil panen dari tanah ini dijadikan Pembekal untuk perayaan maulid adat. Tapi 3 tahun terakhir ini sudah dipatok oleh Pemda," beber Atriadi.

Atriadi pun mengakui perubahan perubahan itu memang akan terjadi. Tetapi mestinya gerakan-gerakan pelestarian adat itu harus dilakukan sejak dini. Agar konsep tentang pemaknaan Wetu Telu dari kehidupan masyarakat adat Bayan tidak hilang ditelan zaman. 

Baca Juga: Dewan Sebut Kondisi APBD 2022 Gak Sehat karena Utang NTB Rp227 Miliar

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya