5 Pandangan Stoikisme yang Paling Sering Disalahpahami

Dalam era modern yang penuh tekanan emosional, banyak orang mulai melirik stoicisme sebagai solusi untuk meraih ketenangan batin. Filosofi kuno ini kerap dikaitkan dengan kedewasaan emosional, ketangguhan mental, dan kesederhanaan hidup. Namun, di balik popularitasnya, stoikisme seringkali disalahartikan.
Beberapa ajarannya dikira sebagai bentuk penolakan terhadap emosi, ketidakpedulian terhadap dunia luar, atau bahkan penghindaran dari kehidupan sosial. Padahal, stoicisme justru sangat relevan dan manusiawi bila dipahami secara mendalam. Banyak tokoh stoik seperti Marcus Aurelius, Epictetus, dan Seneca mengajarkan cara hidup secara aktif, sadar, dan penuh empati.
Berikut 5 pandangan stoikisme yang paling sering disalahpahami dan meluruskan makna aslinya sesuai konteks filosofinya.
1. Stoikisme mengajarkan untuk menekan emosi

Salah satu miskonsepsi paling umum adalah bahwa menjadi stoik berarti tidak memiliki atau menolak emosi. Banyak orang mengira stoik adalah sosok yang "dingin" dan tidak pernah menunjukkan perasaan. Hal ini kemungkinan berasal dari cara orang memahami istilah “stoic” dalam bahasa modern yang identik dengan ketidakpedulian emosional.
Faktanya, para filsuf stoik tidak pernah menyarankan untuk menekan emosi. Sebaliknya, mereka mengajarkan untuk memahami dan mengelola emosi agar tidak dikuasai olehnya. Epictetus dalam bukunya The Enchiridion, menyatakan bahwa bukan peristiwa yang membuat kita terganggu, tetapi cara kita memandang peristiwa tersebut.
Stoicisme mendorong kita untuk membedakan antara reaksi emosional yang sehat (seperti cinta, rasa hormat) dan yang destruktif (seperti kemarahan, iri hati), dan kemudian mengembangkan kesadaran diri untuk memilih respon yang tepat.
2. Stoik tidak peduli pada dunia sekitar

Anggapan bahwa stoik bersikap pasif atau tidak peduli pada masalah sosial juga keliru. Banyak orang berpikir bahwa jika kita hanya fokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan, maka kita akan menjadi acuh terhadap penderitaan orang lain atau ketidakadilan sosial.
Justru sebaliknya, stoicisme mengajarkan cosmopolitanism, yaitu gagasan bahwa kita semua adalah warga dunia dan memiliki tanggung jawab moral terhadap sesama manusia. Marcus Aurelius, dalam bukunya Meditations, bahkan menekankan pentingnya peran kita sebagai bagian dari komunitas.
Seorang stoik tidak mengabaikan dunia, tapi berusaha berkontribusi dengan tindakan yang bijaksana, tenang, dan berlandaskan pada nilai-nilai keutamaan (virtue), bukan dorongan impulsif.
3. Stoicisme adalah fatalisme

Banyak yang salah mengartikan stoicisme sebagai paham fatalistik, yaitu bahwa semua sudah ditentukan nasibnya, jadi tidak perlu berusaha. Ini membuat orang berpikir bahwa seorang stoik akan pasrah saja terhadap segala sesuatu yang terjadi.
Namun, stoicisme bukan tentang menyerah, melainkan tentang membedakan antara apa yang bisa kita kendalikan dan apa yang tidak. Dalam batas kendali tersebut, stoicisme mendorong tindakan yang aktif, penuh usaha, dan berdasarkan pada kebijaksanaan.
Konsep dikotomi kendali tidak dimaksudkan untuk mendorong kepasrahan, melainkan untuk menghindari penderitaan yang disebabkan oleh upaya mengendalikan hal-hal di luar kuasa kita, seperti opini orang lain, hasil akhir suatu usaha, atau peristiwa acak.
4. Stoikisme mengharuskan hidup asketik dan miskin

Karena banyak kutipan stoik yang memuliakan kesederhanaan, orang kerap berpikir bahwa stoicisme hanya bisa dipraktikkan dengan menjauhi harta, hidup miskin, dan mengasingkan diri dari kenyamanan.
Padahal, para stoik tidak melarang kenikmatan duniawi, selama kita tidak diperbudak olehnya. Seneca sendiri adalah seorang bangsawan kaya yang tetap mempraktikkan stoicisme secara serius. Ia menyatakan dalam bukunya Letters from a Stoic, bahwa tidak salah memiliki kekayaan, selama kekayaan itu tidak memiliki diri kita.
Stoicisme mendorong kita untuk menikmati hal-hal duniawi tanpa bergantung padanya sebagai sumber kebahagiaan utama.
5. Stoikisme tidak memiliki harapan atau impian

Kesalahpahaman terakhir adalah bahwa stoik tidak memiliki harapan, tujuan, atau ambisi karena semua hal dianggap sia-sia atau di luar kendali. Ini menjadikan stoicisme terlihat suram dan pesimis bagi sebagian orang. Faktanya, stoikisme sangat mendorong pengembangan diri, perbaikan karakter, dan pencapaian tujuan yang mulia.
Namun, semua itu dilakukan dengan sikap sadar dan bebas dari keterikatan emosional terhadap hasil akhir. Seorang stoik boleh punya impian besar, tapi tidak menggantungkan harga dirinya pada pencapaian impian tersebut. Fokusnya adalah pada proses, bukan hasil. Ini justru memberi kekuatan untuk tetap tenang, bahkan saat gagal.
Stoikisme adalah filosofi yang kaya, kompleks, dan sangat relevan dengan kehidupan modern. Banyak dari ajarannya yang telah terbukti membantu orang mengembangkan ketahanan mental dan moral. Dengan memahami secara lebih akurat, kita bisa menghindari penyederhanaan berlebihan dan mengambil manfaat nyata dari kebijaksanaan kuno ini.
Itulah 5 pandangan stoikisme yang paling sering disalahpahami.