Nasib Atlet Veteran Daerah, Jadi Buruh Angkut hingga Marbot Masjid

Berjuang demi dapat pekerjaan layak

Mataram, IDN Times - Perhatian pemerintah terhadap atlet dan pelatih berprestasi pada era tahun 1980-an tidak seperti saat ini. Saat ini, atlet yang berprestasi di tingkat nasional, regional bahkan internasional mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah.

Mereka yang berhasil mengharumkan nama daerah dan bangsa, diberikan bonus berupa uang, rumah bahkan jaminan pekerjaan sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil). Berbeda ketika era sebelum reformasi, atlet tidak mendapatkan perhatian yang spesial dari pemerintah daerah.

Seperti yang dialami mantan atlet dan pelatih tinju Nusa Tenggara Barat (NTB) Fahrudin (54). Atlet dan pelatih cabang olahraga tinju NTB era 1980 dan1990-an ini harus berjuang sendiri agar dapat diterima bekerja di instansi swasta maupun pemerintahan.

Fahrudin menjadi atlet tinju sejak 1986 hingga 1992. Kemudian menjadi pelatih tinju di NTB sampai tahun 2001. Pria kelahiran Bima tahun 1968 ini pernah mengharumkan nama daerah di tingkat nasional.

Meski demikian, tak menjamin akan mudah mendapatkan pekerjaan. Fahrudin mengatakan dirinya harus berjuang sendiri yaitu masuk pendidikan satpam dengan biaya sendiri. Supaya dapat diterima bekerja di instansi swasta maupun pemerintahan pada waktu itu.

"Saya jual kalung dan anting istri saya untuk pendidikan satpam. Kemudian beberapa hotel dan bank saya melamar pekerjaan," katanya.

Bahkan untuk membangun rumah, ia harus meminjam uang di bank. Berbeda dengan atlet muda saat ini yang dibangunkan rumah oleh Pemerintah jika berprestasi.

Pada akhirnya, ia menjadi pegawai honorer sebagai satpam di Dinas Kesehatan Provinsi NTB sekitar tahun 1998. Setelah menjadi pegawai honorer cukup lama, Fahrudin diangkat menjadi PNS pada tahun 2007. Sekarang, ia menjadi anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Provinsi NTB.

"Saya bersyukur dengan pemerintahan yang sekarang sejak reformasi mulai ada perubahan. Seperti gubernur dan bupati/walikota sudah membuka mata hatinya pada olahragawan," ungkapnya.

1. Jawara gulat jadi marbot masjid

Nasib Atlet Veteran Daerah, Jadi Buruh Angkut hingga Marbot MasjidHeri Susanto, mantan atlet cabang olahraga (cabor) gulat bagi Provinsi Lampung kini memilih sibuk mengurus masjid. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna)

Bergelimang medali tidak menjadikan kehidupan turut bergelimang materi. Kalimat tersebut dirasa lekat dengan nasib terkini Heri Susanto, mantan atlet cabang olahraga (cabor) gulat Provinsi Lampung.

Pria berusia 48 tahun itu merupakan salah satu atlet gulat amat disegani era 90-an. Bagaimana tidak, sederet prestasi telah direngkuh mulai dari kancah nasional hingga internasional. Namun itu semua tinggal cerita dan kenangan semata, pasalnya Heri kini memiliki kehidupan sederhana dan memilih lebih banyak menghabiskan waktu mengurus masjid atau marbot Masjid Darul Ukhuwah di kompleks Pusat Kegiatan Olahraga (PKOR), Kota Bandar Lampung.

Sadar memiliki postur tubuh besar, Heri mengatakan mulai mengenal dan menekuni cabor gulat sejak 1980'an akhir atau tepatnya kala menduduki bangku SMA. Waktu itu, ia merupakan sosok anak tumbuh besar di lingkungan kehidupan biasa dan sederhana di Kota Medan, Sumatra Utara.

"Alhamdulillah PON pertama saya dengan Lampung di Jakarta langsung dapat medali emas dan langsung terpilih Kerjunas persiapan SEA Games Jakarta pada 1997, dengan menyumbangkan medali perunggu karena semifinal kalah dengan Vietnam," sambung Heri.

Namun siapa sangka, usai memberi sumbangsih medali emas di PON XV Jatim, Heri mengaku mengalami kegundahan hati dan dirundung rasa jenuh cukup hebat, hingga akhirnya memutuskan untuk pensiun pada usia dini, yaitu 24 tahun.

Baca Juga: Kisah Heri Susanto, Dulu Jawara Gulat Lampung Kini Marbot Masjid 

2. Juara dunia jadi buruh angkut

Nasib Atlet Veteran Daerah, Jadi Buruh Angkut hingga Marbot MasjidBadengwati bersama piagam penghargaannya. (dok. Ni Wayan Badengwati)

Indonesia adalah gudangnya atlet-atlet pencak silat berbakat, termasuk di Bali. Tidak sedikit atlet-atlet Bali yang berprestasi di tingkat nasional maupun internasional. Satu di antaranya Ni Wayan Badengwati. Perempuan kelahiran Kabupaten Karangasem ini merupakan pendekar silat Bali yang pernah menjadi juara dunia.

Ibu empat orang anak ini mengawali prestasinya ketika mengikuti Pra PON X pada tanggal 8-11 Januari tahun 1981 di GOR Lilabuana, Kota Denpasar. Badengwati berhasil menjadi juara di kelas 55-60 kiloggram dewasa putri sehingga berhak mengantongi tiket PON X di Jakarta. Prestasinya berlanjut di ajang bergengsi nasional tersebut.

Karena prestasi yang dicapainya sebagai jawara PON X, Badengwati dilirik oleh Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (PB IPSI) sebagai bagian dari Timnas Indonesia. Ia dipersiapkan untuk mengikuti kejuaraan dunia pencak silat yang berlangsung di Jakarta pada tahun 1982.

Badengwati yang mengandalkan pukulan ini berhasil membungkam lawannya yang berasal dari Malaysia, dan berhasil menjadi jawara di kejuaraan dunia tersebut.

Prestasi itu tidak serta merta membuat kehidupan ekonomi Badengwati ikut bersinar. Selepas menjadi juara dunia, ia kembali sebagai tukang suwun di pasar. Badengwati tidak melanjutkan kariernya sebagai pelatih karena merasa tidak memiliki bakat untuk memberikan arahan kepada orang lain.

Badengwati belum pernah merasakan bonus atau penghargaan dari pemerintah terkait prestasinya tersebut.

"Saya cuma pernah dikasih hadiah uang Rp300 ribu saat PON X. Saat itu Bapak Gubernur Bali, IB Mantra, berkunjung ke tempat atlet Bali, dan beliau memberi uang Rp300 ribu. Uang itu saya bagi bersama teman-teman atlet yang lain," ujar Ibu yang mewariskan bakat beladiri ke anak dan cucunya ini.

Usianya mendekati senja. Badengwati tidak lagi menjadi tukang suwun. Selain karena faktor usia, ia pernah mengalami patah kaki akibat kecelakaan sehingga tidak memungkinkan lagi menjadi tukang suwun. Ia kini tidak memiliki penghasilan tetap. Terkadang diajak untuk bantu-bantu di bagian perlengkapan selama ada event olahraga di Kota Denpasar.

Badengwati merasa belum mendapatkan perhatian dari pemerintah sampai sekarang. Ia belum pernah ditawari menjadi pegawai pemerintahan.

"Saya berharap ada yang mau memberikan pekerjaan. Walaupun sebagai tukang sapu, saya mau, yang penting mendapat penghasilan tetap setiap bulannya. Mungkin karena saya buta huruf karena tidak pernah bersekolah, sehingga tidak ada yang menawarkan saya pekerjaan," kata Badengwati.

3. Jadi sopir hingga pengrajin mebel

Nasib Atlet Veteran Daerah, Jadi Buruh Angkut hingga Marbot MasjidMonang Siagian, mantan atlet tenis kursi roda asal Sumut yang berprestasi (Dok.Istimewa)

Satu kakinya menjadi pijakannya menjalani hidup. Berbagai jenis perabot dari kayu hingga rumah Barbie menjadi penyambung hidupnya.

Siapa sangka, dengan keterbatasannya, Monang dulunya seorang atlet berprestasi dan sudah bermain hingga beberapa negara Eropa. Bahkan ia tampil di Paralimpiade (Olimpiadenya atlet difabel).

Jalan hidup Monang pun berubah dengan menekuni jadi atlet. Prestasinya membuatnya terpilih mewakili Indonesia berlaga di Thailand, Korea, Jepang hingga ke Eropa.

“Tahun 1995 saya main ke Belanda, dan Olimpiade orang difabel (Paralimpiade) di Melbourne lalu ke Inggris. Sayangnya waktu akan ikut Kejuaraan dunia tenis di Amerika Serikat tahun 1997, saya gagal karena kalah seleksi di Malaysia," kata Monang.

Monang lalu kembali ke Sumatra Utara karena diminta memperkuat kampung halamannya di Porcanas (kini Peparnas) tahun 2004 di Palembang. Ia mengikuti cabor tenis kursi roda dan lari kursi roda. "Cabang tenis saya meraih emas dan lari kursi roda meraih perunggu,” tambahnya.

Dia dijanjikan bonus dan pekerjaan. Saat itu Gubernur dijabat almarhum Tengku Rijal Nurdin. Atas prestasinya dia lalu diganjar bonus sebesar Rp30 juta. "Sebelumnya juga dijanjikan pekerjaan. Tapi akhirnya gak ada, uang bonus itu beserta tabungan saya sebagai atlet itu yang kemudian saya jadikan modal usaha rumah boneka," beber Monang.

Monang juga sempat menjadi sopir lintas kota. Tapi ujian kembali hadir karena kebakaran menghanguskan usahanya tahun 2007. Monang tak lantas menyerah. Mentalitasnya sebagai atlet membuatnya berusaha memenangkan hidup.

Demi istri dan dua orang anaknya, Monang membangun lagi usaha rumah boneka dari kayu yang dirintisnya hingga kemudian dia bisa mempekerjakan orang lain sebagai karyawan.

“Waktu kebakaran itu saya ikhlas saja. Yang penting keluarga saya selamat. Yang penting tetap semangat dan pantang menyerah,” bebernya.

Monang lalu memperbesar lagi bidang usahanya. Gak hanya buat rumah Barbie dan miniatur dari kayu, dia juga membuat perabot-perabot dari Jepara.

Baca Juga: Kisah Monang Siagian, Eks Atlet Tenis Difabel Kini Pengrajin Mebel

4. Diberi uang saku Rp50 ribu

Nasib Atlet Veteran Daerah, Jadi Buruh Angkut hingga Marbot MasjidKisah Ashari di Usia Senja: Atlet Veteran Pencipta Kaki Palsu (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Melangkah gagah menuju pintu sembari senyum lebar, selalu dilakukan Ashari saat menyapa dan menyambut tamu dengan ramah di kediamannya. Usia senja tak membuat Ashari menjadi lesu. Pria yang disapa Pak As oleh warga Jalan Jompo RT 13 RW 2, Lorong Gunawan Km 5,5 Palembang, sedang menikmati sisa usianya bersama anak dan cucu.

Ashari merupakan atlet veteran berprestasi. Dahulu ia pernah mewakili Indonesia di Kanada dan Jepang untuk nomor pelari. Ashari memiliki keistimewaan karena berhasil memberikan emas kepada Ibu Pertiwi lewat kemampuannya walau menyandang disabilitas.

Menjadi penyandang disabilitas sejak lahir tidak menyurutkan semangat Ashari menjalani hidup. Terbukti, ia berhasil berjuang kala menjadi atlet Indonesia di Paralimpiade Toronto, Kanada pada 1976. Ashari mempersembahkan medali perak. 

Walau berhasil mengharumkan nama Tanah Air,  Ashari mengaku menjadi atlet bukanlah keinginan dan impian dia. Dirinya menyebut nama besar atlet disabilitas Indonesia adalah takdir yang sudah ditentukan sang Maha Kuasa.

Setelah berkarir di Solo hingga lolos ujian PNS, Ashari hijrah ke Palembang pada 1973 bertepatan dengan pengangkatan menjadi abdi negara salah satu panti sosial. Kemudian pada 1975, Ashari kembali unjuk gigi dalam ajang Pekan Olahraga Penderita Cacat (POR PERCA) yang didirikan Yayasan Pembina Olahraga Penderita Cacat (YPOC).

"Perlombaannya berlangsung di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan," kata dia.

Setahun setelahnya, Ashari mengikuti seleksi Paralimpiade di Toronto, Kanada. Ia berangkat dengan dukungan dari Gubernur Sumatra Selatan (Sumsel), Asnawi Mangku Alam.

“Aku menemui Pak Asnawi dan bilang kalau mau ikut seleksi Olimpiade. Akhirnya aku dikasih uang saku sekitar Rp50 ribu," timpalnya.

Tak hanya mengisahkan pengalamannya di Kanada, Ashari lanjut mengenang pertandingan pada ajang Fesfic Games di Australia 1977. Ia berhasil meraih dua emas, dua perak, dan satu perunggu.

"Pertandingan itu jadi pertandingan terakhir, karena saya dipensiunkan untuk meremajakan atlet-atlet muda Sumsel," ujarnya.

Baca Juga: Cerita Atlet Veteran 70-an Dibekali Gubernur Rp50 ribu ke Olimpiade

5. Memilih bekerja sebagai pegawai bank

Nasib Atlet Veteran Daerah, Jadi Buruh Angkut hingga Marbot MasjidAtlet veteran asal Makassar, Sulawesi Selatan, Ellong Tjandra (70). Istimewa

Ellong Tjandra, pria kelahiran Makassar, 26 April 1952 pernah disegani dunia. Dia pernah tercatat sebagai karateka terbaik Indonesia. Salah satu prestasi tertingginya adalah masuk jajaran top dunia pada kejuaraan Karate Open Tournament di Las Vegas, Amerika Serikat, tahun 1982.

Pada umur 19 tahun, Ellong meraih medali emas saat menjuarai Kejuaraan Karate Mahasiswa se-Indonesia. Dia lalu membawa pulang beberapa emas dari Pekan Olahraga Nasional (PON), yang sejak tahun 1973 hingga 1996 dipusatkan di Jakarta. Prestasinya itu membuat dia beberapa kali mewakili Indonesia di ajang internasional.

Ellong yang mencapai prestasi di karate tidak ingin terbuai kejayaan masa muda. Di tahun 1982, bergelar Sarjana Ekonomi Universitas Hasanuddin, dia memilih bekerja sebagai pegawai bank. 

Pilihan itu tentu tidak salah jika melihat rekam jejak Ellong selama ini. Sebelum pensiun, dia sempat didaulat sebagai Direktur Utama Bank Sulselbar dan pernah juga menjadi Komisaris Utama. Saat ini dia menduduki kursi Komisaris Utama Bosowa Asuransi dan berkantor di Jakarta.

Ellong mengaku, dulu di tahun 80an hingga 90an, perhatian pemerintah terhadap atlet, khususnya di Sulawesi Selatan, masih minim. Dia mencontohkan pengalamannya saat membawa tim karate Sulsel meraih medali emas nomor beregu putra di PON. Dia menyebut, saat itu sama sekali tidak ada tanda dukungan atau penghargaan dari pemerintah daerah.

"Saya belum pernah dapat itu hadiah segala macam. Mungkin waktu itu belum ada SEA Games atau Asian Games segala macam. Teman-teman saya pada zaman itu juga tidak ada yang dapat, (tapi) kita tidak berharap juga," kata Ellong.

Hingga kini, Ellong yang mulai mencintai olahraga Karate sejak sekolah dasar (SD) itu mengaku tidak lagi mengingat dengan jelas berapa medali emas atau juara selama dia menjadi atlet. Karena menurutnya, itu bukan menjadi prioritasnya sebagai olahragawan sejati.

5. Setia di bidang atletik dan suarakan nasib atlet veteran

Nasib Atlet Veteran Daerah, Jadi Buruh Angkut hingga Marbot MasjidMantan atlet Rumini asal Semarang pernah mencetak rekor Sapta Lomba di SEA Games 1993--1997. (dok. pribadi)

Nasib mantan atlet di Indonesia kerap tergambar tak seindah saat berjaya di masa muda. Namun, itu tak berlaku bagi mantan atlet perempuan dari Kota Semarang, Rumini. 

Mantan atlet dari cabang olahraga atletik ini tetap setia pada bidang olahraga tersebut hingga sekarang. Perempuan berusia 52 tahun itu kini berkarir sebagai pengajar di Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang (Unnes).

Ia pun tetap konsisten menggeluti bidang olahraga atletik hingga kini. Salah satu pengabdiannya dengan menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) Jawa Tengah.

Penghargaan pertama yang Rumini raih adalah menjuarai kompetisi lompat jauh di tingkat Kabupaten Pati saat duduk di bangku SMP. Kemudian, di cabang olahraga yang sama ia pernah ikut SEA Games tahun 1987 di Jakarta. Hanya saja pada ajang olahraga tingkat Asia Tenggara itu ia belum meraih juara.

Kemudian, dari tahun ke tahun prestasi Rumini terus menanjak. Pada SEA Games tahun 1993 di Singapura dan 1995 di Thailand ia berhasil meraih medali emas untuk nomor Sapta Lomba. Selain itu, juga mencetak rekor Sapta Lomba pada SEA Games sepanjang tahun 1993–1997 dan berlanjut di tahun 1998–2016.

“Penghargaan itu sangat luar biasa karena apresiasi atlet zaman dulu dengan sekarang beda. Sekarang pemerintah atau pihak lain sangat mudah memberikan bonus atau apresiasi kepada atlet yang berprestasi. Kalau dulu tidak begitu,’’ kata pelatih olahraga atletik itu.

Melalui prestasi-prestasi yang telah diraih dan kompetensi yang Rumini miliki, ia juga mendapat jalan untuk berkarir sebagai dosen Unnes. Kendati demikian, masih banyak mantan atlet yang tidak seberuntung dan bernasib baik seperti Rumini.

Itulah kisah beberapa atlet veteran tanah air. Di usia senja, mereka berharap pemerintah bisa lebih memerhatikan nasib atlet-atlet veteran yang pernah berjuang untuk mengharumkan nama Indonesia.

Tim Penulis: Muhammad Nasir (NTB), Tama Wiguna (Lampung), Feny Maulia Agustin (Sumsel), Doni Hermawan (Sumut),  Dahrul Amri Lobubun (Sulsel), Anggun Puspitoningrum (Jateng) dan Ari Budiadnyana (Community Writer Bali)

Baca Juga: Rumini, Babak Belur Cetak Rekor Saptalomba di SEA Games, Setia di Jalur Atletik

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya