Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi isi parcel sembako (freepik.com/freepik)
ilustrasi isi parcel sembako (freepik.com/freepik)

Kupang, IDN Times - Aturan baru Zero ODOL (Over Dimension Over Loading) diprotes dari pengusaha truk, sopir dan kernet di Nusa Tenggara Timur (NTT). Secara garis besar, aturan ini membatasi kapasitas muatan kendaraan disertai denda Rp 24 juta dan pidana maksimal 1 tahun.

Untuk konteks akses di wilayah NTT, aturan ini berdampak pada kenaikan harga sembako maupun ancaman bangkrutnya pengusaha truk ekspedisi di NTT. Sehingga perlu langkah antisipasi untuk mencegah hal itu terjadi.

1. Operasional bengkak

Suasana sosialisasi Zero ODOL di Ima Hotel Kota Kupang. (IDN Times/Putra Bali Mula)

Randy selaku perwakilan pengusaha, sopir dan kernet di NTT mengungkap operasional ke pulau-pulau sudah menelan tiket kapal yang mahal ditambah pajak. Bila aturan pembatasan angkutan berlaku, maka otomatis distribusi berkurang dan mereka merugi karena operasional yang sudah tinggi. Hal ini akan berimbas ke naiknya harga barang ke depannya.

"Jadi tidak tertutupi lagi untuk bayar gaji karyawan, setoran mobil, lalu bagaimana makan minum istri anak kami, istri anak sopir dan kernet? Terus terang aturan ini berat di NTT yang notabene daerah kepulauan," tukas Randy di Ima Hotel, Rabu (25/6/2025).

Ia menegaskan ini dalam sosialisasi Zero ODOL dengan kehadiran perwakilan instansi pemerintah dan kepolisian. Pertemuan ini digagas Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO) NTT.

2. Harga barang naik

Randy mewakili pengusaha, sopir dan kernet di NTT terkait aturan Zero ODOL di NTT. (IDN Times/Putra Bali Mula)

NTT sendiri memiliki 17 kabupaten di luar Pulau Timor. Untuk operasional di dalam Pulau Timor, jelas Randy, sudah memakan biaya sekitar Rp1 juta, sedangkan di wilayah Pulau Sumba bisa mencapai Rp8 juta hingga Rp10 juta. Perjalanan mereka pun bisa sampai seminggu sesuai jarak dan permintaan.

Kondisi tersebut bisa memperparah niaga, khususnya harga barang atau sembako antar-pulau di NTT bila aturan Zero ODOL berlaku.

"Kalau kita tidak dapat muatan ya mau tidak mau kami bangkrut pak, sudah begitu mau apa yang terjadi, pengangguran tambah banyak, terus harga barang pasti setinggi langit," tukas dia.

3. Ancaman pidana dan denda Rp24 juta

Ketua APTRINDO NTT, David Ongko Saputra, respon aturan Zero ODOL di NTT. (IDN Times/Putra Bali Mula)

Ketua APTRINDO NTT, David Ongko Saputra, pada saat itu menyebut NTT bukan daerah pabrik, produsen, dan semua logistik bergantung dari Pulau Jawa dan pulau lainnya dengan harga yang sudah ditentukan.

Sementara tidak semua pulau di NTT punya pelabuhan bongkar muat yang bisa disinggahi kapal-kapal kontainer secara langsung. Maka dari itu distribusi sangat tergantung pada ODOL, namun ini pun harus menyesuaikan dengan jadwal kapal yang tidak setiap harinya ada di masing-masing kabupaten.

Bila aturan ini ditambah lagi maka mereka terancam pidana dan sanksi. Sanksi meliputi pidana (kurungan hingga 2 bulan atau denda Rp 500.000 untuk over loading, hingga 1 tahun atau denda Rp 24 juta untuk over dimension) dan administratif (pembongkaran muatan berlebih).

"Pada saat dulu ODOL tidak ada ancaman pidana sekarang sudah ada ancaman pidana. Siapa yang mau masuk penjara bodoh-bodoh, siapa yang mau bayar Rp24 juta bodoh-bodoh," keluh David.

4. Buka konsultasi

Kepala Seksi Lalu Lintas Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) II NTT, Marta Anggoro, (kanan) bahas aturan Zero ODOL di NTT. (IDN Times/Putra Bali Mula)

Kepala Seksi Lalu Lintas Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) II NTT, Marta Anggoro, pada pertemuan itu mengaku akan menyampaikan aspirasi yang ada ke pemerintah pusat.

"Kami tampung karena seperti sudah disampaikan NTT punya topografi wilayah yang tidak semua sama, wilayah maritim, juga minimnya penyeberangan di NTT," sebut dia.

Pihaknya juga membuka ruang konsultasi per 1 Juli di Terminal Bimoku Kupang terkait dasar aturan ini maupun untuk pengukuran kendaraan secara gratis.

"Akan kami layani dan diskusi bersama," tukasnya.

Editorial Team

EditorLinggauni