Sumbawa Barat, IDN Times – Pada ketinggian 600 meter di atas permukaan laut, Desa Mantar di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), Nusa Tenggara Barat dikenal sebagai “desa di atas awan”. Tiap pagi, rumah-rumah kayu sederhana terselimuti kabut tipis, menghadirkan pemandangan yang menenangkan. Namun, di balik pesona itu, ada suara alat tenun gedogan yang menggema. Mereka menenun bukan hanya kain, tetapi juga masa depan mereka.
Kelompok Tenun Mantar Berseri adalah wujud nyata dari semangat itu. Mereka menjaga warisan leluhur sembari membuka jalan baru bagi ekonomi perempuan di desa. Tradisi yang dulu hampir punah kini kembali hidup berkat tangan-tangan terampil dan dukungan dari berbagai pihak, terutama PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMMAN).
Sebelum 2022, aktivitas menenun di Mantar hampir tak terdengar lagi. Hanya empat sesepuh yang masih bertahan dengan alat gedogan tuanya. Motif khas Mantar hampir hilang karena tak pernah terdokumentasi. Namun, lewat program Mantar Berseri, yang diinisiasi AMMAN bersama Digital Tenun Nusantara (DiTenun), tradisi itu bangkit kembali dengan wajah baru.
Program ini bukan hanya pelatihan menenun, tapi juga transformasi sosial. Perempuan yang dulu hanya menenun untuk keperluan adat kini memproduksi karya bernilai ekonomi.
“Dulu kami menenun hanya untuk upacara adat atau sekadar mengisi waktu. Sekarang hasil tenunan bisa dijual ke hotel, wisatawan, bahkan instansi pemerintah. Kami bangga karena tradisi ini kembali bernilai,” kata Ketua Kelompok Tenun Mantar Berseri, Sri Devi belum lama ini.
Dari sembilan anggota pada awalnya, kini kelompok itu berkembang menjadi 16 perajin aktif. Mereka membuat berbagai produk, di antaranya sarung, selendang, outer, tas, hingga topi. Inovasi menjadi kunci agar kain tenun Mantar tidak hanya lestari, tapi juga diterima generasi muda dan pasar modern.
Pelatihan dari AMMAN dan pemerintah desa membuka wawasan baru bagi para perajin. Mereka belajar pemasaran digital, manajemen usaha, hingga dokumentasi motif secara daring.
“Kami tidak hanya diajari menenun, tapi juga belajar cara promosi dan pengelolaan keuangan. Sekarang kami percaya diri ikut pameran dan menjual produk secara online,” ungkap Sri Devi.
Kepala Desa Mantar, Asmono, mengatakan bahwa dukungan pemerintah desa (pemdes) juga berperan dalam kelangsungan program ini. Ia memberikan modal berupa benang dan menyediakan tempat agar perajin Mantar dapat menyalurkan kreativitasnya.
“Benangnya ini dari pemdes. Pemberian pelatihan dan juga bangunan ini juga dari pemdes. Semuanya pakai dana desa,” ujarnya.
Dari sinilah, Desa Mantar perlahan menjelma menjadi contoh bagaimana budaya bisa sejalan dengan pemberdayaan ekonomi. Seiring kabut yang turun di pagi hari, Mantar kini menenun harapan baru bagi warganya.