Pulau Kambing yang menjadi salah satu pulau di kawasan konservasi Gili Balu. (IDN Times/Linggauni)
Gili Balu terdiri dari delapan pulau yang cocok banget buat island hopping, diving, dan wisata bahari lainnya. Tapi pengelolaannya tetap harus hati-hati karena wilayah ini dilindungi. Andy Affandy juga menambahkan bahwa upaya konservasi sudah berjalan aktif.
“Untuk konservasi, terumbu karang sudah dirilis ada 11 modul, dan untuk mangrove sudah ada pembibitan. Bukan hanya kegiatan konservasi, tapi juga adopsi,” jelasnya.
Andy juga menyebut bahwa pengelolaan kawasan TWP Gili Balu kini ada di bawah BLUD Provinsi NTB, yang membuat sistemnya lebih formal dan terarah.
“Sejak awal 2024, Taman Wisata ini dikelola oleh BLUD. Kami mendorong kelompok masyarakat untuk bermitra dengan BLUD agar pengelolaannya tetap legal dan berkelanjutan,” jelasnya.
Gili Balu jadi bukti bahwa wisata gak harus merusak alam. Dengan pendekatan yang tepat dan kolaborasi yang kuat, kawasan konservasi bisa jadi destinasi unggulan yang tetap ramah lingkungan dan menguntungkan masyarakat.
Gili Balu dikelilingi lima desa, yakni Poto Tano sebagai pintu gerbang, serta desa-desa penyangga seperti Senayang (Sepakek), Tuananga, Kiantar, dan Tambaksari. Dengan terlibatnya masyarakat dari desa-desa ini, dampak ekonomi dan sosial dari pengembangan wisata benar-benar dirasakan langsung.
“Kami percaya bahwa ketika masyarakat diberdayakan dan dilibatkan sejak awal, maka pariwisata yang dibangun akan lebih berkelanjutan dan berkeadilan,” tutup Aji.
Lewat TransformaSea Gili Balu, AMMAN memperlihatkan bahwa pembangunan pariwisata gak harus merusak alam. Justru, dengan pendekatan yang tepat, wisata bisa jadi jalan untuk menjaga lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan warga lokal. Sumbawa Barat punya masa depan cerah, dan Gili Balu jadi buktinya.