Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Party Pooper: Sosok yang Selalu Ingin Merusak Kesenangan Orang Lain

Ilustrasi party pooper: sosok yang selalu “merusak” kesenangan orang lain. (Pinterest/Nos Pensees)

Di setiap acara, selalu ada satu orang yang entah bagaimana tampak merusak suasana. Mereka dikenal sebagai party pooper, yaitu orang yang dianggap menurunkan energi pesta, memadamkan antusiasme, atau membawa topik serius ke tengah suasana santai.

Julukan ini sering terdengar negatif, seolah mereka selalu menjadi pengganggu yang tak diinginkan. Namun, fenomena party pooper sebenarnya lebih kompleks.

Tidak semua orang yang menolak ikut bersenang-senang adalah pribadi menyebalkan, terkadang mereka punya alasan emosional, psikologis, bahkan sosial yang patut dipahami. Menjadi party pooper tidak selalu berarti sengaja merusak suasana.

Bagi sebagian orang, pesta besar, keramaian, atau budaya seru-seruan bisa terasa melelahkan, memicu kecemasan sosial, atau bahkan bertentangan dengan nilai pribadi.

Dalam artikel ini, penulis akan mengupas siapa sebenarnya party pooper, apa penyebab mereka bersikap demikian, serta bagaimana kamu bisa lebih memahami atau menjadi lebih bijak jika kamu sendiri yang sering dijuluki demikian.

1. Siapa sebenarnya party pooper?

Ilustrasi mengenali luka-luka yang tersembunyi di balik senyum ramah. (Pinterest/businessinsider.com)

Party pooper secara sederhana diartikan sebagai orang yang menolak ikut bersenang-senang atau menolak kegiatan yang sedang dilakukan kelompok. Sering kali, mereka dianggap tidak ramah, membosankan, atau sok serius.

Julukan ini melekat hanya karena seseorang memilih duduk diam, enggan berdansa, atau terlihat tidak antusias terhadap aktivitas yang dianggap seru.

Namun, penting untuk memahami bahwa label ini sering terlalu cepat diberikan. Banyak orang dianggap party pooper padahal hanya kelelahan, sedang mengalami hari buruk, atau punya karakter introvert yang membuat mereka sulit menikmati keramaian.

Kita sering keliru menganggap ketidakaktifan sebagai sikap anti-sosial, padahal bisa saja orang itu hanya butuh ruang untuk bernapas, ungkap Cain dalam jurnalnya yang berjudul Quiet: The Power of Introverts in a World That Can’t Stop Talking.

2. Alasan psikologis di balik sikap party pooper

Ilustrasi party pooper: sosok yang selalu “merusak” kesenangan orang lain. (Pinterest/Nos Pensees)

Ada banyak alasan psikologis mengapa seseorang tampak seperti party pooper. Bagi sebagian orang, keramaian adalah sumber overstimulasi yang melelahkan. Otak mereka memproses banyak rangsangan sekaligus, musik keras, banyak percakapan, lampu kelap-kelip, hingga akhirnya muncul kelelahan mental.

Selain itu, kecemasan sosial bisa menjadi faktor besar. Pesta sering melibatkan interaksi spontan, bercanda, dan menjadi pusat perhatian, hal-hal yang bagi sebagian orang terasa menegangkan.

Mereka lebih memilih diam atau menjauh, bukan karena membenci pesta, tetapi karena sedang berusaha mengendalikan kecemasan mereka. Ironisnya, sikap ini justru membuat mereka dicap sebagai party pooper.

3. Ketidaksesuaian nilai pribadi dan budaya pesta

Ilustrasi tanda dirimu sedang mengalami krisis yang tidak terlihat. (Pinterest/hideakihamada.com)

Tidak semua orang menikmati budaya pesta. Ada yang merasa nilai-nilai dalam pesta, minum alkohol, musik keras, percakapan dangkal bertentangan dengan prinsip hidup mereka. Bagi mereka, keseruan bukan diukur dari keramaian, melainkan dari interaksi bermakna atau aktivitas yang tenang.

Ketika berada di pesta yang tidak sesuai nilai pribadi, mereka bisa merasa terasing. Ini bukan masalah tidak bisa bersenang-senang, tetapi lebih pada ketidakcocokan budaya.

Misalnya, seseorang yang sangat menjaga kesehatan mungkin merasa tak nyaman dengan pesta yang berfokus pada minuman keras. Inilah mengapa penting menghargai keberagaman cara orang menikmati hidup.

4. Dampak sosial bagi si party pooper

Ilustrasi tanda kamu tidak spesial di mata orang lain. (Pinterest/Freepik)
Ilustrasi tanda kamu tidak spesial di mata orang lain. (Pinterest/Freepik)

Sayangnya, menjadi party pooper sering menimbulkan konsekuensi sosial. Mereka bisa dijauhi, dianggap tidak asyik, atau bahkan diejek. Dalam jangka panjang, label ini bisa memicu rasa malu, membuat orang merasa mereka selalu menjadi beban dalam kelompok sosial.

Padahal, orang-orang ini sering memiliki kualitas penting, mereka peka, pendengar yang baik, dan sering menjadi penyeimbang dalam kelompok. Mereka mungkin bukan pusat perhatian, tetapi kehadiran mereka bisa membawa kedamaian dan stabilitas. Hanya saja, budaya yang terlalu memuja keriuhan kerap gagal menghargai kontribusi semacam ini.

5. Bagaimana bersikap pada atau sebagai party pooper

Ilustrasi memahami lebih dalam tentang kelelahan emosional yang tak kasatmata. (Pinterest/sumeira.com)

Jika kamu punya teman yang terkesan party pooper, langkah pertama adalah tidak memaksanya berubah. Tawarkan pilihan, apakah mereka ingin ruang tenang, pulang lebih awal, atau aktivitas yang lebih santai? Dengan begitu, mereka tetap merasa dihargai dan diterima.

Sebaliknya, jika kamu sendiri yang sering merasa jadi party pooper, penting untuk mengenali batas diri dan tidak merasa bersalah. Tidak semua orang harus menikmati pesta dengan cara yang sama.

Carilah teman-teman atau lingkungan sosial yang menghargai kepribadianmu apa adanya. Menjadi dirimu sendiri jauh lebih penting daripada berpura-pura menikmati sesuatu yang tidak kamu sukai.

Demikian ulasan mengenai fenomena party pooper, siapa sebenarnya party pooper, apa penyebab mereka bersikap demikian, serta bagaimana kamu bisa lebih memahami atau menjadi lebih bijak jika kamu sendiri yang sering dijuluki demikian.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Linggauni -
EditorLinggauni -
Follow Us