Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Seorang wanita sedang menunduk.
Ilustrasi Tanda Kamu sedang Berpura-pura untuk Baik-baik Saja. (pexels.com/Andres Ayrton)

Ada kalanya hidup menaruh kita pada situasi yang begitu berat hingga pikiran kita memilih untuk tidak mengakuinya. Menolak realitas adalah mekanisme bertahan hidup yang sering muncul ketika kenyataan terasa terlalu menyakitkan untuk dihadapi. Kita menyangkal, mengabaikan, atau berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, padahal hati kita tahu ada sesuatu yang tidak benar. Ini bukan soal lemah atau kuat, ini soal manusia yang sering kali butuh waktu untuk menerima kenyataan pahit.

Namun, penolakan realitas yang terus dibiarkan justru membuat luka semakin dalam. Apa yang kita tutupi tidak pernah benar-benar hilang; ia hanya menunggu untuk muncul kembali, biasanya dengan cara yang lebih menyakitkan. Penulis ingin mengajakmu bercermin sejenak: apakah kamu sedang menjalani hidup apa adanya, atau sedang melarikan diri dari kebenaran yang sebenarnya perlu kamu hadapi?

Berikut 7 tanda bahwa kamu mungkin sedang menolak realitas yang menyakitkan.

1. Kamu berpura-pura semuanya baik-baik saja meski jelas tidak

Ilustrasi Philophobia, Ketakutan untuk Jatuh Cinta. (pexels.com/Karola G)

Ketika sesuatu berjalan salah, naluri pertamamu adalah berkata, “Aku fine, kok.” Kamu tersenyum, bersikap ringan, dan menampilkan versi diri yang kuat. Tetapi jauh di dalam diri, kamu tahu ada sesuatu yang tidak benar. Kamu merasa hampa, bingung, atau tertekan, itu perasaan yang kamu abaikan dengan alasan “nanti juga hilang”.

Penolakan ini membuatmu terbiasa menyembunyikan luka dengan senyuman. Padahal, semakin kamu memaksa dirimu terlihat baik-baik saja, semakin jauh kamu dari kesempatan untuk benar-benar menyembuhkan diri.

2. Kamu menghindari berbicara tentang masalah yang sebenarnya

Ilustrasi Tanda Kamu sedang Berpura-pura untuk Baik-baik Saja. (pexels.com/Andres Ayrton)

Setiap kali seseorang mencoba menyinggung masalah yang sedang kamu hadapi, kamu langsung mengalihkan pembicaraan. Kamu menertawakannya, mengganti topik, atau mengatakan bahwa “itu bukan urusan penting”. Menghindari pembahasan adalah cara termudah untuk merasa aman dari kenyataan yang mengganggu.

Namun, semakin kamu menghindar, semakin besar tekanan yang kamu rasakan. Masalah yang tidak pernah dibicarakan akan tumbuh dalam diam, menumpuk hingga akhirnya meledak pada waktu yang tidak kamu duga.

3. Kamu menyibukkan diri agar tidak merasakan apa pun

Ilustrasi Tanda Kamu Kurang Bersyukur dalam Menjalani Hidup. (pexels.com/Engin Akyurt)

Salah satu tanda paling jelas dari penolakan realitas adalah ketika kamu terus-menerus menyibukkan diri. Kamu bekerja tanpa henti, mengatur jadwal padat, atau melakukan banyak hal hanya untuk tidak punya waktu memikirkan masalahmu sendiri.

Kesibukan ini tampak seperti produktivitas, padahal sebenarnya itu adalah pelarian. Kamu takut diam, karena saat kamu berhenti, semua kenyataan yang kamu tolak akan kembali menuntut perhatianmu.

4. Kamu meminimalkan rasa sakitmu sendiri

Ilustrasi Luka Psikologis yang Paling Sering Muncul di Usia Dewasa. (pexels.com/Antoni Shkraba Studio)

Kamu sering berkata, “Ah, cuma segini doang,” atau “Orang lain lebih menderita.” Kamu meremehkan apa yang kamu rasakan seolah emosi sendiri tidak pantas mendapat ruang. Ini bentuk penolakan yang tampak bijak, tetapi sebenarnya kamu sedang mengabaikan kebutuhan emosionalmu.

Meminimalkan rasa sakit tidak membuatmu lebih kuat. Itu hanya membuatmu sulit mengerti kapan kamu benar-benar butuh pertolongan atau istirahat emosional.

5. Kamu masih menunggu sesuatu berubah tanpa mau menerima faktanya

Ilustrasi Cara Mengelola Rasa Iri agar Tidak Merusak Harga Dirimu. (pexels.com/Tuấn Kiệt Jr)

Kamu terus berharap seseorang akan kembali, situasi akan membaik, atau luka akan sembuh dengan sendirinya. Kamu hidup dalam “nanti”, bukan “sekarang”. Harapan kadang menjadi tempat bernaung, tetapi jika terlalu lama, ia berubah menjadi penjara.

Ketika kamu terlalu menggantungkan diri pada kemungkinan masa depan, kamu sebenarnya sedang menolak menghadapi kenyataan bahwa masa kini butuh keputusan atau keberanianmu.

6. Kamu mengabaikan tanda-tanda yang sudah jelas di depan mata

Ilustrasi Efek Emosional sebab Kamu Terus Menumpuk Rasa Kecewa. (pexels.com/Engin Akyurt)

Kamu melihat tanda-tandanya, seperti seseorang berubah, hubungan memburuk, hidup terasa tidak seimbang, tetapi kamu memilih berpaling. Kamu berkata pada dirimu, “Itu cuma perasaan,” atau “Dia pasti akan berubah,” meski kenyataannya lain.

Menutup mata terhadap fakta membuatmu merasa aman sementara waktu, tetapi ketika kenyataan akhirnya tidak bisa lagi dihindari, rasa sakitnya jauh lebih besar.

7. Kamu merasa mati rasa tapi tidak tahu mengapa

Ilustrasi Efek Psikologis dari Kebiasaan Kamu Memendam Cerita. (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Kamu tidak sedih, tidak bahagia, dan tidak benar-benar merasakan apa pun. Kamu berada dalam mode autopilot, menjalani hari tanpa warna. Ini adalah tanda bahwa kamu mematikan emosimu untuk menghindari menghadapi sesuatu yang menyakitkan. Ketika tubuh dan pikiran memilih mati rasa, itu bukan pertanda kekuatan, tetapi alarm bahwa kamu sudah lama mengabaikan sesuatu yang penting untuk dirasakan dan dihadapi.

Menolak realitas adalah sesuatu yang manusiawi, tetapi tidak selamanya menjadi tempat yang aman. Kenyataan yang kamu tolak tidak akan hilang hanya karena kamu berpura-pura tidak melihatnya. Ia tetap ada, menunggu untuk dihadapi dengan keberanian kecil yang mungkin selama ini kamu tunda.

Membuka mata pada kenyataan mungkin menyakitkan, tetapi itu adalah satu-satunya jalan menuju pemulihan, kejelasan, dan kelegaan yang kamu butuhkan. Pelan-pelan, hadapilah. Kamu tidak harus kuat, kamu hanya perlu jujur pada dirimu sendiri.

Demikian 7 tanda bahwa kamu mungkin sedang menolak realitas yang menyakitkan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team