Penerimaan Pajak di NTB dan NTT Tembus Rp8,033 T

Mataram, IDN Times - Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Nusa Tenggara (DJP Nusra) mencatat penerimaan pajak di wilayah NTB dan NTT pada 2024 menembus Rp8,033 triliun. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menargetkan penerimaan pajak di NTB dan NTT pada 2024 sebesar Rp7,983 triliun.
"Kinerja penerimaan pajak Kanwil DJP Nusa Tenggara mencapai Rp8,033 triliun dengan pertumbuhan 11,71% dan capaian 100,63% dari target sebesar Rp7,983 triliun. Seluruh wilayah kerja di Provinsi NTB dan NTT juga telah melampaui capaian 100%," kata Kepala Kanwil DJP Nusra Samingun, Jumat (10/1/2025).
1. Rincian besaran penerimaan pajak di NTB dan NTT
Samingun merincikan kinerja penerimaan pajak di provinsi NTB dan NTT. Pada 2024, target penerimaan pajak di provinsi NTB sebesar Rp4,679 triliun. Target tersebut terealisasi sebesar Rp4,713 triliun atau 100,73% dengan pertumbuhan 16,18%.
Sedangkan di wilayah provinsi NTT, penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp3,303 triliun. Target tersebut tercapai sebesar Rp3,319 triliun atau 100,48% dengan pertumbuhan 5,93%.
Samingun memaparkan di antara lima unit kerja wilayah Provinsi NTB, KPP Pratama Praya mengalami pertumbuhan yang signifikan, yaitu 28,63% dengan capaian 101,02%. Selain itu, KPP Pratama Mataram Barat juga mengalami pertumbuhan sebesar 19,95% dengan capaian 100,81%.
2. Tiga sektor usaha penyumbang pajak terbesar di NTB dan NTT
Dia menjelaskan mayoritas netto jenis pajak utama tumbuh positif. Sementara, PBB Minerba mencatat pertumbuhan negatif sebesar -28,50% seiring dengan selesainya pembangunan smelter di Sumbawa Barat yang diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi di masa mendatang.
Pada periode Januari sampai Desember 2024, tiga sektor usaha dengan kontribusi terbesar di wilayah NTB dan NTT yaitu Sektor Administrasi Pemerintah dengan peranan 39,16%, disusul dengan sektor Pertambangan sebesar 21,34%, dan Perdagangan sebesar 14,21%.
"Pertumbuhan tertinggi dialami sektor pengadaan listrik yang didorong oleh peningkatan jumlah pegawai sehingga memicu kenaikan setoran PPh 21 dari THR dan bonus," sebutnya.
3. Realisasi pelaporan SPT mencapai 120%
Sementara, Wajib Pajak yang melaporkan SPT selama tahun 2024 sebanyak 204.474 dan mencapai realisasi 120%. Pelaporan SPT Tahunan Wajib Pajak Badan juga mengalami pertumbuhan dari tahun sebelumnya sebesar 1,72% dengan total WP yang melaporkan SPT WP Badan Tahun 2024 sebanyak 14.119.
Samingun menambahkan untuk pelaporan SPT Tahunan WP Orang Pribadi mengalami pertumbuhan sebesar 3,25% dengan total WP yang melaporkan SPT WP Orang Pribadi Tahun 2024 sebanyak 190.355. Samingun menambahkan telah terbit Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 mengenai perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
PMK 131/2024 berlaku pada 1 Januari 2025. Sebagai bentuk keberpihakan kepada seluruh masyarakat dengan memperhatikan azas gotong royong dan azas keadilan, ketentuan ini mengatur antara lain PPN atas barang/jasa non-premium yang dibayar masyarakat tetap 11%, dan barang/jasa premium 12%. Penerapan tarif PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 merupaakan amanat Undang-undang Harmonisasi Perpajakan UU No 7 Tahun 2021.
Terkait dengan kebijakan, DJP fokus untuk melaksanakan UU HPP serta mendorong akselerasi ekonomi melalui pemberian insentif fiskal efektif dan terukur misalnya pemberian insentif untuk pembangunan IKN, fasilitas PPN untuk kendaraan listrik, pembebasan PPN untuk bahan kebutuhan pokok serta impor dan penyerahan barang yang bersifat strategis.
Dalam UU HPP diatur kebijakan untuk memperkuat daya beli masyarakat, sebelum disesuaikannya tarif PPN. Diantaranya mengenai perluasan lapisan penghasilan yang dikenakan tarif terendah 5% yang semula sebesar Rp50 juta menjadi Rp60 juta.
Kemudian pembebasan pajak penghasilan (0%) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM dengan omzet sampai dengan Rp500 juta dan bagi penghasilan Rp500 juta ke atas sampai Rp4,8 miliar dikenakan tarif 0,5%. Di sisi lain, sebagai wujud kegotongroyongan orang pribadi yang memiliki penghasilan lebih dari Rp5 miliar dikenakan tarif tertinggi sebesar 35%.
Selanjutnya, pengaturan ulang terkait dengan imbalan dalam bentuk natura/kenikmatan sehingga bagi pemberi, imbalan tersebut dapat dibebankan sebagai biaya. Namun bagi penerima dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan dengan batasan tertentu. Serta penetapan penurunan tarif PPh badan menjadi 22%.