Ternyata Ini Alasan Kenapa Orang Sulit Mengatakan "Tidak"

Pernahkah kamu mendapati dirimu mengangguk setuju pada permintaan orang lain, padahal hatimu ingin menolak? Atau merasa gelisah setelah berkata “iya” karena sadar tidak sanggup memenuhinya? Fenomena sulit mengucapkan “tidak” dialami banyak orang, entah di tempat kerja, pertemanan, bahkan dalam keluarga. Padahal, kemampuan mengatakan “tidak” adalah kunci untuk menjaga batasan pribadi, kesehatan mental, dan rasa hormat terhadap diri sendiri.
Mengapa satu kata sederhana ini terasa begitu berat diucapkan? Dari rasa takut ditolak, ingin menyenangkan orang lain, hingga pola asuh masa kecil, banyak faktor psikologis memengaruhi kebiasaan kita.
Berikut ulasan kenapa banyak orang sulit mengatakan “tidak”, serta dampak dan cara mengatasinya, agar kita lebih berani menjaga diri dan kesejahteraan emosional.
1. Takut kehilangan persetujuan sosial

Salah satu alasan utama orang sulit mengatakan “tidak” adalah kecemasan sosial. Kita makhluk sosial yang mendambakan diterima oleh kelompok. Ketika menolak permintaan, ada ketakutan akan dianggap egois, tidak sopan, atau bahkan ditolak. Otak kita memproses penolakan sosial sebagai ancaman nyata, mirip rasa sakit fisik.
Hal ini makin kuat dalam budaya kolektivistik, seperti di banyak negara Asia, di mana keharmonisan kelompok sangat dijunjung. Mengatakan “tidak” dianggap menimbulkan konflik atau “menjaga muka” orang lain. Alhasil, banyak orang memilih berkata “iya,” meski batin menolak, demi menjaga hubungan baik.
2. Ingin menyenangkan orang lain

Fenomena people-pleasing membuat kita menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan diri sendiri. Bagi people pleaser, membuat orang lain senang memberi rasa aman dan berharga. Mengucapkan “tidak” terasa seperti mengecewakan orang lain atau menjadi beban.
Sayangnya, kebiasaan ini berdampak buruk dalam jangka panjang. Orang yang terus menerus berkata “iya” bisa mengalami stres, kelelahan emosional, bahkan resentment atau rasa jengkel terpendam. Hubungan pun menjadi tidak seimbang, karena orang lain terbiasa mengandalkan kita tanpa batas. Belajar berkata “tidak” menjadi penting demi kesehatan mental.
3. Takut konflik dan rasa bersalah

Banyak orang menghindari konflik bagai wabah. Mereka khawatir mengatakan “tidak” akan memicu pertengkaran atau suasana canggung. Bahkan sekadar penolakan halus terasa berat, karena kita merasa bersalah telah membuat orang lain kecewa.
Perasaan bersalah ini muncul karena kita memandang kebutuhan orang lain lebih penting daripada kebutuhan sendiri. Padahal, menolak permintaan bukan berarti kita orang jahat. Sebaliknya, batasan yang sehat justru membantu membangun hubungan lebih jujur dan saling menghargai.
4. Pola asuh dan pengalaman masa kecil

Cara kita dibesarkan sangat memengaruhi kemampuan berkata “tidak.” Anak-anak yang tumbuh di lingkungan otoriter sering diajarkan untuk selalu patuh, menghindari konflik, dan menuruti orang dewasa tanpa banyak bertanya. Akibatnya, mereka terbiasa menekan keinginan pribadi demi menyenangkan orang lain.
Selain itu, pengalaman trauma juga bisa memengaruhi. Misalnya, orang yang pernah mengalami penolakan keras di masa lalu akan lebih takut mengatakan “tidak” karena khawatir akan ditinggalkan. Ini membuat mereka lebih memilih “yes” meski tidak sanggup atau tidak mau.
5. Kurangnya keterampilan komunikasi asertif

Sebagian orang memang tahu mereka ingin menolak, tapi tak tahu bagaimana mengucapkannya. Mereka takut terdengar kasar atau menyakiti hati orang lain. Padahal, ada cara mengatakan “tidak” secara asertif, yakni tegas tapi tetap sopan.
Latihan komunikasi asertif sangat penting. Misalnya, alih-alih berkata “tidak” secara mendadak, kita bisa mengucapkan, “Terima kasih sudah mengajak, tapi saya tidak bisa,” atau “Saat ini saya punya prioritas lain.” Keterampilan ini membantu kita menetapkan batas tanpa merasa bersalah, sekaligus menjaga hubungan baik dengan orang lain.
Kesulitan berkata “tidak” bukanlah kelemahan, melainkan hasil interaksi berbagai faktor psikologis, sosial, dan pengalaman hidup. Namun, terus-menerus berkata “iya” hanya untuk menyenangkan orang lain bisa mengorbankan kesehatan mental kita. Belajar mengatakan “tidak” adalah bentuk mencintai diri sendiri. Dengan komunikasi asertif, kita bisa menjaga hubungan baik tanpa harus selalu mengorbankan kebutuhan pribadi.
Itulah ulasan kenapa banyak orang sulit mengatakan “tidak”, serta dampak dan cara mengatasinya, agar kamu lebih berani menjaga diri dan kesejahteraan emosional. Semoga bermanfaat, ya.