Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi dampak psikologis dari silent suffering, saat pria dilarang menangis. (Pinterest/Men's Vitality Path)

Sejak kecil, banyak pria diajarkan untuk menahan air mata dan menyembunyikan rasa sakit. Ungkapan seperti “laki-laki harus kuat” atau “jangan cengeng, kamu kan cowok” terdengar biasa, bahkan dianggap membentuk karakter. Namun di balik norma sosial itu, banyak pria yang tumbuh dengan luka emosional tersembunyi, tidak pernah diberi ruang untuk merasa rentan, apalagi menangis.

Budaya maskulinitas yang kaku tidak hanya mematikan ekspresi emosional pria, tapi juga menciptakan penderitaan dalam diam, silent suffering. Mereka belajar menekan perasaan, memikul beban sendiri, dan terus berjalan meski hancur di dalam.

Berikut 5 dampak psikologis dari larangan tidak tertulis terhadap pria untuk menangis, dan bagaimana hal ini bisa membentuk krisis kesehatan mental yang tidak terlihat.

1. Budaya “kuat” yang salah kaprah

Ilustrasi alasan ilmiah mengapa kesepian lebih berbahaya dari rokok. (Pinterest/alex zane)

Pria sering dikaitkan dengan kekuatan, daya tahan, dan ketegasan. Namun, dalam banyak budaya, kekuatan ini dimaknai sebagai ketidakbolehan menunjukkan kelemahan, termasuk kesedihan. Menangis dianggap sebagai tanda kelemahan atau ketidakmampuan mengendalikan diri. Akibatnya, banyak pria yang memilih untuk memendam emosi demi mempertahankan citra "macho".

Masalahnya, definisi kekuatan yang keliru ini justru melemahkan mereka secara emosional. Menekan perasaan bukan berarti mengatasinya. Pria yang terbiasa memendam emosi rentan mengalami ledakan kemarahan, stres kronis, atau bahkan gangguan kecemasan dan depresi karena emosi yang tidak pernah diproses dengan sehat.

2. Tekanan untuk selalu tampil tangguh

Ilustrasi tanda dirimu sedang mengalami krisis yang tidak terlihat. (Pinterest/livestrong.com)

Di dunia kerja, pertemanan, bahkan dalam keluarga, pria sering kali ditekan untuk menjadi “pemimpin”, “pelindung”, atau “tulang punggung”, yaitu peran yang tidak memberi banyak ruang untuk merasa lelah atau butuh bantuan. Ketika ada masalah, mereka diajarkan untuk “selesaikan sendiri” dan tidak mengeluh.

Tekanan untuk selalu tampil tangguh ini menciptakan standar tak realistis bagi banyak pria. Mereka merasa gagal jika tidak kuat, malu jika merasa cemas, dan bersalah jika menangis. Dalam jangka panjang, beban ini menumpuk dan bisa berujung pada krisis identitas, kelelahan emosional, bahkan kehancuran relasi interpersonal karena ketidakmampuan mereka mengekspresikan apa yang sebenarnya dirasakan.

3. Penderitaan yang tidak terlihat dalam statistik

Ilustrasi dampak psikologis dari silent suffering, saat pria dilarang menangis. (Pinterest/Men's Vitality Path)

Meski lebih sedikit pria yang mengaku mengalami masalah kesehatan mental dibanding wanita, angka bunuh diri pada pria justru lebih tinggi secara global. Ini bukan karena pria lebih “lemah”, melainkan karena mereka tidak punya cukup ruang aman untuk mencari bantuan atau mengungkapkan penderitaannya. Diam-diam, mereka menderita dalam kesunyian.

Ketiadaan budaya berbicara di kalangan pria membuat mereka enggan ke psikolog, takut dianggap lemah oleh teman, atau bahkan menertawakan terapi. Padahal, bantuan emosional sangat dibutuhkan untuk meredakan tekanan batin yang sudah menumpuk bertahun-tahun. Ketika tidak ditangani, luka itu bisa muncul dalam bentuk adiksi, kekerasan, atau kehancuran diri.

4. Menangis adalah reaksi emosional, bukan cacat maskulinitas

Ilustrasi dampak psikologis dari silent suffering, saat pria dilarang menangis. (Pinterest/freepik.com)

Menangis adalah reaksi alami manusia terhadap rasa sakit, kehilangan, frustrasi, atau keharuan. Ini bukan kelemahan, melainkan ekspresi emosi yang sehat. Ketika pria diajarkan bahwa menangis adalah sesuatu yang memalukan, mereka kehilangan satu mekanisme pelepasan emosi yang penting.

Kesehatan mental memerlukan ruang untuk merasa dan melepaskan beban. Menangis bisa menjadi bentuk keberanian, karena butuh keberanian untuk jujur pada diri sendiri. Saat pria mulai diizinkan (oleh lingkungan dan diri sendiri) untuk menangis, mereka tidak hanya menjadi lebih manusiawi, tetapi juga lebih kuat secara emosional.

5. Membuka jalan untuk pemulihan dan kesehatan emosional

Ilustrasi alasan mengapa seseorang tetap bertahan di hubungan yang menyakitkan. (Pinterest/lautnachdenken.de)

Membebaskan pria dari tuntutan untuk selalu tampil kuat adalah langkah awal menuju pemulihan kolektif. Edukasi emosional, ruang dialog terbuka, dan pergeseran budaya maskulinitas menjadi lebih inklusif sangat penting. Pria juga perlu didorong untuk mencari bantuan profesional tanpa rasa malu.

Saat kita membiarkan pria menangis, kita tidak melemahkan mereka. Justru sebaliknya, kita sedang memberi mereka alat untuk bertahan lebih sehat. Ruang aman untuk berbicara, menangis, dan merasa adalah hak setiap manusia, tak peduli jenis kelaminnya. Pemulihan dimulai dari keberanian untuk merasa, bukan menyembunyikan.

“Laki-laki juga manusia” bukan sekadar ungkapan, tapi pengingat bahwa emosi bukanlah milik satu gender saja. Pria punya hak untuk merasa lelah, sedih, kecewa, bahkan menangis tanpa takut dihakimi. Sudah waktunya kita ubah narasi lama dan buka ruang bagi pria untuk tidak hanya menjadi kuat, tetapi juga utuh. Karena dalam keberanian untuk menangis, ada proses penyembuhan yang paling jujur.

Demikian 5 dampak psikologis dari larangan tidak tertulis terhadap pria untuk menangis, dan bagaimana hal ini bisa membentuk krisis kesehatan mental yang tidak terlihat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorLinggauni