Menelusuri Keunikan Tradisi Perang Topat di Pulau Lombok

Bukti keharmonisan umat hindu dan musim di pulau lombok

Lombok Barat, IDN Times - Perang sering kali diasosiasikan dengan konflik dan pertumpahan darah, merujuk pada pertempuran yang menjadi bagian dari sejarah perjuangan suatu bangsa atau kelompok yang berusaha merebut kekuasaan dari kelompok lain. Namun, di Indonesia, terdapat tradisi perang yang jauh dari konotasi tersebut. Tradisi perang yang dimaksud bahkan menjadi simbol perdamaian antara dua komunitas agama yang berbeda di Pulau Lombok.

Perang Topat, sebuah upacara adat, dilaksanakan di Pura Lingsar, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Meskipun menggunakan istilah "perang", peristiwa ini sebenarnya menjadi momen penting dalam menjaga kerukunan antara umat Muslim dan Hindu di Lombok.

1. Menggunakan kalender sasak

Menelusuri Keunikan Tradisi Perang Topat di Pulau Lombokwww.tourbalilombok.com

Tradisi ini diadakan saat matahari hampir terbenam, tepat pada sore hari, pada bulan purnama ke tujuh dalam kalender penanggalan Suku Sasak.

Prosesi dimulai sejak waktu Salat Asar atau dalam bahasa Sasak disebut "Rarak Kembang Waru" (gugur bunga waru). Orang tua menggunakan tanda khusus untuk menandai kedatangan waktu Salat Asar.

Baca Juga: Menikmati Akhir Pekan di Taman Narmada Lombok Barat

2. Memupuk rasa persaudaraan antarumat beragama

Menelusuri Keunikan Tradisi Perang Topat di Pulau LombokPerang topat yang dihadiri oleh Bupati Lombok Barat H Fauzan Khalid (Suara NTB)

Banyak umat Hindu dan Muslim berkumpul di Pura Lingsar, tempat di mana dua komunitas agama yang berbeda ini mengadakan prosesi upacara Puja Wali.

Upacara ini bertujuan untuk menyampaikan ungkapan rasa syukur atas berkah yang diberikan oleh Sang Pencipta. Perang yang terjadi dalam tradisi ini sebenarnya adalah ritual melempar ketupat antara umat Muslim dan Hindu, yang melambangkan semangat kerukunan dan persatuan antaragama.

3. Wujud rasa syukur

Menelusuri Keunikan Tradisi Perang Topat di Pulau Lombokbppdntb.com

Ketupat dianggap sebagai simbol kesuburan, dan dalam tradisi perang Topat, ketupat diperebutkan karena diyakini akan membawa kesuburan pada tanaman dan memastikan hasil panen warga menjadi semaksimal mungkin di masa mendatang.

Kepercayaan pada tradisi perang Topat telah berlangsung selama berabad-abad dan tetap dijaga dengan tekun oleh warga Lombok hingga saat ini. Ritual ini berakhir saat senja tiba, dan setiap warga yang hadir akan pulang membawa sisa-sisa ketupat sebagai simbol dari peristiwa tersebut.

Baca Juga: Ini Rekomendasi Tempat Nongkrong Asyik di Lombok Barat

Topik:

  • Linggauni
  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya