Tips agar Kita Bisa Tahu Seseorang sedang Berbohong lewat Chat

Di era digital, banyak percakapan penting terjadi lewat teks, entah itu chat pribadi, email, atau pesan di media sosial. Namun, ada satu masalah besar: bagaimana kita tahu apakah lawan bicara jujur atau sedang berbohong? Saat berbicara tatap muka, kita bisa membaca ekspresi wajah, nada suara, atau bahasa tubuh. Tapi lewat teks, semua tanda-tanda fisik itu hilang. Apakah mendeteksi kebohongan masih mungkin dilakukan?.
Ternyata, meski tak ada nada suara atau ekspresi wajah, ada pola linguistik, perilaku digital, hingga jeda waktu yang bisa menjadi petunjuk seseorang sedang berbohong. Artikel ini akan membahas bagaimana kebohongan muncul dalam teks, apakah kita bisa mendeteksinya, dan sejauh mana teknologi membantu atau justru memperumit kemampuan kita membaca kejujuran orang lain secara virtual.
Berikut ulasan apakah kita bisa tahu seseorang sedang berbohong lewat chat?
1. Bahasa teks yang berbeda saat berbohong

Penelitian Hancock, Curry, Goorha, dan Woodworth dalam jurnal Discourse Processes menunjukkan orang yang berbohong cenderung menulis dengan bahasa yang lebih abstrak. Mereka menghindari detail konkret karena takut kontradiksi di kemudian hari. Kalimat mereka cenderung lebih pendek atau lebih panjang dari biasa, dan sering kali memakai kata-kata umum ketimbang spesifik.
Selain itu, penipu sering menggunakan lebih sedikit kata ganti orang pertama seperti “saya” atau “aku,” untuk menciptakan jarak psikologis dari kebohongan. Mereka juga cenderung memakai kata negatif lebih banyak karena merasa bersalah atau cemas. Inilah mengapa analisis teks menjadi salah satu cara mendeteksi kebohongan dalam komunikasi digital.
2. Jeda ketikan bisa menjadi petunjuk

Salah satu tanda kebohongan dalam chat adalah waktu respon yang tidak konsisten. Jika seseorang biasanya cepat merespons, lalu tiba-tiba lama mengetik balasan, bisa saja ia sedang menyusun kebohongan, ungkap Hancock.
Namun, jeda waktu bukan bukti pasti seseorang berbohong. Bisa saja mereka sedang sibuk, koneksi internet lambat, atau hanya berpikir lebih lama. Karena itu, para ahli menyarankan agar kita tidak mengandalkan satu tanda saja, melainkan melihat pola keseluruhan perilaku komunikasi.
3. Kesalahan ketik dan pengeditan berlebihan

Menariknya, orang yang berbohong lewat teks sering membuat lebih banyak kesalahan ketik, lalu buru-buru menghapus atau mengedit pesan sebelum mengirim. Ini terjadi karena kebohongan membuat beban kognitif lebih berat, otak harus memikirkan cerita palsu sambil memastikan pesan tetap masuk akal.
Di platform yang mencatat “edited message,” kebohongan bisa terdeteksi jika seseorang terlalu sering memperbaiki tulisannya. Namun, tidak semua aplikasi memperlihatkan jejak edit. Jadi, kebiasaan ini bisa saja lolos dari pengamatan kita, kecuali kita jeli memperhatikan pola.
4. Emosi yang kurang sinkron

Kebohongan juga sering tampak dari emosi yang tidak sinkron. Misalnya, seseorang mengatakan, “Aku senang banget!” tetapi memilih kata-kata datar atau bahkan tanpa emoji, padahal biasanya dia ekspresif. Ketidaksesuaian antara isi pesan dengan gaya bahasa atau ekspresi digital (emoji, GIF) bisa menjadi petunjuk.
Namun, interpretasi ini berbahaya jika tanpa konteks. Mungkin saja orang tersebut memang sedang lelah, sibuk, atau tidak sedang ingin banyak bicara. Itulah sebabnya para ahli mengingatkan bahwa tanda-tanda kebohongan di teks selalu harus dilihat dalam konteks kebiasaan pribadi.
5. Bisakah AI membantu deteksi kebohongan?

Saat ini, banyak penelitian mengembangkan algoritma deteksi kebohongan berbasis teks. Sistem ini menganalisis pola bahasa, panjang kalimat, frekuensi kata tertentu, bahkan jeda waktu mengetik. Beberapa aplikasi mengklaim bisa mendeteksi kebohongan dengan tingkat akurasi cukup tinggi.
Namun, penggunaan AI untuk mendeteksi kebohongan lewat teks masih penuh kontroversi. Selain masalah akurasi, ada persoalan privasi dan etika. Tidak semua orang nyaman jika pesan pribadinya dianalisis mesin untuk mencari tanda kebohongan. Lagipula, kebohongan sering bersifat sangat kontekstual, sehingga sulit diukur hanya lewat pola bahasa.
Meskipun tak ada ekspresi wajah atau nada suara, kebohongan dalam chat tetap meninggalkan jejak. Namun, mendeteksi kebohongan lewat teks bukan perkara mudah. Kita perlu berhati-hati agar tidak salah menuduh hanya karena lawan bicara mengetik lebih lama atau memakai kata-kata berbeda. Teknologi memang bisa membantu, tetapi hingga kini, membaca kebohongan masih lebih banyak seni daripada sains.
Demikian ulasan mengenai apakah kita bisa tahu seseorang sedang berbohong lewat chat? Semoga bermanfaat.