Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi hidup di Kota vs di Desa dari sisi psikologi suara. (Pinterest/Karya AQJ Chanel)

Suara bukan sekadar getaran di udara, namun ia membentuk suasana hati, pikiran, bahkan kesehatan kita. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa lingkungan akustik memengaruhi tingkat stres, konsentrasi, dan kualitas tidur. Hidup di kota dan di desa menawarkan lanskap suara yang sangat berbeda. Kota penuh deru kendaraan, sirine, suara manusia bertumpuk-tumpuk. Sedangkan di desa lebih didominasi suara alam, seperti suara jangkrik, angin, atau kicau burung.

Bagi banyak orang, perbedaan ini bukan hanya soal selera, melainkan berdampak nyata pada kesejahteraan psikologis. Bagaimana kebisingan kota memicu kelelahan mental, sedangkan keheningan desa bisa menenangkan namun kadang juga memicu rasa sepi. Kita akan melihat bagaimana psikologi suara menjadi faktor penting yang sering luput saat kita memutuskan di mana akan tinggal.

Berikut ulasan mengenai hidup di kota vs di desa dari sisi psikologi suara.

1. Polusi suara, musuh sunyi di kota

Ilustrasi alasan masyarakat Jepang tidak tertarik belajar bahasa Inggris. (Pinterest/The Japan Times)

Salah satu ciri khas kota besar adalah polusi suara, seperti bising kendaraan, konstruksi, sirine, musik keras, dan keramaian manusia. Otak manusia bereaksi pada kebisingan sebagai potensi ancaman. Saat suara keras atau mendadak muncul, sistem saraf simpatis kamu aktif, memicu respons stres. Ini wajar secara evolusioner, sebab nenek moyang kita harus siaga terhadap suara ancaman.

Namun dalam konteks kota, kebisingan terjadi terus-menerus. Ini membuat tubuh tak pernah benar-benar rileks. Studi yang dilakukan oleh Basner dan kawan-kawan dalam jurnalnya yang berjudul Auditory and non-auditory effects of noise on health menunjukkan bahwa paparan kebisingan kronis bisa meningkatkan tekanan darah, mengganggu tidur, dan bahkan berkontribusi pada gangguan kecemasan dan depresi.

Kamu mungkin tak selalu sadar, tetapi suara-suara di kota menciptakan latar stres yang menguras energi mental kamu hari demi hari.

2. Desa dan suara alam sebagai oase psikologis

Ilustrasi hidup di Kota vs di Desa dari sisi psikologi suara. (Pinterest/Karya AQJ Chanel)

Di desa, suara dominan adalah suara alam, seperti kicau burung, gemericik air, angin yang berbisik di pepohonan. Penelitian Alvarsson, Wiens, dan Nilsson dalam jurnalnya yang berjudul Stress recovery during exposure to nature sound and environmental noise menunjukkan bahwa suara alam memicu respons relaksasi pada otak, menurunkan kadar kortisol, dan meningkatkan suasana hati. Ini karena otak kita berevolusi mengenali suara alam sebagai tanda lingkungan yang aman.

Tidak heran banyak aplikasi meditasi memakai suara hujan atau hutan. Alam menjadi terapi gratis bagi sistem saraf. Orang yang tinggal di desa cenderung memiliki tingkat stres yang lebih rendah, sebagian karena lingkungan akustik mereka jauh lebih menenangkan. Meski demikian, bagi sebagian orang, keheningan desa bisa terasa terlalu sunyi, memunculkan rasa sepi jika tidak terbiasa.

3. Sunyi atau bising membentuk pola tidur kita

Ilustrasi mengungkap misteri pola tidur aneh yang tidur hanya 2 jam sehari. (Pinterest/Saatva)

Kualitas tidur sangat dipengaruhi oleh suara. Di kota, bising lalu lintas atau suara tetangga bisa mengganggu siklus tidur meski kamu tidak benar-benar terbangun. Otak tetap mendeteksi suara sebagai stimulus, membuat kamu sulit mencapai tidur dalam atau deep sleep yang memulihkan tubuh.

Sebaliknya, desa menawarkan ketenangan malam yang luar biasa. Namun, bagi orang yang terbiasa hidup di kota, keheningan mutlak di desa justru bisa mengganggu. Otak mereka menafsirkan keheningan sebagai tanda ada yang salah, memicu kecemasan. Butuh waktu adaptasi untuk menikmati keheningan sebagai sesuatu yang aman, bukan sebagai alarm bahaya.

4. Dampak latar suara

Ilustrasi seni menumbuhkan kebiasaan mendengar sinyal tubuh sendiri saat lelah. (Pinterest/sulforaphane.com.vn)

Suara di lingkungan kamu memengaruhi konsentrasi. Di kota, kebisingan acak seperti klakson atau sirine membuat otak terus lompat dari satu perhatian ke perhatian lain. Ini meningkatkan beban kognitif dan menguras energi mental, membuat kamu cepat lelah. Bagi banyak orang, bekerja di kota berarti berjuang melawan gangguan suara setiap saat.

Sebaliknya, suara alam di desa membantu otak masuk ke keadaan fokus. Penelitian Berman dan kawan-kawan dalam jurnal Psychological Science menunjukkan bahwa latar suara alam ringan, seperti gemericik air, justru meningkatkan kreativitas dan kemampuan memecahkan masalah. Suara-suara alami menciptakan white noise yang menenangkan, membantu kamu masuk ke zona konsentrasi mendalam.

5. Kesepian dan keintiman dalam keheningan

Ilustrasi tanda kamu sudah saatnya butuh detoks digital. (Pinterest/ZenifySpaces)

Meski suara alam menenangkan, keheningan desa bisa menjadi pedang bermata dua. Bagi sebagian orang, sunyi menciptakan rasa damai dan refleksi. Namun bagi yang terbiasa hiruk pikuk kota, keheningan bisa memunculkan rasa terisolasi. Kesunyian memaksa kamu berhadapan dengan pikiran sendiri, termasuk rasa cemas atau kesepian yang biasanya tenggelam di balik kebisingan kota.

Namun di sisi lain, keheningan memberi peluang bagi keintiman. Percakapan menjadi lebih dalam karena tidak perlu bersaing dengan kebisingan luar. Kamu lebih mudah mendengarkan pasangan, anak, atau teman. Hubungan antarmanusia di desa cenderung lebih dekat karena suasana mendukung interaksi tanpa distraksi suara. Ini menunjukkan bahwa keheningan bukan hanya soal ketiadaan suara, tetapi juga ruang untuk koneksi emosional.

Itulah ulasan mengenai hidup di kota vs di desa dari sisi psikologi suara. Semoga bermanfaat, ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team