Komandan Kompi C Lettu Ahmad Ahda memberi kesaksian di sidang Prada Lucky. (IDN Times/Putra Bali Mula)
Lettu Rahmat sendiri adalah Komandan Kompi (Danki) C. Ia semula tidak mengetahui adanya pemeriksaan dan penyiksaan terhadap Prada Lucky dan Prada Richard sejak 27 Juli 2025. Namun pada malam 28 Juli 2025 ia mendengar suara rintihan kedua prada ini di ruang staf intel saat melintas ruangan itu bersama dan Danton Ikrar.
"Saya masuk tanya ada apa dan larang mereka 'ambil' (siksa) almarhum Prada Lucky dan Prada Richard," jelas dia.
Ia tidak bertanya lebih jauh kepada terdakwa Danki A, Lettu Ahmad Faisal, dan Danki B, Letda Thariq Singajuru, ketika itu mengenai alasan penindakan mereka terhadap kedua korban.
"Izin, saya tidak bertanya lagi karena itu tanggung jawab kompi masing-masing. Jadi saya tidak mencampuri," sebutnya.
Tanpa sepengetahuannya lagi, kedua korban sudah dibawa ke ruang jaga atau yang sering mereka sebut sebagai rumah kuning. Pada tempat ini Pratu Ahmad Ahda bersama Pratu Emeliano De Araujo, Pratu Petrus Nong Brian Semi, dan Pratu Aprianto Rede Radja menyiksa keduanya.
Keempat terdakwa ini lalu menyiksa Prada Richard dan Prada Lucky secara bergantian dan bergerombol mulai sore hari, 29 Juli 2025, hingga dini hari di 30 Juli 2025.
Setelah mendengar kondisi keduanya masih disiksa maka Lettu Rahmat memerintahkan Komandan Satuan Kesehatan (dantonkes) untuk memeriksa mereka. Mulai dari itu keduanya dilarikan ke puskesmas hingga dibawa ke RSUD Aeramo pada 2 Agustus 2025.
Kemudian pada tanggal 4 Agustus 2025, Lettu Rahmat menggelar apel prajurit seluruh kompi di lapangan. Ia mendesak agar semua anggota yang terlibat untuk mengaku. Dalam situasi ini, ceritanya, beberapa anggota saling tuduh. Mulanya ada 10 anggota mengaku. Kemudian dari keterangan ini berkembang menjadi 19 orang. Nama-nama ini ia buatkan dalam laporan resmi untuk diusut batalion. Namun pada 6 Agustus Prada Lucky dinyatakan meninggal dunia.