Tradisi Adat Hanta Ua Pua Bima Peninggalan Kesultanan Bima

Kekayaan budaya di Nusa Tenggara Barat

Bima, IDN Times - Bima merupakan bagian dari Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menyimpan banyak adat istiadat yang tidak kalah dengan daerah lainnya. Salah satunya adalah Tradisi Adat Hanta Ua Pua Bima yang merupakan Peninggalan Kesultanan Bima yang menaungi Kabupaten Bima pada dahulu kala.

Mulai dari sejarah, prosesi, keunikan, dan acara inti menjadi rangkaian Upacara Adat Hanta Ua Pua asli dari Bima Nusa Tenggara Barat.

1. Sejarah Kerajaan Bima

Menilik dari buku Bo’ Sangaji Kai yang merupakan hasil suntingan dari Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam R Salahuddin tahun 1999 memperlihatkan bahwa Islam berhasil masuk ke wilayah Bima tepat pada hari Kamis tanggal 5 Juli 1640 Masehi atau 15 Rabiul.

Awal 1050 Hijriah yang dibawa oleh 2 orang Datuk yang merupakan keturunan dari bangsawan melayu dari Kerajaan Pagaruyung yang saat ini berada di wilayah Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat yang dikenal dengan Datuk Di Banda dan Datuk Di Tiro yang merupakan Ulama Minangkabau.

Selama masa itu pula, kabarnya upacara Adat Hanta Ua Pua ini sudah dijalankan oleh Kerajaan dan warga Bima sejak empat abad silam, saat itu acara resmi Kerajaan Bima ini dilaksanakan setiap tahun dan dirayakan dengan besar-besaran sekaligus menjadi ajang silaturahmi antar suku dan bangsa.

Sayangnya tradisi ini dihentikan akibat terjadinya Perang Dunia II meledak.

Baca Juga: Inilah Rumah Sakit yang Berada di Kabupaten Lombok Barat, Provinsi NTB

2. Zaman kemerdekaan Indonesia

Pasca kemerdekaan Indonesia ini dengan banyak pertimbangan historis juga religius dari upacara ini, maka Kerajaan Bima mulai menghidupkan kembali upacara ini tahun 1950-an.

Walaupun rasa dari upacara ini mulai tergerus kesakralannya, ini berkaitan dengan transisi politik dari Kerajaan menjadi Swapraja yang penuh akan intrik politik juga konflik kepentingan.

Upacara adat ini kembali mendapat momentumnya ketika sera reformasi juga otonomi daerah bergulir.

Ini merupakan upacara adat yang diadakan oleh Umat Islam di Kabupaten juga Kota Bima untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, tujuannya adalah untuk merayakan masuknya Agama Islam ke Bima beserta penghormatan kepada tokoh yang membawanya.

Dimulai saat pagi pukul 08.00 Wita dari Kampung Melayu dan ditutup di depan Istana Kerajaan Bima atau Asi Mbojo.

3. Keunikan acara adat ini

Uma Lige ialah semacam mahligai berbentuk persegi empat yang digunakan untuk menandu penghulu Melayu dari Kampung Melayu sampai ke istana kerajaan, penghulu tadi ditemani oleh empat orang penari perempuan yang dinamakan Lenggo Mbojo juga empat penari laki-laki yaitu Lenggo Melayu. Ikut diarak juga Kitab Suci Al-Qur’an dan Ua Pua atau Sirih Puan yakni 99 tangkai bunga telur maneka warna juga hiasan lengkap dengan sirih pinang yang melambangkan 99 Asmaul Husna.

Kemudian ada pasukan berkuda yang berisi 2 kelompok yakni Jara Wera ialah pasukan berkuda yang mengemban tugas untuk mengawal Kesultanan Bima, dan Jara Sara’u yakni pasukan berkuda yang mengemban tugas mengawal tamu kehormatan Kesultanan Bima. Kabarnya penunggang kuda ini adalah pendekar yang mengantarkan datuk-datuk dari Makassar ke Bima melalui Teluk Bima.

Uma Lige ini akhirnya akan menyerahkan Al-Qur’an kepada Jena Teke atau Raja Muda dari Kerajaan Bima, hal ini menjadi simbol Kesultanan Bima senantiasa teguh untuk masuk Agama Islam sampai akhir zaman nanti. Mencetuskan kewajiban untuk warga Bima, agar senantiasa mengamalkan kandungan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Resep Kue Baeba Khas NTB, Kue Manis Bertekstur Lembut 

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya