Mataram, IDN Times - Di sebuah ruang kerja yang tidak begitu luas di Rembiga, Kecamatan Selaparang, Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), suara gesekan rotan terdengar seperti detak waktu yang berjalan. Setiap anyaman itu menggambarkan perjalanan panjang tangan-tangan perajin yang tak pernah dikenal publik. Aroma rotan basah bercampur dengan hangatnya cuaca siang itu dan menciptakan suasana yang akrab bagi siapa pun.
Di sini, ada campur tangan Sayu Putu Seni. Ia adalah penjual anyaman yang menganggap kerajinan sebagai bagian dari jati dirinya. Setiap simpul rotan yang ditarik kencang seperti mengikat ulang ingatan-ingatan lama tentang masa ketika industri kerajinan hanya hidup di halaman rumah. Masa ketika perajin bekerja dalam sunyi. Masa itu kini bergeser dan Sayu adalah salah satu saksi sekaligus penggerak perubahan itu.
Di ruang yang sama, ada rasa haru yang sulit dijelaskan. Karena di sanalah puluhan karya dipilih, disimpan, disempurnakan, lalu dikirim ke berbagai daerah bahkan keluar negeri. Tidak ada kemewahan, tidak ada fasilitas berlebih, hanya semangat yang masih menyala meski usianya sudah dua dekade.
Awalnya, Sayu pergi ke Yogyakarta bukan untuk mencari identitas baru, tetapi justru menemukan jembatan menuju masa depannya di Lombok. Ia belajar tentang desain, kualitas, dan kerasnya standar buyer (pembeli) internasional. Semua itu ia bawa pulang ketika kembali ke Lombok, dengan kepala penuh rencana dan tangan yang siap bekerja. Lombok bukan lagi tempat lahirnya, melainkan tempat ia memilih “bertarung”.
"Saya kebetulan pernah bekerja di bidang kerajinan tangan di Jogja, kemudian saya dipindahkan ke Lombok. Pada akhirnya saya memutuskan jalan sendiri dan membeli sendiri bahan-bahannya," ujar Sayu.
Jejaknya kini terlihat pada setiap produk Hanuman Craft yang dipajang rapi. Produk-produk itu bukan hanya benda dekorasi, melainkan simbol dari kerja panjang yang mengalir melewati banyak tangan. Tangan yang mungkin tidak pernah disebutkan, tetapi keberadaannya menentukan kualitas setiap barang dan Sayu tidak pernah melupakan itu.
Baginya, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) bukan sekadar usaha ekonomi. UMKM adalah ruang perjuangan sosial, ruang pendidikan informal dan ruang untuk menjaga martabat para perajin agar tidak terpinggirkan. Ia percaya kerajinan Lombok memiliki nilai lebih jika diolah dengan disiplin yang kuat. Nilai itulah yang ia jaga selama 20 tahun ini.
Perjalanan Sayu tidak selalu mulus, tetapi selalu jujur. Jujur terhadap proses, terhadap orang-orang yang ikut bekerja dan terhadap dirinya sendiri. Hanuman Craft bukan lahir dari modal besar atau akses istimewa, melainkan dari keberanian untuk memulai. Dan keberanian itulah yang kini menjadi fondasi bagi ratusan produk yang keluar dari ruang kerjanya setiap bulan.
