Akademisi Nilai Netralitas ASN Tidak Bisa Dinilai dari Unggahan Foto

Substansi netralitas dalam arti sebenarnya

Kupang, IDN Times - Pengamat politik yang juga pengajar ilmu komunikasi politik dan teori kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Mikhael Raja Muda Bataona mengatakan netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam Pemilu tidak bisa hanya dinilai dari unggahan foto bersama kontestan Pemilu.

"Larangan agar ASN tidak memasang foto bersama kontestan Pemilu merupakan penegasan tentang netralitas ASN. Hanya saja pertanyaannya adalah apakah netralitas itu hanya berkaitan dengan foto, atribut dan semua ornamen yan bisa divisualisasi?. Hal paling substansial adalah netralitas dalam arti yang sebenarnya," kata Mikhael Bataona dilaporkan Antara di Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu, (23/9/2023).

1. Netralitas ASN bukan sekadar slogan

Akademisi Nilai Netralitas ASN Tidak Bisa Dinilai dari Unggahan FotoGubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat memberi pengarahan kepada para ASN yang menjadi peserta pelatihan kepemimpinan di Gedung BPSDM Jateng, Jalan Srondol, Banyumanik, Kota Semarang. (IDN Times/Dok Humas Pemprov Jateng)

Menurut dia, bukan sekadar slogan netralitas karena bisa saja mereka tidak unggah foto tetapi bermain kekuasaan untuk mengarahkan orang memilih pihak tertentu. "Jadi, larangan ini menurut saya, bukan sesuatu yang akan menjamin netralitas ASN," katanya.

Dia mengatakan, sebagai penyelenggara pemilu, tugas Bawaslu dan KPU juga Kementerian Dalam Negeri yang membawahi para ASN agar netralitas itu dihayati dan dijalankan. Bukan sekadar imbauan belaka karena yang lebih mengerikan adalah ASN di setiap kota/kabupaten digerakkan oleh janji uang, jabatan dan kekuasaan untuk menjadi tim sukses seorang kontestan.

Dan ini yang selama ini terjadi dari pemilu ke pemilu di mana anak atau istri seorang bupati atau wali kota bisa menjadi anggota DPR atau DPR RI karena tim suksesnya adalah para ASN, katanya.

"Jadi yang harus benar-benar diawasi adalah relasi kuasa dan permainan kekuasaan, bukan sekedar unggahan foto atau postingan mendukung salah satu kontestan, sebab, kita bicara tentang politik praktis yang penuh dengan dramaturgi," katanya.

Baca Juga: Gempa Kupang M 5,7 Akibat Tabrakan Lempeng Indo-Australia dan Eurasia

2. Aturan birokrasi di lingkungan pejabat ASN

Akademisi Nilai Netralitas ASN Tidak Bisa Dinilai dari Unggahan FotoIDN Times/Hendra Simanjuntak

Apalagi para pejabat di lingkungan birokrasi sangat menguasai aturan. Ketika seorang kepala dinas misalnya, menjadi tim sukses bersama geng kepala dinas lainnya di sebuah kota/kabupaten untuk meloloskan seorang anak pejabat misalnya, maka mereka akan bermain dengan taktik dramaturgi ini.

Mereka akan menggerakkan para ASN lainnya yang menjadi tim mereka untuk bekerja lewat cara-cara yang terlihat seolah-seolah bersih dan taat aturan.

Padahal apa yang tampak di panggung depan itu hanya kamuflase karena di belakang panggung, mereka akan menggerakkan orang-orang atau masyarakat yang dibantu itu untuk memilih si A atau si B yang adalah anak pejabat, atau orang dekat Bupati, wali kota, dan lainnya.

"Jadi urusan foto itu menurut saya urusan periferal. Itu hanya sesuatu yang tidak substansial dalam permainan kekuasaan. Yang paling mengerikan adalah manuver-manuver para pejabat di lingkungan ASN untuk mendukung orang-orang tertentu. Inilah yang paling penting," katanya.

Artinya, back stage atau panggung belakang para ASN yang harus diawasi, bukan panggung depannya," kata Mikhael Bataona.

3. Pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden sesuai jadwal KPU

Akademisi Nilai Netralitas ASN Tidak Bisa Dinilai dari Unggahan FotoIlustrasi kampanye (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)

Berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden dijadwalkan dimulai pada 19 Oktober sampai dengan 25 November 2023.

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Saat ini, terdapat 575 kursi di parlemen sehingga pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2024 harus memiliki dukungan minimal 115 kursi di DPR RI. Bisa juga, pasangan calon diusung oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu 2019 dengan total perolehan suara sah minimal 34.992.703 suara.

Baca Juga: Bulog NTT Salurkan Beras Bantuan Pangan kepada 16.140 Warga Kupang

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya