IDI NTB Sayangkan Penghapusan Anggaran Wajib di UU Kesehatan
Nakes butuh insentif layak dan perlindungan hukum
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Mataram, IDN Times - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Nusa Tenggara Barat (NTB) menyayangkan penghapusan anggaran wajib atau mandatory spending untuk sektor kesehatan di dalam UU Kesehatan yang baru disahkan DPR RI. Sebelumnya, pemerintah wajib mengalokasikan anggaran sebesar 5 persen di APBN dan 10 persen di APBD untuk sektor kesehatan.
"Mandatory spending itu kewajiban negara hadir bagaimana memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi warganya. Negara maju saja kayak Amerika tetap ada mandatory spending. Kami IDI NTB sangat menyayangkan dalam UU Kesehatan yang baru, itu ditiadakan. Kalau ditiadakan, akan rancu," kata Ketua IDI NTB Dr dr Rohadi, Sp.BS,FICS,FINPS di Mataram, Sabtu (15/7/2023).
Baca Juga: 2030, Perspebsi Prediksi 1 Dokter Bedah Saraf Layani 500.000 Penduduk
1. Ketimpangan layanan kesehatan
Rohadi menyoroti ketimpangan pelayanan sektor kesehatan antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Dengan dihapusnya dihapusnya anggaran wajib sektor kesehatan di APBN dan APBD dikhawatirkan semakin menambah persoalan dalam pelayanan sektor kesehatan.
Sedikitnya ada empat persoalan sektor kesehatan yang masih timpang. Pertama, distribusi tenaga kesehatan khususnya dokter yang masih menumpuk di Indonesia bagian barat. Sedangkan di Indonesia bagian timur, distribusi tenaga kesehatan masih terbatas.
Kedua, sarana dan prasarana kesehatan yang juga masih timpang. Semakin ke Indonesia bagian timur, sarana dan prasarana kesehatan tidak lengkap. Ketiga, insentif bagi tenaga kesehatan yang belum layak. "Semakin ke Indonesia bagian timur, kurang pas untuk kehidupan yang layak," terangnya.
Persoalan keempat terkait dengan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan yang melakukan tugas pelayanan kesehatan. Ia memberikan contoh seperti kasus yang terjadi di Papua, seorang dokter spesialis paru meninggal. Padahal, dia satu-satunya dokter spesialis paru di sana.
"Untuk mencetak dokter spesialis itu waktunya panjang. Dokter saja 6 tahun, sedangkan dokter spesialis 5,5 tahun. Sehingga butuh waktu belasan tahun untuk mencetak satu dokter spesialis. Ketika nyawanya hilang, berapa masyarakat yang dirugikan. Makanya jangan kita abaikan itu. Perhatikan insentif yang layak dan perlindungan hukum bagi mereka," pinta Rohadi.
Baca Juga: Ribuan Anak Obesitas, NTB Gencarkan Gerakan Aksi Bergizi