5 Alasan Mengapa Banyak Orang Tidak Percaya Lagi pada Kerja Keras

Kerja keras selama bertahun-tahun telah dijadikan sebagai prinsip utama untuk meraih kesuksesan. Namun, di era modern, pandangan ini mulai dipertanyakan. Banyak orang, terutama generasi muda, tidak lagi yakin bahwa kerja keras selalu berbanding lurus dengan pencapaian hidup.
Kepercayaan terhadap meritokrasi mulai digeser oleh kesadaran bahwa faktor eksternal seperti koneksi, privilese, dan keberuntungan sering kali lebih menentukan hasil akhir. Fenomena ini bukan tanpa alasan. Pengalaman nyata, kesenjangan sosial, serta narasi populer tentang kesuksesan instan membuat banyak individu merasa skeptis terhadap nilai kerja keras konvensional.
Artikel ini akan membahas 5 alasan utama mengapa kepercayaan terhadap kerja keras semakin memudar di tengah masyarakat modern.
1. Ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi

Ketimpangan ekonomi yang makin lebar membuat kerja keras tampak tidak cukup untuk memperbaiki kondisi hidup. Banyak orang merasa bahwa hasil kerja keras mereka tidak sebanding dengan upaya yang dilakukan, sementara segelintir orang lain dapat meraih kekayaan luar biasa tanpa terlihat bekerja lebih keras.
Menurut laporan Oxfam pada tahun 2023, 1% orang terkaya di dunia memiliki kekayaan lebih banyak dibandingkan 99% sisanya. Ketimpangan ini menciptakan persepsi bahwa kerja keras hanya relevan jika didukung oleh posisi sosial dan modal awal tertentu.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, realita ini menyebabkan rasa frustrasi dan hilangnya kepercayaan bahwa kerja keras bisa mengubah nasib secara signifikan.
2. Dominasi privilese dan koneksi

Banyak orang menyadari bahwa keberhasilan seseorang sering kali lebih ditentukan oleh koneksi dan latar belakang keluarga daripada kerja keras pribadi. Hal ini terlihat dalam dunia profesional, di mana akses ke peluang kerja, pendidikan berkualitas, atau promosi karier sangat dipengaruhi oleh jejaring sosial dan status.
Menurut Rivera dalam bukunya Pedigree: How Elite Students Get Elite Jobs, perekrutan di perusahaan elit cenderung berpihak pada kandidat yang berasal dari latar belakang sosial-ekonomi tinggi, terlepas dari kualifikasi objektif mereka. Fakta ini menguatkan keyakinan bahwa sistem kerja tidak sepenuhnya adil, dan bahwa kerja keras tanpa akses dan relasi yang tepat hanya akan membawa seseorang sampai pada titik tertentu saja.
3. Budaya hustle yang melelahkan dan tidak sehat

Budaya kerja modern yang menuntut produktivitas ekstrem justru menimbulkan kelelahan fisik dan mental. Banyak orang merasa terjebak dalam siklus kerja tanpa henti tanpa ada peningkatan kualitas hidup yang sepadan. Istilah seperti burnout menjadi semakin umum, bahkan di kalangan pekerja muda.
Sebuah studi yang dilakukan oleh WHO dan ILO pada tahun 2021 menyatakan bahwa jam kerja berlebih berkorelasi langsung dengan risiko gangguan kesehatan, termasuk penyakit jantung dan gangguan mental. Di tengah tekanan ini, muncul kesadaran bahwa kerja keras tanpa strategi, keseimbangan hidup, atau dukungan sistemik justru bisa merugikan kesehatan jangka panjang, bukan membawa kesuksesan.
4. Narasi kesuksesan instan dan pengaruh media sosial

Media sosial turut membentuk persepsi bahwa kesuksesan bisa diraih secara cepat dan tanpa kerja keras konvensional. Banyak figur publik yang memperlihatkan gaya hidup mewah dengan narasi “from zero to hero” dalam waktu singkat, tanpa menjelaskan proses di baliknya secara transparan.
Menurut Abidin dalam jurnalnya Mapping Internet Celebrity on TikTok: Exploring Attention Economies and Visibility Labours, mengatakan platform digital seperti TikTok dan Instagram membentuk budaya aspirational viewing, di mana audiens lebih tertarik pada hasil akhir yang glamor ketimbang prosesnya.
Ini menggeser nilai kerja keras ke pinggir, dan menumbuhkan mentalitas bahwa kerja cerdas, viralitas, atau keberuntungan lebih efektif daripada kerja keras bertahun-tahun yang tidak terlihat.
5. Kekecewaan kolektif terhadap sistem

Alasan yang terakhir, banyak orang kehilangan kepercayaan pada kerja keras karena merasa dikhianati oleh sistem itu sendiri, baik sistem ekonomi, pendidikan, maupun ketenagakerjaan. Mereka menyaksikan bagaimana lulusan terbaik tetap sulit mendapat pekerjaan, atau karyawan berdedikasi tidak mendapat pengakuan yang layak.
Fenomena ini dikenal sebagai disenchantment with meritocracy, di mana sistem tidak lagi dihargai berdasarkan usaha dan prestasi, melainkan oleh politik kantor, senioritas, atau bahkan manipulasi. Menurut Markovits dalam bukunya The Meritocracy Trap, meritokrasi telah berubah menjadi sistem eksklusif yang justru menciptakan ketimpangan dan membebani kelas pekerja dengan ekspektasi yang tidak seimbang.
Itulah 5 alasan utama mengapa kepercayaan terhadap kerja keras semakin memudar di tengah masyarakat modern.