Waspada Post-Vacation Blues, ketika Liburan Malah Bikin Depresi

Banyak orang menganggap liburan sebagai pelarian sempurna dari rutinitas yang menjemukkan. Pantai, pegunungan, atau sekadar kota baru memberi sensasi kebebasan dan kegembiraan yang sulit tergantikan. Namun, euforia itu sering hanya bertahan sementara. Begitu koper dibongkar dan jadwal kerja kembali menumpuk, muncul rasa sedih, malas, bahkan depresi.
Fenomena ini dikenal sebagai post-vacation blues. Ironisnya, momen yang seharusnya mengisi ulang energi justru berujung pada rasa hampa. Kamu merasa sulit menyesuaikan diri kembali ke realitas, membandingkan kehidupan sehari-hari dengan kebebasan saat liburan, dan merindukan kebahagiaan yang baru saja berlalu.
Artikel ini akan membahas apa sebenarnya fenomena ini, mengapa terjadi, serta bagaimana cara mengatasinya agar liburan benar-benar menjadi penyegar, bukan pemicu stres baru.
1. Apa itu post-vacation blues?

Post-vacation blues adalah kondisi psikologis di mana seseorang merasa sedih, cemas, atau kehilangan motivasi setelah pulang dari liburan. Meskipun tidak termasuk diagnosis medis formal, kondisi ini diakui oleh banyak psikolog sebagai bentuk transisi emosional yang bisa berdampak signifikan pada kesejahteraan seseorang.
Gejalanya bervariasi, mulai dari perasaan malas bekerja, sulit tidur, hingga merasa hidup sehari-hari membosankan. Pada sebagian orang, post-vacation blues bisa memicu stres yang lebih serius, terutama jika liburan yang dijalani sangat menyenangkan atau menjadi momen pelarian dari masalah pribadi.
2. Mengapa liburan justru membuat kamu murung?

Salah satu penyebab utama post-vacation blues adalah perbedaan kontras antara liburan dan rutinitas sehari-hari. Saat berlibur, kamu merasakan kebebasan penuh, sedikit kewajiban, dan banyak hal baru yang memicu hormon kebahagiaan. Ketika kembali ke rumah, realitas terasa suram karena tidak ada lagi kebaruan atau kejutan, ungkap Gilbert dan Abdullah dalam jurnal Annals of Tourism Research.
Selain itu, liburan sering menjadi sarana pelarian dari stres. Kamu merasa hidup lebih indah karena bisa menghindari masalah sehari-hari. Namun, begitu pulang, semua masalah menunggu untuk dihadapi. Ini membuat banyak orang mengalami crash emosional, seolah kehilangan pelampung kebahagiaan yang selama ini menahan rasa stress.
3. Media sosial memperparah sindrom ini

Media sosial memperburuk post-vacation blues. Ketika melihat foto-foto liburan yang kamu unggah, muncul rasa rindu terhadap momen itu. Foto-foto yang dulu membahagiakan justru menjadi pemicu rasa kehilangan. Apalagi ketika orang lain memuji atau iri pada liburan kamu, semakin muncul rasa kontras antara “hidup liburan” dan “hidup sehari-hari”.
Lebih jauh, algoritma media sosial sering memunculkan konten serupa, membuat kamu terjebak dalam nostalgia. Kamu terus melihat destinasi wisata, promo perjalanan, atau influencer yang liburan terus-menerus. Ini memperkuat ilusi bahwa hidup kamu kurang menarik, dan meningkatkan rasa murung pasca liburan.
4. Siapa yang paling rentan mengalami post-vacation blues?

Tidak semua orang mengalami post-vacation blues dengan intensitas yang sama. Orang yang sebelumnya sedang mengalami stres tinggi di pekerjaan atau kehidupan pribadi lebih rentan mengalaminya. Semakin liburan terasa sebagai pelarian, semakin besar kemungkinan muncul sindrom ini setelah pulang.
Selain itu, orang dengan kepribadian perfeksionis atau yang sangat terorganisir juga cenderung sulit menerima perubahan drastis. Kembali ke rutinitas terasa berat, karena mereka merasa apa pun yang dilakukan tidak lagi seindah atau semenarik pengalaman saat liburan. Faktor kelelahan fisik akibat perjalanan panjang juga bisa memperburuk kondisi ini.
5. Bagaimana mengatasi post-vacation blues?

Mengatasi post-vacation blues bukan berarti harus langsung merencanakan liburan berikutnya. Salah satu cara paling efektif adalah membawa sedikit suasana liburan ke kehidupan sehari-hari. Misalnya, memasak makanan yang kamu coba saat liburan, mendengarkan musik khas destinasi yang kamu kunjungi, atau memajang foto perjalanan sebagai pengingat kenangan positif.
Selain itu, penting untuk mempersiapkan transisi sebelum pulang dari liburan. Alih-alih langsung kembali bekerja keesokan hari, sisakan satu-dua hari di rumah untuk beradaptasi. Membuat rencana kecil yang menyenangkan dalam rutinitas juga membantu. Misalnya, menonton film favorit, bertemu teman, atau mencoba aktivitas baru. Yang terpenting, sadari bahwa perasaan murung ini normal dan sementara, dan akan berlalu seiring waktu.
Post-vacation blues adalah fenomena psikologis nyata yang muncul akibat kontras antara kebebasan liburan dan rutinitas sehari-hari. Meskipun terasa membuat depresi, sindrom ini bisa dikelola dengan cara-cara sederhana. Yang terpenting, liburan seharusnya menjadi penyegar hidup, bukan sumber stres baru. Jadi, jangan biarkan kenangan liburan justru merusak kebahagiaanmu setelah pulang.
Itulah pembahasan mengenai fenomena post-vacation blues, ketika liburan malah bikin depresi.