Quiet Quitting: Hadir Secara Fisik tapi Tidak Secara Emosional

Istilah quiet quitting awalnya populer di dunia kerja, merujuk pada fenomena seseorang yang hadir secara fisik namun tidak lagi terlibat secara emosional. Mereka tetap menjalankan tugas, tapi tak lagi berambisi atau terlibat lebih dari yang diwajibkan. Namun ternyata, pola yang sama bisa muncul dalam kehidupan pribadi, baik dalam hubungan, persahabatan, bahkan dalam relasi dengan diri sendiri. Kamu merasa tetap ada, tapi secara batin sudah undur diri.
Fenomena ini seringkali tak disadari. Kamu menyebutnya “lelah”, “lagi sibuk”, atau sekadar “butuh waktu sendiri”, padahal secara psikologis kamu mungkin sedang menarik diri secara pasif. Penulis ingin mengajak kamu memahami bagaimana quiet quitting meresap dalam ranah personal, apa penyebabnya, dan bagaimana cara menanganinya agar hidup kembali memiliki koneksi dan makna yang utuh.
Berikut pembahasan quiet quitting dalam kehidupan pribadi, fenomena seseorang yang hadir secara fisik namun tidak lagi terlibat secara emosional.
1. Quiet quitting dalam hubungan: hadir tapi tidak terhubung

Dalam banyak hubungan, terutama yang sudah berjalan lama, quiet quitting bisa muncul tanpa disadari. Pasangan tetap tinggal bersama, menjalani rutinitas, tapi tak lagi berbagi perasaan, mimpi, atau kedekatan emosional. Interaksi menjadi transaksional: “Sudah makan?”, “Tolong jemput anak.” Secara fisik mereka dekat, tapi secara batin berjauhan.
Hal ini bisa dipicu oleh akumulasi luka kecil, konflik yang tak terselesaikan, atau rasa kecewa yang tidak diungkapkan. Jika tidak disadari dan ditangani, relasi seperti ini bisa menjadi sumber kelelahan emosional atau bahkan menyebabkan keterasingan. Menyadari bahwa kamu sedang "mundur secara diam-diam" adalah langkah pertama untuk memperbaiki koneksi dan membangun kembali kedekatan yang hilang.
2. Menarik diri dari persahabatan: diam-diam pergi

Persahabatan juga bisa terkena dampak quiet quitting. Terkadang, kamu tidak lagi membalas pesan teman, jarang hadir di pertemuan, atau menghindari topik percakapan yang dulu hangat. Tidak ada pernyataan resmi, tidak ada konflik terbuka, hanya perlahan-lahan menghilang. Kamu mundur tanpa menjelaskan, dan menganggap itu lebih mudah daripada menghadapi ketidaknyamanan.
Penyebabnya bisa beragam: ketidaksesuaian nilai, kelelahan sosial, atau perubahan fase hidup. Namun, tidak semua pertemanan yang redup berarti harus berakhir. Dalam banyak kasus, komunikasi terbuka bisa memulihkan hubungan. Jika tidak, berpisah secara sadar dan penuh hormat akan jauh lebih sehat daripada meninggalkan dengan cara yang pasif-agresif.
3. Quiet quitting terhadap diri sendiri

Yang paling berbahaya dari quiet quitting adalah ketika kamu melakukannya terhadap diri sendiri. Kamu berhenti mengejar hal-hal yang dulu membuat hidup bersemangat. Kamu mengabaikan kebutuhan emosional, kehilangan rasa ingin tahu, dan berhenti merawat diri. Hidup dijalani dalam mode bertahan, bukan berkembang.
Ini sering terjadi setelah kegagalan, trauma, atau kelelahan berkepanjangan. Kamu menjadi “robot kehidupan” yang menjalani hari tanpa arah. Mengenali gejala ini penting agar kamu tidak semakin larut dalam ketidakpedulian. Re-engaging dengan diri sendiri bisa dimulai dengan aktivitas sederhana: menulis jurnal, meluangkan waktu untuk hobi, atau berbicara dengan terapis.
4. Ketika batasan menjadi dinding

Menjaga batasan adalah hal sehat, tetapi quiet quitting bisa muncul ketika batasan berubah menjadi tembok. Kamu menjadi terlalu defensif, tidak lagi membuka diri pada koneksi baru atau kerentanan. Awalnya ini mungkin bentuk perlindungan diri, tapi dalam jangka panjang justru bisa membuat kamu terisolasi secara emosional.
Batasan seharusnya melindungi, bukan memenjarakan. Oleh karena itu, penting membedakan antara self-protection dan self-sabotage. Kadang, membuka diri sedikit dan mengambil risiko emosional justru menjadi cara untuk kembali terhubung, baik dengan orang lain dan juga dengan harapan kamu sendiri.
5. Membangun koneksi kembali: dari pasif ke sadar

Untuk keluar dari quiet quitting dalam kehidupan pribadi, kamu perlu membangun kembali koneksi, bukan hanya dengan orang lain, tapi juga dengan nilai-nilai pribadi. Ini bisa dimulai dengan bertanya: “Apa yang penting bagiku?”, “Hubungan mana yang layak diselamatkan?”, atau “Bagaimana aku bisa hidup lebih otentik?” Pertanyaan-pertanyaan ini membantu kamu beralih dari sikap pasif menjadi aktif dan sadar.
Re-engagement bukan tentang melakukan banyak hal sekaligus, tapi tentang hadir dengan utuh dalam hal-hal yang bermakna. Terkadang cukup dengan satu percakapan jujur, satu momen penuh perhatian, atau satu keputusan untuk mulai peduli kembali. Quiet quitting bisa dibalik menjadi quiet healing, yaitu proses sunyi tapi tulus untuk kembali hidup sepenuhnya.
Nah, itulah pembahasan quiet quitting dalam kehidupan pribadi, fenomena seseorang yang hadir secara fisik namun tidak lagi terlibat secara emosional.