Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Nuraini saat mengikuti pameran dan bazar di Mataram. (IDN Times/Linggauni)

Lombok Barat, IDN Times – Pagi baru saja merekah di Telagawaru, Kecamatan Labuapi, Kabupaten Lombok Barat. Matahari masih bersembunyi malu-malu di balik awan tipis, sementara dari sebuah dapur sederhana, aroma manis khas pisang sale mulai merebak memenuhi ruangan. Di sana, seorang perempuan tampak sibuk membungkus camilan kering ke dalam kantong-kantong plastik berlabel rapi, lalu menatanya ke dalam mobil yang siap mengantar produk itu ke toko oleh-oleh dan hotel-hotel berbintang.

Di balik tumpukan keranjang pisang kering, alat pengering sederhana dan stiker kemasan, berdirilah sosok tangguh bernama Nur’aini. Ia bukan hanya pemilik usaha rumahan, tapi juga penggerak di balik nama Manha 99, salah satu Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mitra binaan Rumah BUMN BRI Mataram. Produknya telah hadir di rak oleh-oleh ternama, tersaji di meja hotel berbintang, bahkan dikirim rutin ke luar negeri.

Namun, kesuksesan itu bukanlah cerita yang instan. Di balik merek yang kini terdengar profesional, tersembunyi kisah jatuh bangun, tangis dalam diam dan keyakinan yang tak pernah benar-benar padam. Nur’aini menempuh perjalanan panjang dari seorang pedagang pakaian keliling hingga kini menjadi produsen camilan pisang sale yang digemari banyak kalangan.

1. Dari kredit pakaian hingga pisang hampir terbuang

Produk yang dihasilkan dari dapur Manha 99. (IDN Times/Linggauni)

Perjalanan Nur’aini sebagai pelaku usaha dimulai sejak tahun 2003. Saat itu, ia memulai dari bawah dengan menjual pakaian secara kredit, menawarkan barang pecah belah dari pintu ke pintu. Tahun 2007, ia menambah usaha simpan pinjam yang ia kelola dari rumah dan dikenal warga sebagai “tabungan maulid”.

Segalanya mulai berubah saat ia melihat potensi besar dari hal yang selama ini dianggap remeh, yaitu pisang. Di kampung halamannya di Kabupaten Lombok Utara, Nur’aini menyaksikan banyaknya pisang yang terbuang karena harga yang jatuh dan terlampau murah.

“Waktu itu sempat anjlok Rp500 per sisir. Pisangnya gak terjual. Ongkos dari kebun mahal, belum lagi petani gak sanggup bawa ke pasar. Banyak yang busuk, dibuang begitu saja,” kenangnya saat berbincang dengan IDN Times pada Rabu (16/4/2025).

Dari rasa iba itulah kemudian muncul ide. Ia mulai mengumpulkan pisang yang masih layak, lalu menjemurnya satu per satu. Proses ini sangat lambat dan melelahkan. Ia kemudian mencoba mengiris pisang agar lebih cepat kering. Saat itulah ia mulai berpikir untuk mengolahnya menjadi pisang sale.

Keberhasilan tidak datang seketika. Awalnya, usaha penggorengan pisang sale gagal total. Pisang gosong, teksturnya keras dan terpaksa dibuang. Tapi semangatnya tidak padam. Ia terus bereksperimen, mencoba ketebalan irisan yang berbeda, hingga akhirnya menemukan formula yang pas.

2. Melahirkan brand dari dapur sederhana

Editorial Team

Tonton lebih seru di