Seni Menata Ulang Energi lewat Praktik Self-Care

Dalam kehidupan yang penuh tuntutan sosial, profesional, dan relasional, banyak orang merasa bersalah saat mengambil waktu untuk dirinya sendiri. Istirahat dianggap sebagai kemewahan, bukan kebutuhan. Bahkan, praktik self-care kerap diberi label egois, terutama dalam budaya yang menilai nilai seseorang dari seberapa banyak yang bisa ia berikan kepada orang lain.
Padahal, jika terus-menerus mengabaikan kebutuhan diri, kamu bisa kehilangan kapasitas untuk hadir sepenuhnya, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Self-care bukan tentang menjauh dari tanggung jawab, tetapi tentang menata ulang energi agar dapat menjalani tanggung jawab dengan lebih sehat dan berkelanjutan. Merawat diri bukan bentuk penarikan diri dari dunia, melainkan upaya sadar untuk kembali hadir dengan utuh.
Berikut seni menata ulang energi lewat praktik self-care.
1. Mengubah pola pikir: dari egois ke perlu
Banyak dari kita dibesarkan dengan keyakinan bahwa mendahulukan orang lain adalah bentuk kasih sayang tertinggi. Namun, jika dilakukan secara ekstrem dan terus-menerus, pola ini bisa menjebak kamu dalam kelelahan emosional dan fisik yang mendalam.
Psikologi positif menyatakan bahwa perawatan diri adalah bentuk emotional resilience yang vital dalam menghadapi tekanan hidup sehari-hari, ungkap Seligman dalam Flourish: A visionary new understanding of happiness and well-being.
Mengubah pola pikir tentang self-care dimulai dari pemahaman bahwa kamu pun manusia biasa, yang memiliki batas. Kamu tidak bisa memberi dari cangkir yang kosong.
Justru dengan mengisi ulang diri secara teratur, kamu dapat memberi dengan lebih bijak, bukan dengan keterpaksaan atau pengorbanan yang melelahkan. Self-care adalah kebutuhan psikologis, bukan kemewahan.
2. Self-care adalah tanggung jawab pribadi
Self-care sering dianggap sebagai sesuatu yang harus datang dari luar: hadiah, liburan, atau waktu yang diberikan orang lain. Padahal, tanggung jawab utama untuk menjaga kesehatan diri adalah milik kamu sendiri. Menerapkan self-care secara konsisten berarti mengambil peran aktif dalam menjaga keseimbangan antara memberi dan menerima.
Dalam praktik psikoterapi, banyak klien yang baru menyadari bahwa mereka tak pernah belajar mengenali kebutuhannya sendiri. Mereka lebih terbiasa memenuhi ekspektasi orang lain.
Self-care adalah proses pembelajaran: mengenali kebutuhan fisik, emosional, dan spiritual. Memberi izin untuk memenuhinya dan membangun kebiasaan merawat diri tanpa menunggu izin dari siapa pun.
3. Membedakan kepentingan vs prioritas
Tidak semua yang penting harus menjadi prioritas. Kalimat ini sederhana, namun sangat reflektif. Kita sering merasa perlu melakukan segalanya sekaligus, tanpa menyaring mana yang benar-benar selaras dengan nilai dan kondisi diri kita saat ini. Akibatnya, kita terseret dalam pusaran aktivitas, tetapi kehilangan arah dan kepuasan.
Menata ulang prioritas adalah tentang menyelaraskan kembali hidup dengan apa yang benar-benar bermakna bagi kamu. Apakah saya melakukan ini karena sungguh-sungguh penting bagi saya, atau karena takut mengecewakan orang lain? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini membantu kamu mengambil keputusan dengan sadar, bukan berdasarkan tekanan sosial atau rasa bersalah.
4. Jenis self-care: lebih dari sekadar spa dan liburan
Sering kali self-care direduksi menjadi hal-hal mewah: perawatan wajah, pijat, atau liburan ke luar kota. Meskipun hal-hal itu sah dan menyenangkan, esensi self-care jauh lebih luas. Ia mencakup aspek fisik (makan cukup, tidur cukup), emosional (mengelola stres, memaafkan diri sendiri), sosial (menjaga relasi yang sehat), bahkan spiritual (merenung, berdoa, atau bermeditasi).
Self-care bisa sesederhana mengatakan “tidak” saat merasa lelah, mematikan notifikasi saat makan malam, atau memberi diri sendiri waktu tanpa gangguan di akhir pekan. Bentuknya tidak harus besar, tetapi konsisten. Semakin kamu mengenali bentuk self-care yang kamu butuhkan, semakin mudah menanamkannya dalam keseharian tanpa merasa harus “melarikan diri” untuk merasa utuh kembali.
5. Membangun batas sehat sebagai bentuk self-care
Salah satu bentuk self-care yang paling esensial namun paling sulit dilakukan adalah menetapkan batasan. Batasan bukanlah tembok pemisah, melainkan pagar pelindung. Ia melindungi energi, nilai, dan waktu kamu dari konsumsi berlebihan oleh tuntutan eksternal.
Belajar mengatakan “tidak” dengan tenang, tanpa rasa bersalah, adalah keterampilan psikologis yang sangat penting. Batasan yang sehat membantu kamu merasa lebih berdaya, aman, dan tidak terjebak dalam dinamika relasi yang melelahkan. Ini adalah bentuk kasih sayang yang dewasa, untuk diri sendiri dan orang lain: karena dengan batas yang jelas, kamu bisa mencintai tanpa kehilangan diri.
Self-care bukanlah tindakan egois, melainkan keputusan sadar untuk merawat keberlangsungan hidup dengan kualitas yang sehat. Ia adalah bentuk penghormatan terhadap tubuh, emosi, dan nilai-nilai pribadi yang sering kamu abaikan demi menyenangkan orang lain.
Demikian seni menata ulang energi lewat praktik self-care. Semoga bermanfaat, ya.