Tren Perpisahan Sekolah, Tradisi atau Sensasi?

Mataram, IDN Times – Larangan pelaksanaan wisuda di sekolah, mulai dari taman kanak-kanak hingga jenjang menengah sempat mencuat ke permukaan setelah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyatakan penolakannya terhadap tradisi tersebut. Ia menyampaikan kekhawatirannya tentang wisuda yang dinilai telah bergeser menjadi ajang seremonial yang membebani orangtua siswa.
Pernyataannya memicu respons beragam, termasuk dari kalangan siswa. Seorang pelajar bahkan mempertanyakan kebijakan itu secara terbuka. Ia sempat berdebat dengan Dedi Mulyadi hingga videonya menjadi viral. Ini sekaligus menandakan adanya perbedaan pandangan antara generasi muda dan pemangku kebijakan mengenai makna perayaan kelulusan.
Dalam satu dekade terakhir, tradisi wisuda dan perpisahan yang dulunya hanya identik dengan kelulusan perguruan tinggi, kini menyebar ke hampir semua jenjang pendidikan di Indonesia. Anak-anak usia dini kini juga ikut tampil mengenakan toga, berdiri di atas panggung megah, bahkan berfoto bak sarjana sungguhan. Seremonial semacam ini tak hanya menjadi simbol kelulusan, tetapi juga bagian dari tren yang terus menjalar ke berbagai daerah.
Fenomena ini tidak datang tanpa konsekuensi. Di berbagai kota dan kabupaten, perayaan kelulusan menjadi ajang yang tak jarang menimbulkan kontroversi. Sekolah menyewa gedung, mengundang pembawa acara, hingga menyelenggarakan pesta dengan biaya yang cukup besar. Tak pelak, hal ini memunculkan perdebatan di tengah masyarakat, terutama terkait siapa yang menanggung biayanya dan untuk siapa sebenarnya acara itu diselenggarakan.
Bagi sebagian orangtua, terutama dari kalangan menengah ke atas, perayaan semacam ini dianggap sebagai bentuk apresiasi dan motivasi bagi anak-anak. Mereka percaya bahwa memberi pengalaman seremonial sejak dini bisa menanamkan rasa percaya diri serta menghargai proses belajar.
Namun, tidak semua orangtua memandang demikian. Tak sedikit yang justru merasa terbebani, baik secara emosional maupun finansial. Biaya sewa pakaian toga, iuran panggung, konsumsi, hingga sewa fotografer bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Belum lagi tekanan sosial dari sesama orangtua atau sekolah yang secara halus mendorong semua siswa ikut serta.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan yang lebih mendalam, apakah perayaan kelulusan ini benar-benar esensial dalam proses pendidikan, atau justru menyimpang dari tujuan awal sekolah sebagai tempat belajar dan bertumbuh?. Beberapa pengamat pendidikan menilai bahwa alih-alih fokus pada pencapaian akademik dan pengembangan karakter, sekolah kini justru ikut arus tren visual yang lebih mementingkan tampilan luar.
Apalagi, dalam praktiknya, kegiatan wisuda ini kerap menimbulkan kesenjangan sosial. Anak-anak yang tidak mampu terpaksa ikut. Jika tidak, mereka bisa merasa terkucilkan. Bahkan, ada yang mengalami perundungan karena tidak tampil dengan seragam toga seperti teman-temannya.
Dalam konteks inilah muncul lagi pertanyaan besar, apakah perayaan kelulusan ini sarat makna atau justru menciptakan beban baru dalam sistem pendidikan kita?.
Berikut liputan kolaborasi dari berbagai hyperlocal IDN Times.
1. Dari TK hingga SMA, tradisi perpisahan sekolah menjamur di seluruh jenjang

Di Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, seorang wali murid bernama Rubianti Sudikio menjadi salah satu orangtua yang menentang adanya perpisahan atau wisuda sekolah, apalagi dilakukan di hotel. Ia membagikan pengalaman saat anaknya mengalami perundungan karena mengikuti keputusan orangtuanya untuk tidak melakukan acara wisuda di sebuah hotel.
"Saya berapa kali diajak rapat, tapi saya tidak pernah mau melibatkan diri dalam rapat karena tidak ada gunanya juga. Komite sekolah menyetujui perpisahan ataupun wisuda. Jadi untuk apa kita bagi orangtua yang tidak setuju, hanya menjadi pendengar setia saja," katanya.
Saat ini, Pemerintah Kota Makassar sudah menegaskan larangan kegiatan perpisahan siswa SD di luar lingkungan sekolah apabila kegiatan tersebut membebani orang tua siswa, baik secara finansial maupun logistik. Kebijakan itu tertuang dalam Surat Edaran bernomor 800/2048/S.Edar/Disdik/IV/2025 yang diteken pada 21 April 2025.
Sementara di Mataram, Provinsi NTB Pemkot telah mengeluarkan larangan keras terhadap praktik wisuda untuk TK hingga SMP. Wali Kota Mataram, Mohan Roliskana menilai acara itu tidak memiliki dasar pedagogis (bersifat mendidik, red) yang kuat dan cenderung hanya mengejar gaya hidup.
Wali Kota Mataram telah mengeluarkan surat edaran nomor 400.3.1/999/SETDA/II/2025 tertanggal 24 Februari 2025. Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram Yusuf menjelaskan surat edaran itu telah disampaikan ke seluruh sekolah jenjang TK hingga SMP sederajat di Kota Mataram.
"Dilarang keras wisuda tingkat TK hingga SMP di Kota Mataram. Kita akan pantau nanti, kita akan beri tindakan tegas kalau ada sekolah-sekolah yang melanggar aturan," kata Yusuf dikonfirmasi IDN Times, Jumat (9/5/2025).
Larangan juga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat lewat Surat Edaran (SE) nomor: 42/PK.03.04/KESRA. SE ini disebarkan ke seluruh satuan pendidikan yang ada di Jabar, yang diterbitkan 30 April 2025 dan diteken secara elektronik oleh Gubernur Dedi Mulyadi.
Dalam SE itu, nomor satu poin C menerangkan bahwa seluruh sekolah PAUD, SD, SMP, SMA/SMK diminta tidak menyelenggarakan wisuda/perpisahan dan kegiatan yang bersifat seremonial dengan biaya tinggi.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bandar Lampung yang mengimbau seluruh sekolah untuk menggelar acara perpisahan secara sederhana. Kepala Bidang Pendidikan Sekolah Dasar (Dikdas) Disdik Bandar Lampung, Mulyadi Syukri mengatakan, hal ini dilakukan agar tidak membebani orangtua siswa.
“Kita sudah sosialisasi ke sekolah-sekolah soal surat edaran gubernur. Intinya, perpisahan bisa tetap digelar, tapi jangan sampai keluar biaya besar,” katanya, Senin (5/5/2025).
Begitu pula yang dilakukan oleh Disdik Jawa Timur (Jatim). Pemda menerbitkan surat edaran nomor 000.1.5/1506/101.5/2025 yang ditandatangani pada tanggal 6 Maret 2025. Surat tersebut berisi tentang peniadaan wisuda untuk SMA/SMK.
Kepala Disdik Jatim, Aries Agung Paewai mengatakan kebijakan ini dibuat untuk menyikapi keresahan yang dialami masyarakat. Dari laporan yang ia terima, biaya wisuda tinggi. Sehingga memberatkan orangtua atau wali murid.
"Kami menyadari bahwa kelulusan seharusnya menjadi momen yang membahagiakan bagi seluruh siswa tanpa memberatkan pihak manapun. Namun kita juga ingin kegiatan ini tidak memberatkan orangtua," tegasnya.
Namun, tidak semua pemda satu suara. Di Provinsi Bali, Disdik Klungkung justru memperbolehkan acara pelepasan siswa atau perpisahan, asalkan digagas oleh komite sekolah dan tidak membebani orangtua. Selain itu, kegiatan perpisahan sekolah juga tidak boleh dilakukan di luar Provinsi Bali.
"Kami memberikan keleluasaan kepada pihak komite untuk membuat kegiatan pelepasan siswa. Tapi perlu digarisbawahi, komite yang terdiri dari orangtua siswa, bukan program sekolah," ujar Kepala Dinas Pendidikan Klungkung, I Ketut Sujana, Sabtu (10/5/2025).
2. Penilaian orangtua terpecah, apresiasi pencapaian atau beban finansial?

Salah satu alasan utama acara wisuda menjadi kontroversial adalah soal biaya. Banyak orangtua, terutama dari kalangan pekerja informal, mengeluhkan tingginya kontribusi biaya yang diminta sekolah, salah satunya Hera Wati dari Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Ia menilai pesta perpisahan sama sekali tidak berguna. Karena sudah pasti anaknya yang duduk di bangku SMP akan menyetor iuran.
"Sudah pasti keluar uang kalau ada acara seperti itu. Anak saya yang pertama dulu dari SD, SMP, SMA selalu minta uang tabungan untuk perhelatan perpisahan, bukan murah. Nah sekarang kalau bisa jangan lah, repot nanti. Kebutuhan rumah tangga juga semakin banyak," kata Hera Wati.
Hal berbeda disampaikan oleh salah seorang ibu rumah tangga di Kecamatan Denpasar Barat bernama Tri Widianti (42). Ia mengatakan, momen wisuda pada jenjang pendidikan dasar dan menengah memiliki sisi positif dan negatif. Jika memang hal tersebut dirasa perlu untuk mendukung kepercayaan diri anak dalam belajar, Tri menilai, wisuda di pendidikan dasar dan menengah bisa dilaksanakan.
"Secara emosional, tentu acara itu menyentuh dan berkesan. Tapi dari sisi finansial, kadang terasa jadi beban juga, terutama kalau biayanya cukup besar atau terlalu mewah," kata dia, Jumat (9/5/2025).
Sebagai orangtua, Tri menilai wisuda di jenjang pendidikan dasar dan menengah bisa juga menjadi bentuk apresiasi sebagai penghargaan atas keberhasilan anak-anak. Perasaannya berkecamuk antara bangga karena sang anak sudah menyelesaikan satu tahap pendidikan, dan juga haru karena terasa anak-anaknya bertumbuh dengan cepat.
"Rasanya cepat sekali waktu berlalu. Tiba-tiba sudah waktunya dia melangkah ke jenjang berikutnya," ungkapnya.
3. Dilema sekolah, ingin sederhana di tengah tuntutan siswa

Banyak sekolah mengaku terjebak antara keinginan orangtua yang ingin perayaan mewah dan tuntutan dinas yang mengimbau kesederhanaan. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi pun menegaskan, larangan diberlakukan karena kerap kali gelaran wisuda dan perpisahan anak sekolah itu mengharuskan orangtua untuk mengeluarkan biaya yang tinggi.
"Penegasannya sudah jelas. Tidak boleh ada wisuda, tidak boleh ada perpisahan berbiaya tinggi," ujar Dedi saat ditemui di Gedung Sate, Senin (5/5/2025).
Dedi menjelaskan, wisuda atau perpisahan ini kerap membuat orangtua melakukan berbagai cara agar anaknya bisa turut merayakan dengan teman-temannya. Bagi yang tidak mampu, akhirnya meminjam uang, di mana bunganya tinggi dan mencekik.
Hal berbeda terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Warganet heboh melihat perpisahan SMAN 1 Sungai Tabuk yang digelar di klub malam. Acara ini mengundang kecaman luas. Peristiwa itu memicu desakan agar sekolah lebih mengontrol acara yang melibatkan siswa, terutama di luar lingkungan akademik.
Acara perpisahan tersebut berlangsung pada Kamis (8/8/2025) pagi hingga siang, dihadiri para guru hingga wali murid. Dari informasi yang dihimpun, tiap siswa membayar uang partisipasi Rp350 ribu untuk mengikuti perpisahan tersebut.
Kepala Sekolah SMAN 1 Sungai Tabuk, Elly Agustina, menyampaikan bahwa seluruh rangkaian acara sepenuhnya diinisiasi dan dilakukan oleh siswa, dengan panitia dari OSIS kelas XI, tanpa campur tangan dari pihak sekolah. Termasuk soal biaya anggaran dan patungan, semua diatur sendiri oleh siswa. Kepala sekolah mengaku tidak mengetahui detailnya.
“Sebenarnya sekolah sempat membentuk panitia, tapi ternyata siswa juga punya panitia sendiri. Mereka yang mengatur semuanya 100 persen, dari tempat, konsumsi, undangan, hingga rundown acara, dan kami hanya sebagai pendamping agar tidak lepas kontrol,” ujar Elly.
Hal ini berbeda dengan kebijakan di daerahnya. Jauh-jauh hari, Dinas Pendidikan Provinsi Kalsel telah mengeluarkan surat edaran nomor: 400.3/0688/Disdikbud/2024 tentang perpisahan menjelang akhir tahun, yang isinya melarang acara perpisahan dilakukan secara mewah dan membebani orangtua siswa.
Seksi Kurikulum dan Penilaian Disdikbud Kalsel, Gusti Musriadi, menyampaikan acara perpisahan serta pengukuhan kelulusan siswa SMA harus digelar secara sederhana. Idealnya, tetap di lingkungan sekolah.
Meski begitu, ada juga sekolah yang melakukan seremonial kelulusan tanpa membebani orangtua. Salah satunya SMA Stela Duce 2 (Stero) Kota Yogyakarta. Siswa yang akan lulus menghimpun dana dari sponsor hingga berjualan makanan dan pakaian.
Sebanyak 60 siswa SMA Stero Kota Yogyakarta yang tergabung di OSIS dan kepanitiaan acara prom night atau farewell party, mulai mengerjakan acara tahunan dengan menjual makanan. Kegiatan ini merupakan target tim dana, atau disebut usaha dana (usda). Salah satu Koordinator Usda Stero, Cornelia Dian menerangkan, makanan yang dijual mulai nasi ayam, nasi goreng, kwetiaw, kroket, cookies selama empat bulan.
"Makanan ini dijual harga Rp3 ribu untuk kroket, Rp6 ribu untuk cookies, dan makanan beratnya sekitar Rp12 ribu. Ini yang beli murid Stero sendiri, jadi setiap hari kami mendesain untuk diunggah di medsos apa saja yang dijual, dan saat jam istirahat murid yang memesan ambil di kafetaria," terang siswa kelas XI ini.
4. Sikap pemerintah daerah: ada yang tegas, ada yang ragu

Sejumlah pemda mengambil sikap tegas terkait persoalan ini. Pemprov Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan pemda lainnya secara terbuka melarang wisuda dari PAUD hingga SMA. Mereka menganggap wisuda sebagai budaya baru yang tidak sejalan dengan esensi pendidikan dasar.
Namun di Jawa Tengah (Jateng), peraturan justru lebih menekankan pada pelarangan konvoi dan pesta pora. Kapolda bahkan menganjurkan agar siswa cukup merayakan kelulusan dengan ibadah di masjid atau gereja. Kebijakan ini masih belum merata dan seringkali tak diikuti sanksi tegas. Hal ini menunjukkan lemahnya regulasi dan pengawasan terhadap praktik yang semakin massif.
Gubernur Jateng, Ahmad Luthfi melarang pelajar SMP, SMA, SMK, dan SMA Luar Biasa merayakan kelulusan dengan arak-arakan atau konvoi kendaraan. Sebab, kegiatan tersebut dinilai mengganggu ketertiban umum.
"Tak perlu hura-hura. Kita jaga ketertiban, tak merusak, tak foya-foya apalagi sampai melanggar hukum," kata Luthfi dalam keterangan yang diterima IDN Times, Selasa (6/5/2025).
Luthfi menyarankan agar kelulusan sekolah itu disikapi dengan rasa syukur. Syukur itu bisa dilakukan dengan pengajian Yasinan di Masjid atau beribadah ke gereja.
"Cukup syukur saja. Ke gereja atau ke masjid," kata Luthfi.
5. Ada potensi pelanggaran, tapi belum ada regulasi khusus

Perwakilan Ombudsman Provinsi Jawa Barat menilai kegiatan wisuda yang kerap kali mengharuskan adanya biaya yang harus merogoh uang orangtua berpotensi menimbulkan maladministrasi atau pelanggaran. Aturan larangan ini pada prinsipnya sudah ada dalam Surat Edaran Kemendikbud Nomor 14 tahun 2023 tentang Kegiatan Wisuda Pada Satuan Pendidikan Anak Usia Dini hingga Menengah.
Ada pun prinsip-prinsip yang tertuang dalam surat edaran, yaitu sekolah tidak menjadikan upacara wisuda sebagai kegiatan wajib dan tidak membebani orangtua atau wali peserta didik. Meski begitu, tidak ada aturan khusus yang mengatur tentang sanksi tegas bagi pihak yang melakukan pelanggaran.
"Harus melibatkan komite sekolah serta orangtua untuk bermusyawarah dapat dijadikan acuan bagi pemerintah daerah untuk mengatur hal tersebut sesuai dengan kewenangan serta kondisi masyarakat di daerah masing-masing," ujar Kepala Perwakilan Ombudsman Jabar, Dan Satriana.
Sementara itu, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Bali, Ni Nyoman Sri Widhiyanti mengatakan pada hakikatnya acara pelepasan atau graduatian dapat dilakukan dengan catatan tidak membebankan pihak orangtua. Selain itu, tidak ada pungutan atau hal lainnya yang menyalahi peraturan perundang-undangan.
"Perihal praktiknya jika berbeda seperti poin di atas, tentunya kemungkinan adanya pelanggaran, yakni pungli dan diskriminasi," ungkapnya, pada Sabtu (10/5/2025).
Wisuda di jenjang TK hingga SMA tersebut ternyata juga pernah diadukan ke Ombudsman Bali. Permasalahan itu kemudian dapat diselesaikan antara pihak sekolah dan siswa. Namun, Nyoman Sri Widhiyanti sendiri tidak menjelaskan lebih detail terkait para pihak yang sempat berselisih paham tersebut. Sebab permasalahan tersebut diselesaikan dengan cara mediasi, pemberian pemahaman kepada siswa dan orangtua siswa serta pihak sekolah.
"Untuk laporan sampai saat ini Ombudsman Bali ada beberapa laporan terkait graduation tersebut. Namun telah selesai karena telah mendapat penyelesaian dan kesepahaman dari pihak sekolah dan siswa," terangnya.
Di NTB, Kepala Ombudsman Perwakilan NTB Dwi Sudarsono mengatakan sudah ada beberapa Pemda kabupaten/kota yang melarang kegiatan wisuda anak TK hingga SMA sederajat. Dia mengatakan kegiatan wisuda anak sekolah bukan bagian dari proses belajar mengajar.
"Maka pihak sekolah tak boleh melakukan pungutan kepada siswa untuk kegiatan wisuda. Kalau ada sekolah yang menyelenggarakan wisuda apalagi disertai pembiayaan oleh wali murid, maka itu bentuk maladministrasi," tegas Dwi.
6. Wisuda jadi ajang pencitraan sekolah?

Pengamat Pendidikan Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Abdullah Idi mengatakan bahwa setiap anak tidak berasal dari satu kondisi ekonomi yang sama, ada yang mampu ada juga yang tidak. Acara perpisahan atau wisuda tersebut kerap menjadi ajang bisnis dan komersialisasi dalam pendidikan yang seharusnya tidak dilakukan.
"Sebenarnya perpisahan sudah ada sejak dari dulu. Zaman saya sudah seperti itu. Tapi pada masa itu perpisahan tidak memberatkan anak dan orangtua. Di tengah kondisi ekonomi sulit seperti sekarang justru perlu menumbuhkan budaya sederhana, budaya di mana anak-anak kita tidak diajarkan untuk konsumtif," ungkap Abdullah Idi kepada IDN Times, Rabu (7/5/2025).
Dirinya menilai perpisahan yang ada tidak perlu diseragamkan sebagai suatu hal mutlak yang harus dilakukan. Perpisahan tersebut harus memastikan kondisi sekolah dan orangtua agar tidak memberatkan satu pihak semata.
"Terlebih kesan wisuda yang disematkan itu menjadi sakral. Kalau dia sudah sarjana boleh lah. Tetapi untuk anak TK, SD, SMP dan SMA acara perpisahan saja kecil-kecilan jangan dibuat embel-embel wisuda," jelas dia.
Hal senada disampaikan Pengamat Pendidikan dari Sumatera Utara, Muhammad Rizal Hasibuan. Ia menyoroti fenomena wisuda anak TK hingga SMA yang kini sedang marak menjadi perbincangan. Menurutnya wisuda adalah sesuatu yang sakral yang hanya dilakukan setelah tamat perguruan tinggi saja, tidak perlu dilakukan saat lulus TK hingga SMA.
"Idealnya, menurut saya wisuda TK, SD, SMP dan SMA itu tidak perlu dilakukan jadi cukup atau tidak terlalu penting dan tidak ada urgensinya. Ini harus digaris wabahi, wisuda tidak ada urgensinya untuk TK, SD, SMP, dan SMA," ucapnya pada IDN Times, Jumat (11/5/2025).
Sementara itu, Pengamat Pendidikan di Bali, Prof Putu Rumawan, berpendapat kesan wisuda akan menjadi kenangan tersendiri bagi anak-anak. Namun alangkah baiknya dilakukan sederhana dan lebih mengutamakan makna.
Misalnya memakai pakaian seragam sekolah, dan berfoto dengan latar belakang sekolah bersama para guru dan semacamnya. Juga dapat menggunakan baju adat dan berdoa. Terlebih di Bali dengan nasi jinggo atau tumpeng kecil, dirasa sudah cukup sebagai tanda perpisahan kelulusan.
Menurutnya, masing-masing sekolah juga memiliki cara untuk menjual citra sekolahnya. Tapi, banyak yang lupa bahwa pencitraan di belakangnya selalu diikuti oleh biaya atau cost.
Dari pengamatannya, kondisi di Bali pun demikian. Banyak sekolah swasta yang juga melakukan pencitraan melalui wisuda. Dengan demikian ia berharap pemerintah memberikan imbauan, agar sekolah tidak berlomba-lomba membuat program untuk pencitraan yang kemudian membebani orangtua siswa.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) juga menyoroti maraknya penyelenggaraan wisuda di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Ini dinilai semakin jauh dari esensi pendidikan.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji menyatakan, bahwa praktik wisuda saat ini lebih sering menjadi ajang pamer kemewahan, daripada bentuk penghargaan atas capaian akademik siswa. Akhirnya, wisuda itupun hanya buang-buang uang orangtua dan wali murid.
"Ini sudah jauh melenceng dari esensi pendidikan itu sendiri dan lebih terkesan sebagai kompetisi terselubung antar-orangtua untuk menunjukkan status sosial,” ujar Ubaid, Jumat (9/5/2025).
Ia menilai, bahwa bagi siswa TK hingga SMA, wisuda mewah justru minim nilai edukasi. Menurutnya, pada jenjang TK dan SD, pemahaman siswa terhadap kelulusan masih sangat sederhana sehingga seremoni besar tidak relevan dengan pengalaman belajar mereka.
“Jika fokusnya hanya pada seremonial dan bukan pada refleksi proses belajar, maka nilai edukatifnya sangat dipertanyakan. Lebih sering ini hanya menjadi pelampiasan euforia sesaat tanpa meninggalkan kesan mendalam tentang pentingnya ilmu pengetahuan,” jelasnya.
7. Alternatif merayakan kelulusan dengan sederhana, bermakna dan inklusif

Di Bandar Lampung, beberapa TK memilih menggelar pentas seni sebagai pengganti wisuda. Anak-anak tampil membaca puisi, bernyanyi, atau menari, tanpa sewa gedung mahal. Seperti yang dilakukan TK Alam Kreasi Nusa Indah di Kota Bandar Lampung. Sekolah ini memilih menampilkan karya seni siswa sebagai penutup tahun ajaran.
Salah satu guru dari TK Alam Kreasi Nusa Indah, Lilis Yuliana mengatakan, kegiatan ini merupakan bagian dari Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang dicanangkan Kemendikbudristek.
“Kita tidak mengadakan perpisahan dengan konsep wisuda. Tapi kita menampilkan karya seni anak-anak seperti opera, musikalisasi puisi dan seni musik. Ini sudah menjadi kesepakatan sejak awal antara sekolah dan para orangtua,” katanya, Sabtu (10/5/2025).
Lilis menegaskan, acara tersebut bukan sekadar perayaan seremonial. Sebaliknya, kegiatan ini menjadi ruang ekspresi untuk menampilkan perkembangan keterampilan anak selama belajar.
“Banyak perubahan luar biasa dari anak-anak. Sayang kalau tidak ditampilkan. Apalagi di sekolah ini juga ada anak-anak berkebutuhan khusus, dan orangtua mereka sangat menantikan penampilan anaknya,” ujarnya.
Sama halnya dengan yang dilakukan SD Negeri 1 Panji, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Sekolah ini mengadakan pentas seni saat perpisahan. Setiap kelas harus mewakili pentas drama maupun tarian, sehingga tidak ada acara wisuda.
"Setahuku dua tahun belakangan ini gak ada acara wisuda,” kata salah satu wali murid, Eka Prasetya saat dihubungi IDN Times, Jumat (9/5/2025).
Seingat Eka, dua tahun lalu orangtua siswa bersama komite sekolah membahas soal wisuda di SDN 1 Panji. Saat itu, sebagian besar orangtua tidak setuju ada wisuda karena dianggap berlebihan untuk siswa jenjang SD.
“Selain itu kan gak urgent banget wisuda. Toh, mereka masih lanjut lagi kan sekolah,” kata Eka
Selepas acara perpisahan, ada pembagian bingkisan berupa buku dan alat tulis kepada siswa kelas enam SD. Kata Eka, bingkisan itu berasal dari penggalangan seikhlasnya.
“Anak-anak diminta ngumpulin buku atau alat tulis seikhlasnya,” kata Eka.
Melihat pro-kontra yang kian melebar, tampaknya wisuda di jenjang dasar dan menengah masih akan terus diperdebatkan. Yang jelas, perlu ada regulasi dan pendekatan baru agar acara ini tidak berubah menjadi ajang eksklusif yang justru bertentangan dengan nilai keadilan dan inklusivitas pendidikan.
Lalu, akankah tren bermewah-mewahan saat kelulusan ini dapat diakhiri? Bagaimana menurutmu?.
Reporter: Ashrawi Muin (Sulsel), Muhammad Nasir (NTB), Azzis Zilkhairil (Jabar), Ardiansyah Fajar (Jatim), Erik Alfian (Kaltim), Hendra Lianor & Hamdani (Kalsel), M Iqbal (Banten), Ayu Afria Ulita, Ni Komang Yuko Utami & Wayan Antara (Bali), Muhammad Rangga Erfizal & Feny Agustin (Sumsel), Fariz Fardianto & Anggun Puspitoningrum (Jateng), Indah Permata Sari & Eko Agus Herianto (Sumut), Febriana Sintasari (Jogja) Silviana, Muhaimin Abdullah & Tama Wiguna (Lampung)