Di era media sosial dan budaya performatif, kamu makin terbiasa tampil untuk dilihat, diakui, dan dinilai. Kamu menyusun caption, memilih filter, dan bahkan menata cara berbicara atau berpakaian berdasarkan bagaimana kamu ingin dipersepsikan orang lain. Namun, di balik semua itu, muncul satu pertanyaan eksistensial yang mendalam, “Siapa aku saat tidak ada yang menonton?”
Pertanyaan ini bukan hanya soal identitas, tetapi juga tentang keaslian dan relasi kamu dengan diri sendiri. Saat tidak ada yang menilai, tidak ada yang menyukai atau mengkritik, apa yang tersisa dari diri kamu? Apakah kamu tetap melakukan hal yang sama, merasakan nilai yang sama, atau berubah arah?
Penulis ingin mengajak kamu menjelajahi makna diri yang tidak bergantung pada sorotan, validasi, atau pengakuan eksternal. Sebuah perjalanan menuju keutuhan batin dan otentisitas yang sering kali terlewatkan.
Berikut pembahasan tentang menjelajahi makna diri yang tidak bergantung pada validasi.