Menilik PT Responsif Gender, Agar Perempuan Bertaji di Kampus Sendiri

Perempuan mulai mengisi jabatan strategis di kampus

Perguruan Tinggi (PT) memiliki peran yang sangat penting dalam pengarusutamaan gender. Apabila kesetaraan gender dapat diwujudkan di kampus, maka kesempatan perempuan sebagai pembuat keputusan dan menempati posisi strategis di kampus semakin meningkat. Ini juga akan berpengaruh pada upaya penghapusan kekerasan seksual di lingkungan tersebut.

Di sisi lain, perempuan juga masih berjuang sendiri. Tidak sedikit dari perempuan yang takut untuk bersuara. Mereka takut terhadap stigma di tengah masyarakat, terutama pada lingkungan yang masih menjunjung tinggi patriarki.  Kekerasan seksual juga masih menjadi ancaman mengerikan.

Tahun ini, International Women’s Day (IWD) 2022 mengusung tema kampanye dengan tagar #BreakTheBias. Setiap orang diajak untuk membayangkan dunia yang setara gender. Dunia yang bebas dari stereotip dan diskriminasi. Serta dunia yang beragam, adil dan inklusif. Dunia di mana perbedaan dihargai dan dirayakan dengan hati lapang. Melalui kampanye IWD 2022 ini, perempuan dapat mematahkan bias di tempat kerja bahkan di sekolah, perguruan tinggi atau universitas.

Berdasarkan survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) RI pada tahun 2020, sebanyak 77% dosen di Indonesia mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Namun, 63% di antaranya tidak melaporkan kejadian itu karena khawatir terhadap stigma negatif.

Selain itu, Komisi Nasional Perempuan menunjukkan terdapat 27% aduan kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi, berdasarkan laporan yang dirilis pada Oktober 2020. Artinya, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di dunia pendidikan atau di kampus masih cukup marak.

Persoalan kekerasan seksual ini sudah menjadi atensi dari Kemendikbud Ristek RI. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menerbitkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.

1. Keterlibatan perempuan pada jabatan strategis di kampus

Menilik PT Responsif Gender, Agar Perempuan Bertaji di Kampus SendiriIlustrasi Sekelompok Perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Pada dasarnya, persoalan perempuan di tiap daerah tidak jauh berbeda. Budaya patriarki masih sangat berpengaruh terhadap eksistensi perempuan dalam jabatan-jabatan strategis, termasuk di lingkungan kampus atau perguruan tinggi. Tidak banyak kampus yang menempatkan perempuan dalam jabatan tinggi. Meski tak banyak, namun belakangan keterlibatan perempuan dalam posisi jabatan tinggi di kampus sudah mulai terlihat.

Salah satunya di Universitas Mataram (Unram) yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Rektor Unram Prof. Dr. Lalu Husni melalui Kepala Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Mataram, Dr. Ruth Stella Petrunella Thei mengatakan harus ada political will atau keinginan politik pimpinan perguruan tinggi tentang kesetaraan gender di kampus.

Dalam pemilihan pimpinan perguruan tinggi, baik rektor, wakil rektor, dekan atau wakil dekan di Unram, kata Stella, memang tidak ada persyaratan khusus seperti kuota untuk perempuan sebanyak 30 persen.

“Tetapi sejauh ini kesempatan-kesempatan yang ada juga dimanfaatkan oleh perempuan. Misalnya Wakil Rektor III sekarang adalah perempuan. Kemudian ada beberapa wakil dekan yang perempuan. Tapi secara khusus dalam pencalonan untuk pimpinan, baik di tingkat pimpinan universitas dan fakultas, kita belum,” ungkapnya.

Sementara itu, berdasarkan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) 2021, komposisi dosen di Unram masih didominasi laki-laki dibandingkan perempuan. Jumlah dosen tetap laki-laki sebanyak 778 orang sedangkan perempuan sebanyak 396 orang. Kemudian dosen tidak tetap jenis kelamin lak-laki sebanyak 35 orang dan perempuan 19 orang. Sedangkan komposisi mahasiswa didominasi perempuan. Mahasiswa terdaftar di Unram sebanyak 20.213 perempuan dan 14.612 laki-laki.

Hal yang hampir sama juga terjadi di kampus Universitas Sriwijaya (Unsri) yang ada di Sumatra Selatan. Rektor Unsri, Anis Saggaf mengatakan bahwa Unsri sebagai lembaga pendidikan sangat menjunjung kesetaraan gender. Tak ada dikotomi laki-laki dan perempuan dalam dunia pendidikan. Anis bahkan mengaku jika perempuan, baik dosen dan mahasiswi, memiliki kesempatan terbuka dalam berkarya.

"Saya mengakui perempuan itu lebih unggul dalam setiap bidang yang dipegangnya di Unsri. Baik dosen maupun mahasiswi perempuan rata-rata orang yang berprestasi," ungkap Anis.

Anis menjabarkan, setiap keputusan yang dibuat di tingkat fakultas hingga universitas selalu melibatkan perempuan. Untuk di Senat l, dirinya mencatat ada sekitar 40 persen keterlibatan perempuan. Sedangkan mahasiswi di Unsri mendominasi jumlah peserta didik mencapai 58 persen.

"Kita tidak ada lagi budaya Siti Nurbaya. Kita tidak mengatur jumlah komposisi tetapi kompetensi," jelas dia.

Begitu juga yang terjadi di Institut Informatika dan Bisnis (IBI) Darmajaya yang ada di Provinsi Lampung. Kesetaran gender bukan hanya diperjuangkan untuk mahasiswi, itu juga diberikan kepada tenaga pendidik. Itu dengan memberikan peluang bagi mereka memiliki kualitas dan kapabilitas menduduki jabatan-jabatan strategi, mulai posisi dekan, kepala program studi, hingga kepala biro.

"Bisa dikatakan perempuan saat ini lebih dari 50 persen menduduki jabatan strategis kampus. Kita tidak melihat gendernya, tapi lebih kepada kemampuan. Balik lagi, kapabilitas mereka saat ini dikatakan lebih menonjol dari laki-laki, tentu ini harus menjadi motivasi agar kaum laki-laki tidak kalah kualitas dari perempuan," kata Rektor Institut Informatika dan Bisnis (IBI) Darmajaya, Firmansyah Y. Alfian.

Baca Juga: Kesetaraan Gender Lampung, Mahasiswi Desak Implementasi Permendikbud PPKS

Baca Juga: Melihat Bagaimana Usaha Kampus Terbesar di NTB Patahkan Bias Gender

2. Kekerasan seksual di kampus masih jadi momok menakutkan

Menilik PT Responsif Gender, Agar Perempuan Bertaji di Kampus SendiriIlustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Fatah Sulaiman mengatakan bahwa pihaknya akan menindak tegas apabila ada kekerasan seksual di kampus. Pihaknya sudah memberikan ultimatum, termasuk dengan menerbitkan surat edaran yang berkaitan dengan PPKS di kampus.

Dia menegaskan tidak akan segan-segan memproses siapapun pelaku pelecehan seksual di Untirta, meski dosen atau mahasiswa. Disampaikan Fatah, hal tersebut telah ia buktikan saat kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh mahasiswa berinisial KZ yang merupakan Presiden Mahasiswa (Presma) Untirta.

"Baru kita tuntaskan ada dugaan pelecehan oleh presiden mahasiswa, kita proses tindak tegas, kita berhentikan dari presma. Kita skorsing itu," katanya.

Pelecehan seksual bisa saja terjadi karena kurangnya edukasi. Menolak edukasi seksual karena tabu adalah sikap yang fatal. Mengapa demikian? Karena melalui pendidikan seks, seseorang dapat memahami bagaimana cara menghargai tubuh, menghindari perilaku seksis, serta lebih mengerti tentang kesehatan reproduksi. Paling penting sesungguhnya adalah edukasi seks dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual, khususnya melalui pemahaman tentang prinsip konsensus dalam berhubungan seks.

Apabila ada pihak-pihak tertentu yang justru menyalahkan korban kekerasan seksual, maka ada kemungkinan, pihak yang menyalahkan korban tersebut belum paham prinsip konsen. Begitu pula di perguruan tinggi, tak jarang ada orang yang tidak memiliki perspektif korban karena belum paham soal konsen tersebut.

Mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udaya (Unud) di Bali, Verni Valentini, memandang bahwa kurangnya pemahaman soal konsen karena kosongnya Standard Operating Procedure (SOP) di Unud. Hal itu bisa menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual.

"Kurangnya pemahaman tentang consent sih. Sama karena gak ada SOP yang jelas tentang gimana ngadepin kalau ada kasus kekerasan seksual," ucap Verni.

Senada dengan Verni, Melisa Nirmala yang merupakan Ketua organisasi perempuan Girl Up Universitas Airlangga (Unair) di Provinsi Jawa Timur mengakui kondisi tersebut. Menurutnya, banyak korban di kampus yang enggan melapor karena pelaku punya dominasi terhadap mereka.

“Seperti dosen, eksekutif kampus, tokoh kampus, kakak tingkat yang sering kali merugikan posisi korban ketika hendak melapor,” tutur Melisa.

Sementara itu, Ketua BEM FKIP Unram, Martoni Ira Malik mengatakan isu kekerasan seksual di lingkaran kampus memang menjadi momok menakutkan bagi mahasiswi pada umumnya. Bukan hanya mahasiswi, namun juga pendidik perempuan di kampus.

Martoni mengatakan selama bergelut di BEM FKIP Unram, sekitar 17 orang mahasiswa dari berbagai program studi membentuk tim perlindungan perempuan di lingkungan kampus.

"Jadi tim ini sengaja dibentuk sebagai wadah penguatan kawan-kawan perempuan untuk bisa terus bersuara ketika mendapat perlakuan yang merujuk pada isu kekerasan seksual," kata Martoni.

Baca Juga: Soal Kesetaraan Gender di Kampus, Begini Suara Mahasiswa Unud

Baca Juga: Rektor: Untirta Serius Wujudkan Kampus Ramah Perempuan

3. Perlu implementasi Undang-undang PPKS

Menilik PT Responsif Gender, Agar Perempuan Bertaji di Kampus SendiriIlustrasi palu hakim (IDN Times/Sukma Shakti)

Kemendikbud Ristek telah mengeluarkan aturan tentang PPKS. Harapannya, aturan ini dapat mempersempit ruang gerak predator seksual di lingkungan kampus. Implementasi dari aturan ini sangat diperlukan. Salah satu kampus yang sudah menerapkan tentang PPKS ini adalah Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) yang ada di Provinsi Banten.

Setelah terbit peraturan tersebut, pihaknya langsung membentuk Satuan Tugas (Satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Di dalamnya ada konselor kesehatan mental dan pendamping hukum bagi korban.

Jika ada kasus kekerasan seksual pihaknya membuka hotline pengaduan di email humas Untirta. "Kalau berapa pengaduan nanti saya cek di pengaduan belum tahu data pastinya," kata Rektor Untirta, Fatah Sulaiman.

Bahkan, sebelum Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang telah ditetapkan 31 Agustus 2021, dia mengaku Untirta sudah lebih dahulu menerbitkan peraturan Rektor nomor 5 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Kampus Untirta.

"Saya sudah bentuk sebelum peraturan kalau peraturan menteri Agustus, saya Maret sudah keluar saya kira itu bagian tugas pendidikan tinggi melakukan upaya pencegahan pelecehan seksual, baik perempuan dan laki-laki," katanya.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Unram. Meski belum membentuk Satgas PPKS secara resmi, namun pihak kampus sudah membentuk Pusat Studi Gender dan Anak. Dalam waktu dekat, Satgas PPKS itu akan segera dibentuk demi menindaklanjuti undang-undang yang sudah disahkan.

“Itu barangkali mulai dipersiapkan perangkatnya bekerja sama dengan Pusat Studi Gender dan Anak,” kata Ruth Stella.

Begitu pula yang dilakukan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Wakil Rektor UMY Bidang Kemahasiswaan, Faris Al-Fadhat, mengatakan jauh sebelum keluarnya aturan tentang PPKS di lingkungan perguruan tinggi, UMY sudah memiliki dua lembaga yang mengurusi hal tersebut. Lembaga itu adalah Divisi Layanan Konseling dan Kesejahteraan Mahasiswa serta Komite Etika dan Disiplin Mahasiswa.

"Dua lembaga tadi sudah dibentuk dua tahun sebelum keluarnya Permendikbudristek, sehingga ketika Pemerndikbudristek keluar, maka dibuatkan lembaga khusus yakni layanan call center. Jadi layanan call center ini fungsinya sama seperti pembentukan satgas seperti dalam Permendikbudristek," ujar Faris.

Hal yang sama juga dilakukan di Universitas Lampung (Unila). Rektor Unila, Prof Karomani, M.Si telah menerbitkan Surat Edaran Rektor Nomor 22/UN26/TU/2021. Surat itu tentang Penyelenggaraan Bimbingan Ujian Komprehensif Skripsi/Tesis maupun Disertasi.

Surat edaran ini diterbitkan pertengahan Desember 2021 itu menindaklanjuti Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKS).

Karomani berharap, terbitnya surat edaran itu, minimal semua pihak sudah diperingatkan. Dia juga mengingatkan akan ada konsekuensi logis dari pelanggaran yang dilakukan untuk hal ini.

"Saya tidak mau itu (pelecehan seksual) ada di Unila. Mudah-mudahan Unila tidak seperti di tempat lain. Saya kira kita bisa saling menjaga," ujar Karomani.

Sementara itu, Rektor Unsri di Lampung juga telah menginstruksikan kepada pimpinan di tingkat fakultas untuk mengawal Satgas tersebut.

"Untuk Satgas di tingkat universitas dipimpin oleh Wakil Rektor (WR) III bidang Kemahasiswaan dan alumni. Sedangkan di tingkat Fakultas dipimpin oleh Wakil Dekan (WD) III," beber Anis.

Baca Juga: Kesetaraan Gender di Unsri, Rektor: Tak Ada Lagi Budaya Siti Nurbaya

4. Keterlibatan perempuan dalam organisasi kampus

Menilik PT Responsif Gender, Agar Perempuan Bertaji di Kampus SendiriIlustrasi berorganisasi (Pexels/Ivan Samkov)

Perjuangan melawan dominasi laki-laki dalam kontestasi politik kampus kian menguat sejak keberanian para perempuan untuk menuntut haknya mendapatkan posisi sentral dalam kepemimpinan berorganisasi ataupun di pergerakan. Padahal sebelumnya, dapat ditelaah bersama, bagaimana pengaruh maskulinitas dalam kepemimpinan politik kampus mengakibatkan sempitnya ruang gerak perempuan.

Menurut mahasiswi Fakultas Pariwisata (FPAR) Universitas Udayana (Unud), Putriatre Krimasusini Senudin, organisasi di fakultasnya telah merealisasikan nilai-nilai kepemimpinan berdasarkan pengarusutamaan gender. Hal ini terbukti dari tingginya partisipasi perempuan duduk dalam jabatan penting organisasi.

"Di Fakultas Pariwisata, saya melihat dalam berbagai kegiatan kepanitiaan, tidak jarang perempuan menjadi ketuanya. Selain itu, tingkat partisipasi perempuan dalam organisasi himpunan mahasiswa di tiga program studi sangatlah tinggi. Di dalam kelas pun hak untuk berbicara tidak diberatkan pada laki-laki saja, namun keduanya seimbang," jelas Atre.

Begitu pula yang terjadi pada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Balikpapan (Uniba) yang ada di Provinsi Kalimantan Timur. Presiden Mahasiswa BEM Uniba, Jodi Viki mengatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam kepengurusan BEM sangat membantu dan berpengaruh terhadap sejumlah kegiatan yang dilakukan.

"Bahkan hasil dari langkah mereka (perempuan) di lingkup kampus, termasuk dalam sebuah forum yang mereka bentuk itu terlihat. Beberapa kegiatan kami di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) juga sering dikoordinatori oleh perempuan. Jadi saya rasa mereka pun sangat pantas untuk memimpin," katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila), Desy Aldina mengatakan kampus setempat sangat menjunjung tinggi makna kesetaraan gender. Unila disebut-sebut bak lingkungan ramah bagi para kaum hawa. Artinya, peran perempuan dan laki-laki memiliki keseimbangan dalam urusan belajar, berproses, hingga berorganisasi.

Kondisi tersebut diklaim tidak ada satu pun indikator yang mampu menghalangi perempuan dalam melakukan segala hal di lingkungan kampus.

"Kami di organisasi juga menerapkan gender equality. Apalagi perempuan kontemporer saat ini di kampus sudah banyak menduduki posisi sentral, baik di akademik maupun non-akademik. Peranan perempuan menjadi bentuk nyata, intelektualitas mereka bisa bersaing dengan laki-laki," ujarnya.

Sejumlah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari perguruan tinggi negeri di Kota Semarang, Jawa Tengah hingga kini terus berjuang untuk mendobrak budaya patriarki dan memahamkan tentang kesetaraan gender.

Seperti yang dilakukan BEM Keluarga Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes). Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anti-Kekerasan Seksual BEM KM Unnes, Siti Nur Dzakiyyatul Khasanah mengatakan, mewujudkan kesetaraan gender di Unnes masih sama dengan umumnya di Indonesia. Masih ada beberapa aspek atau hal yang perlu perhatian dan dikritisi bersama.

Saat ini dalam kepengurusan BEM KM Unnes dari total 252 mahasiswa, 132 perempuan dan 120 laki laki. Perempuan berusia 22 tahun itu menuturkan, dari jumlah tersebut secara peran dan kinerja profesional memang sudah setara. Namun, secara budaya belum karena masih kerap terjadi mahasiswi menjadi objektivitas bercandaan dan jatuhnya ke body shaming.

‘’Maka itu kami terus bergerak untuk memperjuangan kesetaraan gender di kampus. Seperti membentuk komunitas Forum Perempuan dan menginisiasi adanya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anti-Kekerasan Seksual di BEM KM Unnes,’’ ujarnya.

Di lain tempat, mulai tahun ini BEM Unversitas Diponegoro (Undip) juga akan menghidupkan kembali Forum Perempuan yang sempat vakum sejak 2019. Melalui Diponegoro Women Forum, organisasi mahasiswa tersebut akan berperan untuk memberdayakan perempuan dengan pengedukasian tentang isu perempuan hingga menyalurkan hak suara perempuan.

Baca Juga: Relasi Kuasa, Momok Korban Kekerasan Seksual di Kampus

Baca Juga: Presma BEM UNIBA: Perempuan Sangat Pantas untuk Memimpin!

5. Kampus mulai membuka ruang maternity

Menilik PT Responsif Gender, Agar Perempuan Bertaji di Kampus Sendiriparenting.dream.co.id

Untuk semakin menegaskan kampus yang peduli dengan gender, UMY berupaya memberikan fasilitas yang dibutuhkan perempuan. Meski saat ini sedang proses karena UMY baru menyelesaikan fasilitas untuk difabel.

"Meski belum ada ruangan khusus jika ada perempuan yang akan menyusui dicarikan tempat tersendiri, termasuk izin atau cuti tidak masuk kuliah atau kerja bagi karyawan UMY karena sedang datang bulan ruang tersebut tetap diberikan," ucapnya.

Sementara di Unram telah disiapkan tempat penitipan anak setara pendidikan anak usia dini (PAUD). Penyediaan fasilitas tempat penitipan anak ini bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran. Sehingga secara periodik anak-anak dosen atau mahasiswa yang dititip juga mendapatkan layanan kesehatan dari Fakultas Kedokteran.

”Kalau fasilitas infrastruktur misalnya pemisahan toilet antara laki-laki dan perempuan sudah dipikirkan seperti itu. Kemudian sarana tangga yang nyaman untuk dinaiki perempuan tanpa menimbulkan kekhawatiran sudah mempertimbangkan itu juga,” tutur Stella.

Baca Juga: Mahasiswa di Semarang Masih Berjuang Dobrak Budaya Patriarki di Kampus

Baca Juga: Perguruan Tinggi Harus Ciptakan Ruang Aman bagi Kesetaraan Gender

6. Dobrak budaya patriarki lewat pendidikan

Menilik PT Responsif Gender, Agar Perempuan Bertaji di Kampus SendiriIlustrasi Pendidikan (IDN Times/Arief Rahmat)

Pegiat Gender dan Pemerhati Perempuan di Sumatra Utara, Lely Zailani telah melakukan pendampingan kepada penyintas kekekerasan seksual di lingkungan kampus . Pada tahun 2019, kasus dugaan pelecehan seksual oleh dosen terhadap mahasiswa di Universitas Sumatera Utara sempat menjadi sorotan publik.

Lely memandang kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia pendidikan masih dianggap sebagai sesuatu yang mencederai nama baik kampus, sehingga tidak jarang kasus dibungkam dan penyintas menemui jalan buntu dalam mencari keadilan. 

"Selama ini kampus tidak kondusif untuk memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Kasus ini masih dianggap sesuatu yang mencederai nama baik kampus apabila didiskusikan atau dibongkar. Jadi cenderung ditutupi," kata Lely

Bukan hanya Lely, Direktur Institut Perempuan untuk Perubahan Sosial (Inspirasi) NTB, Nur Janah juga mengatakan budaya patriarki memang menjadi belenggu dalam kesetaraan gender. Menurutnya, budaya patriarki dapat didobrak lewat pendidikan.

“Perubahan harus lewat pendidikan. Kalau kita lihat mahasiswa yang menempuh pendidikan tinggi lebih banyak perempuan. Ini menggambarkan bahwa mulai ada kesadaran kolektif masyarakat bahwa perempuan juga dibutuhkan untuk mendapatkan pendidikan tinggi,” kata Nur Janah.

Sementara itu, Pegiat Gender dan Pemerhati Perempuan, Andi Sri Wulandani, memandang perguruan tinggi atau kampus sudah seharusnya mampu menciptakan ruang berkeadilan bagi laki-laki dan perempuan. 

"Selebihnya adalah bagaimana memberikan ruang aman bagi perempuan dan juga laki-laki agar tidak terjadi lagi pelecehan seksual dan kekerasan seksual di ruang kampus. Bagaimana menciptakan ruang aman," kata Wulandani.

Pada prinsip akses misalnya, kampus harusnya menyediakan akses atau ruang bagi laki-laki, perempuan serta kelompok difabel yang sama besarnya. Hal ini tidak hanya berlaku bagi mahasiswa namun juga untuk tenaga pengajar.

Ketika menyinggung soal akses, salah satu yang paling sering disorot adalah akses sarana prasarana. Contoh paling dekatnya yang kerap dilupakan yaitu ketersediaan toilet yang umumnya digunakan oleh laki-laki dan perempuan.

Jika sebuah perguruan tinggi mempunyai prinsip keadilan, maka harusnya kampus menyediakan toilet khusus laki-laki, perempuan dan juga toilet yang bisa diakses penyandang difabel.

"Jadi misalnya di perguruan tinggi. Bagaimana peranan yang paling krusial sebenarnya adalah toilet atau kamar mandi. Biasanya ini kan disamakan toilet laki-laki dan toilet perempuan," kata Wulandani.

Kedua aktivis ini berharap keberadaan perempuan di lingkungan pendidikan tidak didiskriminasi. Sehingga perempuan bisa memiliki kesempatan berkarya yang sama dengan laki-laki.

Tim penulis: Muhammad Nasir dan Ahmad Viqi Wahyu Rizki (NTB), Riani Rahayu (Kaltim),  Khaerul Anwar (Banten), Tama Wiguna (Lampung), Khusnul Hasana (Jatim),  Ulfiya Amirah (Bali), Ashrawi Muin (Sulsel), Anggun Puspitoningrum (Jateng), Rangga Erfizal (Sumsel) dan Masdalena Napitupulu (Sumatra Utara)

Baca Juga: Kampus Darurat Kekerasan Seksual, Lely Desak Implementasi Permendikbud

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya