Eksistensi Wayang Terancam, Dalang Muda Kesulitan Menembus Zaman

Regenerasi dalang harus dilakukan untuk melestarikan wayang

Mataram, IDN Times – Presiden Joko Widodo telah menetapkan 7 November sebagai Hari Wayang Nasional. Keberadaan wayang yang sepaket dengan dalangnya kini mulai jarang terlihat. Gempuran zaman dan perkembangan teknologi membuat pertunjukan dalang kurang diminati oleh generasi milenial dan gen z. Hal ini pula yang membuat wayang kesusahan mencari atau meregenerasi dalang muda.

Bagai benda asing, banyak anak-anak tak mengenali lagi bentuk wayang. Anak-anak lebih akrab dengan tokoh-tokoh kartun asal luar negeri, alih-alih cerita Pandawa Lima. Selain bukan sebuah kesenian yang mudah, murah dan sederhana, mendalami kesenian Wayang perlu waktu yang tak sedikit, sehingga sulit dilakukan di zaman yang serba instan seperti saat ini.

Sebelum adanya radio, televisi (TV) maupun media sosial (medsos), pertunjukan wayang menjadi hiburan yang sangat ditunggu-tunggu oleh anak muda. Namun seiring banyaknya akses untuk mencari hiburan, wayang mulai ditinggalkan dan bukan lagi sebagai pilihan utama. Mereka juga memahami, bahwa wayang adalah media untuk menceritakan sejarah dan menyampaikan pesan kehidupan.

Meski sulit, namun di beberapa daerah tetap ada anak muda yang ingin belajar dan melestarikan kesenian wayang. Seperti apa kisah dan motivasi mereka? Yuk simak sama-sama!

1. Regenerasi dalang tetap ada tapi tak banyak

Eksistensi Wayang Terancam, Dalang Muda Kesulitan Menembus ZamanWayangan Climen oleh Dalang muda di Banyuwangi. (IDN Times/ Agung Sedana)

Ketua Padakawangi, dalang muda Ki Andre Tri Winarto, mengatakan bahwa komunitas ini tidak hanya berisikan dalang muda saja. Namun, mereka yang juga mencintai kesenian wayang kulit atau yaga (pengiring gamelan) pagelaran wayang kulit juga masuk di dalamnya. 

Kebudayaan sejatinya tumbuh berkembang menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Begitu pula di Sekolah Pedalangan Sasak yang mengenalkan Wayang Sasak kepada anak-anak sejak usia dini lewat wayang botol. Dengan model kekinian, anak-anak bergembira menikmati dan memainkan wayang botol yang terbuat dari sampah botol plastik.

"Generasi sekarang perlu dideketin dengan bentuk yang beda. Sehingga muncullah wayang botol. Wayang botol itu rata-rata dalangnya anak-anak. Ini bukan wayang pakem tapi mungkin wayang itu berkembang sesuai perkembangan zaman," kata Pendiri Sekolah Pedalangan Wayang Sasak  Abdul Latif Apriaman dan Fitri Rahmawati saat berbincang dengan IDN Times di Mataram, Jumat (4/11/2022).

Dalam pertunjukan wayang botol, selalu ada tokoh Wayang Sasak yang juga dimainkan. Sehingga nyambung antara dunia masa lampau dan sekarang. Dengan mengenalkan anak-anak wayang botol, mereka menjadi semakin tertarik untuk bermain wayang Sasak.
Melihat antusiasme anak-anak muda bermain wayang botol, ia optimis regenerasi Dalang wayang Sasak mulai tumbuh meskipun tanpa dukungan pemerintah.

Baca Juga: Tarik Minat Anak Muda, Kenalkan Wayang Sasak dengan Model Kekinian 

Baca Juga: Krisis Regenerasi Dalang di Banyuwangi, Wayang Kulit Memaksa Eksis

2. Dalang perempuan dari Yogyakarta

Eksistensi Wayang Terancam, Dalang Muda Kesulitan Menembus ZamanBernadetha Astri Putri Nugraheni. (Istimewa/dokumen pribadi).

Menjadi seorang dalang wayang, terlebih bagi seorang perempuan, tidak banyak yang mengambil pilihan itu. Namun, lain halnya dengan Bernadetha Astri Putri Nugraheni. Perempuan kelahiran, Yogyakarta 16 Oktober 2004 mencintai seni budaya Jawa sejak berusia belia. 

Astri yang kini mengenyam pendidikan S1 Psikologi Universitas Sanata Dharma itu mengaku mencintai seni tradisional sejak duduk di bangku sekolah dasar. Sebelum menjadi dalang, ia mengikuti ekstrakurikuler karawitan.

“Itu karawitan sebenarnya saat kelas 4 baru boleh ikut, tapi saya kelas 2 SD sudah ikut duluan. Ekskul itu kebetulan yang mempunyai sanggar pakde (paman), jadi saya bisa ikut latihan. Ya sama teman-teman yang lebih tua, baru pas kelas 4, sama teman yang seumuran,” ujarnya.

Selain Astri, setidaknya ada 11 orang yang terdiri dari para seniman dan budayawan Yogyakarta yang tergabung dalam Komunitas Wayang Merdeka. Komunitas ini terbentuk karena rasa kecewa karena wayang dijauhi dan disingkirkan, terutama jika dilihat dari segi agama yang menilai wayang merupakan sesuatu yang syirik.

“Sejak itu kami kecewa dengan hal tersebut lalu kebetulan kami teman-teman seniman. Katanya tugas terakhir seniman itu adalah pendidikan, edukasi. Kami lalu bikin komunitas wayang, tapi merdeka. Merdeka artinya merdeka tekniknya, merdeka konsepnya, dan tidak terbebani dengan hal yang klasik,” ujar Miko Jatmiko selaku ketua Komunitas Wayang Merdeka.

Baca Juga: Komunitas Wayang Merdeka Kenalkan Wayang secara Menyenangkan

Baca Juga: Berawal Nonton Wayang di TV, Astri Terpikat Menjadi Dalang Muda 

3. Dalang muda berjuang meski diremehkan

Eksistensi Wayang Terancam, Dalang Muda Kesulitan Menembus ZamanDanang Aji Pamungkas dalang muda asal Kecamatan Rawajitu Selatan, Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung. (IDN Times/Istimewa). 

Masih terkenang jelas dalam ingatan Danang Aji Pamungkas memori 20 tahun silam saat ikut sang ayah melakonkan pertunjukan wayang di kampung halamannya, Rawajitu Selatan, Kabupaten Tulang Bawang. Tak terbesit dalam pikirannya untuk menjadi seorang dalang seperti ia lakoni saat ini.

Setelah menyelesaikan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta jurusan Pedalangan, 2020 lalu Danang kembali ke Kampung halamannya dan melanjutkan profesi ayahnya sebagai dalang wayang kulit di daerahnya. Menurut Danang, ia menjadi satu-satunya dalang muda di daerahnya karena belum pernah menemui dalang seusianya.

“Saya belum pernah dengar ada anak muda di lingkungan saya terjun jadi dalang. Mungkin  yang belajar musik Jawa banyak. Tapi kalau jadi dalang kebanyakan usianya sudah cukup tua,” ujarnya.

4. Menarik tapi sulit digeluti

Eksistensi Wayang Terancam, Dalang Muda Kesulitan Menembus Zamanilustrasi wayang (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Rizqoh, 24 tahun, gadis yang kini tinggal di Lebak mengaku pertama kali menyaksikan pertunjukan Wayang pada tahun 2018 lalu, di Anyer. Ia tertarik dengan kesenian ini lantaran memang baru pertama kali melihatnya, meski dalam buku-buku pelajaran ia kerap mendengar kesenian tersebut.

"Terus pas ada pertunjukan wayang jadi antusias. Kalau ditanya cerita wayangnya aku gak bisa jelasin, karena gak begitu paham bahasa Jawa. Saat itu dalangnya pake bahasa Jawa," ungkapnya, kepada IDN Times.

Rizqoh yang juga seorang pegiat seni puisi dan teater mengaku tertarik pada wayang, tapi belum ingin menggelutinya lebih dalam dan menjadi dalang karena beberapa alasan. Salah satunya adalah proses yang panjang ketika hendak menjadi dalang. 

Baca Juga: Wayang Menarik Bagi Milenial, Tapi Tak Mudah dan Sederhana

5. Teguh lestarikan warisan leluhur

Eksistensi Wayang Terancam, Dalang Muda Kesulitan Menembus ZamanDalang Wayang Lemah. (dok. pribadi/Ari Budiadnyana)

Wayang bukan sekadar seni bagi seorang I Made Agus Adi Santika. Ngewayang baginya merupakan bakat bawaan sejak lahir. Tumbuh di lingkungan seni, membuat I Made Agus Adi Santika memiliki bakat alami sebagai seorang dalang. Menurutnya untuk menjadi seorang dalang, hal utama harus dimiliki yakni kemauan besar untuk melestarikan warisan dari leluhur.

“Dengan melihat seseorang mendalang, yang tidak hobi biasanya akan kabur. Menjadi seorang dalang tidaklah mudah. Banyak yang harus dikuasai, mulai dari tembang, gerak, tabuh, vokal, dan lain-lain. Bahkan saya sendiri tidak bisa meyakinkan teman, kalau menjadi dalang itu meyenangkan. Harus ada kemauan atau tekad yang besar untuk menjadi seorang dalang,” ujar I Made Agus Adi Santika atau yang diikenal dengan Gus Cupak.

Begitu pula yang dilakukan oleh Arga Putra Nugraha (13) yang dijuluki sebagai Dalang Cilik dari Jawa Timur. Bak dalang-dalang dewasa, Arga, begitu fasih membawakan cerita tokoh-tokoh wayang. Cerita yang paling sering ia bawakan adalah Sang Anjilo yang menceritakan seorang Hanoman.

"Ceritanya, pada saat itu Sang Anjilo diutus Prabromo mencari Kyai Sinto. Habis itu obrak abriknya lengko ketangkap sama ndrajit. Habis itu dibakar," ujar Arga, berusaha menceritakan kembali cerita pewayangan yang ia bawakan di gedung seni Cak Durasim Surabaya, Jumat (4/11/2022).

Arga bukan satu-satunya dalang cilik asal Mojokerto. Satu teman Arga, yakni M. Sabiq Khoiron yang usianya lebih mudah dari Arga juga tampil di Cak Durasim. Sabiq masih berusia sembilan tahun.

Sama seperti Arga, Sabiq mulai belajar mendalang lewat ekstrakurikuler di SD Negeri Banyu Legi Mojokerto. Ia juga mengaku senang dengan dunia perawayangan. "Iya seneng kak," kata Sabiq.

Proses pembibitan dalang cilik ini, memang dilakukan oleh SD Negeri Banyulegi, Dawarblandong, Mojokerto. Di sekolah tersebut, ada ekstrakurikuler karawitan.

Hal yang sama juga dilakukan Danendra Kidung Sindhutama atau akrab disapa Sindu. Jumat malam (4/11/2022), Sindu unjuk kebolehan memainkan beberapa lakon wayang kulit di Pendopo Ageng Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. 

Walau tanpa memakai beskap dan blangkon khas dalang, tapi kepiawaian Sindu bermain wayang kulit membuat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo terkejut. 

Baca Juga: Anak Muda di Tabanan Suka Pertunjukan Wayang Diiringi Humor

6. Pakai gantungan baju untuk belajar wayang

Eksistensi Wayang Terancam, Dalang Muda Kesulitan Menembus ZamanDalang muda Sindhunata Gesit Widiharto asal Kota Semarang (Instagram/@sindhunata_gw)

Lahir sebagai orang Jawa dan besar di lingkungan keluarga yang mencintai kebudayaan Jawa membentuk Sindhunata Gesit Widiharto menjadi seorang dalang di usia muda. Cerita itu bermula ketika sang ayah kerap mengundang pakeliran wayang kulit setiap malam Jumat Kliwon sejak tahun 1991 hingga sekarang. 

Saat berusia empat tahun, Sindhu kerap menggunakan gantungan pakaian milik ibunya untuk bermain wayang. Hal itu diketahui oleh sang ayah, Soehartono Padmo Soemarto yang notabene pemilik Teater Lingkar di Kota Semarang.

Tidak ambil pusing soal keturunan dalang, bungsu dari tiga bersaudara ini terus menekuni profesi yang ia cintai dengan menempuh pendidikan S1 jurusan Pedalangan di ISI Surakarta. Lulus sebagai sarjana, Sindhu langsung melanjutkan S2 di program studi Penciptaan Teater dan kini ia tengah mengenyam pendidikan S3 program studi Penciptaan Teater di ISI Surakarta untuk meraih gelar Doktor.

‘’Motivasi saya memilih profesi dalang di zaman sekarang ini karena ingin ngugemi welinge simbah-simbah (memegang nasehat orang tua) dulu, bongso sing ageng iku sing ngregani kabudayan, yen wong Jowo ya nguri-uri lan ngurip-urip budaya Jowo (negara yang besar itu yang menghargai kebudayaan, kalau orang Jawa yang harus melestarikan dan menghidupkan budaya Jawa),’’ kata Sindhu.

Baca Juga: Dalang Muda Sindhunata dari Semarang, Mendekatkan Wayang dengan Generasi Milenial

7. Pergeseran cerita wayang demi menarik penonton

Eksistensi Wayang Terancam, Dalang Muda Kesulitan Menembus ZamanPagelaran wayang kulit Palembang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Pertunjukan kesenian wayang kulit kini telah mengalami kemajuan. Beberapa instrumen pendukung seperti campursari dan lawakan, mulai dimasukkan agar penonton tetap menonton wayang kulit. Bahkan penonton saat ini cenderung lebih menikmati lawakan dan campursari ketimbang cerita yang disajikan oleh para dalang. Keresahan ini yang dirasakan oleh puluhan dalang yang tergabung dalam Komunitas Dalang Remaja Tulungagung (Kodrat).

Para dalang remaja ini memiliki keresahan tersendiri terkait pertunjukkan kesenian wayang kulit. Mereka melihat terdapat pergeseran dalam pertunjukkan tersebut. Masuknya unsur tambahan seperti seni campursari dan lawakan membuat pertunjukkan wayang kulit tampak berbeda. Akibatnya penonton justru banyak menunggu penampilan campursari dan lawakan dalam pementasan wayang kulit.

"Saat ini tidak lagi menanyakan siapa dalangnya, tapi banyak yang tanya lawakannya nanti siapa yang pentas," tuturnya.

Selain pergeseran cerita, kondisi memperihatinkan juga terjadi pada seni wayang di beberapa daerah. Salah satunya adalah Wayang Palembang yang mulai mengalami kesulitan dalam dua dekade silam. Hanya tersisa satu dalang Wayang Palembang terus melestarikan kebudayaan tersebut.

Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP) M Iqbal Rudianto tak menampik jika Wayang Palembang, tak banyak diminati anak muda. Untuk itu DKP berupaya memberikan sentuhan dan masukan agar kesenian itu juga bisa diterima anak muda.

"Sekarang kita lagi menggarap, pertunjukan wayang dengan berkolaborasi dengan tim digital. Di dalamnya kita akan memadukan antara teater, wayang dan teknologi. Kita harus mencari konsep baru yang lebih segar," jelas dia.

Hal yang sama disampaikan oleh dalang wayang dari Banjarmasin. Menurut Wijaya Kasuma, Pedalangan Wayang Banjar ini tak menampik bahwa pertunjukan wayang sudah hampir sulit ditemui.

Beberapa tahun ini juga ia sudah tidak pernah lagi melakukan pertunjukan. Yang memprihatinkan lagi, ia belum mendapatkan penerus pedalangan wayang ini sebagai pewaris kebudayaan agar bisa dilestarikan.

"Saya belum mendapatkan penerus dalang wayang ini dan secara intens saya memang belum pernah mengajarkan," katanya, Jumat (4/11/2022).

Baca Juga: Menjaga Wayang Palembang dari Gerusan Zaman  dan Teknologi   

Baca Juga: Kurang Eksis, Wayang Banjar Kesulitan Mencari Dalang Muda

8. Mantan dalang yang merindukan pertunjukan

Eksistensi Wayang Terancam, Dalang Muda Kesulitan Menembus ZamanMuslim, mahasiswa yang masih ingat tentang pertunjukan wayang kulit (Dok. Pribadi)

Muslim, salah seorang mahasiswa di STMIK Pelita Nusantara Kota Medan mengakui pernah menyaksikan pertunjukan Wayang Kulit saat berusia belasan tahun. "Pernah. Dulu sekali, pada saat aku berumur belasan tahun karena memang aslinya aku orang Jawa Tengah Purwokerto. Jadi, pertunjukan wayang itu sudah sering kami lihat," ucap Muslim.

Muslim mengakui cukup tertarik menjadi seorang dalang wayang kulit, dan sempat ikutan menjadi dalang saat masih kecil. "Dulu saat masih kecil sempat ikutan menjadi dalang, akan tetapi sudah lupa," tutur Muslim.

Bagi Muslim, yang masih diingatnya pada topik paling menarik dalam pertunjukan wayang kulit adalah kisah Pandawa 5 di kitab Mahabrata. "Itu cerita yang sangat diingat sampai sekarang," tutup Muslim yang sudah belasan tahun menjadi anak perantau di Kota Medan.

Itulah beberapa dalang muda pada seni pewayangan di tanah air. Meski sulit, mereka tetap berusaha melestarikan warisan budaya nasional ini. Besar harapan agar kesenian wayang ini bisa menjadi perhatian pemerintah daerah setempat. Sehingga regenerasi dalang tak sulit dilakukan.

Artikel ini merupakan artikel kolaborasi yang ditulis oleh Jurnalis dari beberapa Hyperlocal IDN Times.

Muhammad Nasir (NTB), Sri Wibisono (Kalimantan Timur), Indah Permatasari (Sumatera Utara), Rangga Erfizal (Sumatera Selatan), Anggun Sedana (Jawa Timur), Khusnul Hasana (Jawa Timur), Bramanta Putra (Jawa Timur), Dyar Ayu (Yogyakarta), Herlambang Jati Kusumo (Yogyakarta), Silviana (Lampung), Muhammad Iqbal (Banten), Wayan Antara (Bali), Ni Ketut Wira Sanjiwani (Bali), Anggun Puspitoningrum (Jawa Tengah) dan Fariz Fardianto (Jawa Tengah)

Baca Juga: Tarik Minat Anak Muda, Kenalkan Wayang Sasak dengan Model Kekinian 

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya