Terdapat dua definisi utama dalam Matsnawi, yaitu ‘ilm atau ilmu. Definisi yang pertama, ‘ilm dikaitkan dengan keberadaan materi yang dapat dilihat yang bisa diterobos melalui fasilitas pendidikan. Sedangkan definisi yang kedua, ‘ilm tidak duniawi, tidak melalui ajaran di sekolah serta tidak bisa didapat melalui buku, riset penelitian, atau fasilitas pendidikan dan akademis.
Lebih jelasnya, ‘ilm yang luar biasa ini justru memberi kesaksian terhadap pemahaman kepada kebenaran yang berada di luar pemahaman manusia pada umumnya, atau kesadaran akan realitas yang tersembunyi. Serta merupakan satu-satunya dimensi eksistensi yang absolut.
Dalam Matsnawi termuat beragam kisah serta anekdot yang melaluinya Rumi merujuk pada perbedaan antara dua konsep ‘ilm. Mungkin yang paling masyhur adalah kisah tentang seorang ahli tata bahasa, seorang Nahwi, yang berlayar di atas kapal kemudian bertanya kepada awak kapal, “Pernahkah engkau belajar Nahw (tata bahasa)?” Sang awak kapal menjawab bahwa ia tidak pernah belajar tata bahasa, lalu sang Nahwi berkata kepadanya “Oh! Betapa kasihan engkau, separuh hidupmu telah sia-sia”. Sang awak kapal terdiam dan tidak menanggapi perkataan Nahwi.
Sesaat setelahnya, sebuah badai menerpa kapal, lantas sang awak kapal berteriak “Apakah engkau bisa berenang?” Ahli tata bahasa yang congkak tadi menjawab bahwa ia tak akan pernah mau belajar berenang, sang awak kapal lantas berkata “Oh Nahwi! Seluruh hidupmu telah sia-sia, karena kapal sedang karam dan mulai tenggelam”. Di akhir anekdot ini, Rumi berkata “Di sini yang dibutuhkan adalah pelenyapan diri (Mahw), bukan tata bahasa (Nahw). Jika engkau lenyap dari diri, maka tenggelamlah ke laut itu, dan jangan takut akan ancaman atau bahaya”.
Menjadi mengerti pada aspek studi skolastik tidak membuka pintu ke dimensi metafisik, apa yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat itu bukanlah fiqh atau sharf atau nahw. Kita membutuhkan “hukum segala hukum” (fiqh-i-fiqhi), “bentuk-kata dari segala bentuk-kata” (sharf-i-sharf), dan “tata-bahasa segala tatabahasa” (nahw-nahw). Pernyataan ini dimaknai Rumi sebagai pengetahuan yang diterima melalui relasi spiritual dengan dunia Ilahi.