Melihat Perayaan Misa dan Natal di Pulau Seribu Masjid

Perayaan Natal terasa berbeda sejak pandemik

Mataram, IDN Times - Perayaan Hari Raya Natal tahun ini mengikuti protokol kesehatan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Begitu  pula pada saat malam Misa Natal 2021 di gereja.

Suasana  Misa Natal tahun ini tak sama dengan tahun-tahun sebelumnya bagi Lidya Lionita (26). Warga Kota Mataram ini berharap bisa merayakan malam Misa Natal seperti sebelum pandemik.

"Karena masih pandemik COVID-19 mungkin ya, jadi pembatasan itu masih ada," kata Lidya, Kamis (23/12/2021).

Sebelum pandemik, perayaan Natal cukup ramai di gereja-gereja yang ada di Kota Mataram. Saat ini Lidya dan keluarganya tetap bisa merasakan kehangatan perayaan Hari Raya Natal meski dengan pembatasan dan prokes yang ketat.

Bagi Lidya, merayakan Natal di pulau yang dijuluki seribu masjid ini selalu aman dan damai. Tak ada halangan apapun selama perayaan Natal di gereja-gereja Kota Mataram. Bahkan beberapa kelompok pemuda umat Hindu dan Muslim di Kota Mataram juga turut membantu dalam pengamanan Natal di gereja.

Bentuk keberagaman ini selalu dapat dilihat pada perayaan hari-hari besar umat beragama di Lombok. Saling menghormati ditunjukkan untuk menjaga Kota Mataram tetap aman dan nyaman bagi umat beragama.

1. Pluralisme di tengah masyarakat Lombok

Melihat Perayaan Misa dan Natal di Pulau Seribu MasjidPerayaan Misa di salah satu gereja di Kota Mataram (Doc Lidya)

Perayaan Natal dalam dua tahun terakhir masih tetap sama bagi Lidya. Selama pandemik, dia tidak bisa berkumpul dengan keluarganya. Dia hanya bisa saling berbagi kehangatan melalui sambungan telepon.

"Ibu di Surabaya, kakak di Mataram, saya di Gili Trawangan. Jadi semoga bisa kumpul keluarga," kata Lidya.

Dia berharap bisa merayakan malam Misa dan Natal seperti tahun-tahun sebelumnya. Bersama keluarga dan kerabat serta mendatangi gereja tanpa harus khawatir tertular covid-19.

Selama merayakan Natal di Lombok, dia merasa senang. Sebab dia merasakan kehangatan dan keberagaman warga sekitar, meski berbeda keyakinan dengan dirinya.

Dia sangat mengapresiasi kerabat dan rekan-rekannya yang menghargai keyakinan yang dia anut. Meski dia merupakan kelompok minoritas di lingkungannya, namun semua orang bersikap baik dan menghargai dirinya. Sehingga dia bisa menjalankan ibadah dengan khusyuk dan nyaman.

2. Perayaan Natal berbeda sejak pandemik

Melihat Perayaan Misa dan Natal di Pulau Seribu MasjidIlustrasi Natal. (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Dalam lima tahun terakhir, perayaan Natal sangat berbeda bagi Lidya. Ayah Lidya meninggal dunia usai perayaan Misa Natal di Kota Mataram pada tahun 2016 lalu. Perayaan Natal semakin terasa berbeda sejak pandemik melanda dunia.

"Jadi bapak meninggal pas hari natal. Jadi selain kunjungan ke rumah keluarga paling kunjungan ke makam bapak juga," kata gadis yang berdomisili di Ampenan ini.

Lidya mengakui suasana Natal dalam dua tahun terakhir sangat berbeda. Dia dan keluarganya yang lain tidak bisa berkumpul karena pembatasan akibat pandemik. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk bisa berkumpul juga membengkak sejak pandemik. Sehingga perbedaan benar-benar terasa sejak dua tahun ini. Apalagi tanpa kehadiran ayahnya yang sudah meninggal dunia lebih dulu.

"Jadi biasanya itu kan kumpul saja. Enggak ada yang berbeda. Tapi beberapa tahun ini memang terasa berbeda karena jarang kumpul karena pandemi COVID-19," ujar Lidya.

3. Pembatasan jemaah masuk gereja

Melihat Perayaan Misa dan Natal di Pulau Seribu MasjidGereja Katedral Jakarta (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Tahun sebelumnya, Lidya tidak bisa merayakan malam Misa di Gereja Antonius Kecamatan Ampenan Kota Mataram. Sebab ada pembatasan karena pandemik. Namun tahun ini ada sedikit kelonggaran, dia bisa beribadah meski dengan pembatasan dan prokes yang ketat.

"Misalnya kayak anak kecil tidak boleh di Gereja. Dia hanya ikut Misa online," kata Lidya.

Pada perayaan Natal kali ini, dia berdoa dan berharap pandemik ini segera hilang. Sehingga dia dan warga lainnya bisa beribadah dengan tenang tanpa khawatir dibubarkan karena kuota melebihi kapasitas. Apalagi di Kota Matara mini tidak banyak gereja. Sehingga jika jumlah jemaah dalam satu gereja dibatasi, jemaah lain tidak kebagian untuk memasuki gereja. Sehingga harus merayakan malam Misa dan Natal di rumah.

"Kan pandemi gak boleh ke Gereja, yang membedakan inadah online waktu awal-awal korona," katanya.

Lidya juga berharap agar kebijakan Pemerintah Daerah Kota Mataram tidak lagi membatasi jumlah jemaah yang ikut merayakan Misa di masing-masing Gereja di Kota Mataram.

"Saya berharap pandemi selesai dan normal lagi. Jadi kalau Misa kan bisa diajak ke Gereja semua bisa normal. Orang tidak lagi ibadah virtual. Karena khusyuknya berbeda virtual dengan tidak," pungkas Lidya.

Baca Juga: Wow! Mataram jadi Kota Terbaik dalam Pencegahan Korupsi di Indonesia

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya