Pemilik Pearl of Trawangan I Ketut Suadika (IDN Times/Eko Ardianto)
Meski banyak hotel dan kafe yang tutup akibat berkurangnya kunjungan wisatawan, namun beberapa masih tetap dibuka dan tetap menerima tamu berapapun jumlah yang datang. Salah satunya adalah Hotel Pearl of Trawangan.
Hotel ini tetap beroperasi meski hotel-hotel lain di sekitarnya sudah tutup dan gak sanggup lagi beroperasi. Manajemen hotel ini masih menyimpan harapan bahwa gili akan segera pulih dan kunjungan wisatawan akan kembali normal.
“Sama sekali gak ada Covid. Tapi ya orang masih takut masuk dan sebagainya. Dan saya mengajak semua pelaku pariwisata di sana. Hidupkan lampu saja. Jangan pikir Gili ini seperti kuburan. Jangan orang nanti ke sana, "Oh jangan Gili seperti kuburan." itu kan nanti menyebar,” ujar pemilik Hotel Pearl of Trawangan, I Ketut Suadika belum lama ini.
Dia mengajak para pelaku pariwisata di Gili Trawangan untuk tetap menghidupkan suasana di gili. Sehingga ketika wisatawan datang, mereka tetap merasa bahwa gili merupakan destinasi wisata yang patut dikunjungi wisatawan karena keindahan pantainya dan keramahan penduduknya.
“Karena kalau tutup, akan habis. Kalau kita habis, berarti orang lain akan habis juga, Itu yang saya gak mau. Makanya berapapun biaya untuk tenaga kerja, listrik, saya harus bayar,” akunya.
Selain Pearl of Trawangan, usaha wisata yang masih bertahan hingga saat ini adalah penyedia jasa snorkeling. Meski jumlah wisatawan terbilang minim, namun banyak dari mereka masih tetap menawarkan jasa itu. Meski tidak sedikit pula pemandu selam yang akhirnya banting setir dan mencari pekerjaan lain.
“Sepi sekali. Kadang kita dapat customer, kadang tidak. Kalau pun ada, ya paling maksimal lah 7-8 orang lah. Itu minimal kita public, 3 lah. Kalau ada 3 atau 4 orang, kita bawa,” kata Penyedia Jasa Snorkeling di Gili Trawangan, Baihaqi.
Perahu yang dulunya selalu digunakan untuk charter wisatawan untuk snorkeling, kini digunakan untuk mencari ikan. Hal itu dilakukan demi menyambung hidup. Sebab tidak banyak yang bisa dilakukan jika tidak ada kunjungan wisatawan. Mereka harus memutar otak agar dapur di rumah tetap mengepul.
“Jadi berat sekali. Biasa pemasukan banyak sekali setiap hari. Tiba-tiba begini jatuh miskin kita. Ya, jadi sehari-hari sekarang berprofesi sebagai sewa sepeda (menyediakan jasa rental sepeda). Jadi untuk ada income sedikit lah gitu. Ya untuk dapat makan,” ujar Baihaqi.
Para pedagang makanan di Gili Trawangan juga merasakan perbedaan sejak empat tahun belakangan ini. Dulu, semua makanan yang dijualnya selalu habis. Sebab ribuan wisatawan yang datang setiap hari pasti membeli makan.
Hal itu sudah tidak terasa lagi saat ini. Pendapat mereka menurun drastis sejak gempa hingga pandemik covid-19.
“Saat pandemik ini bisa turun sampai 80%, jadi pendapatan itu yang semulanya 100% bisa menjadi hanya 20-30%. Kalau dulu Alhamdulillah kita bisa dapat itu Rp3 juta hingga Rp5 juta, gak tentu lah kan fluktuatif. Jadi bisa Rp5 juta, Rp10 juta bisa. Tapi untuk saat ini 1 juta, 2 juta ya disyukuri saja lah,” kata salah satu pedagang makanan di Gili Trawangan, Aden.