Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Seorang wanita sedang memegang buku.
Ilustrasi Mengenal Bibliophobia, Ketakutan yang Tak Masuk Akal pada Buku. (pexels.com/cottonbro studio)

Buku sering dianggap sebagai jendela dunia, sumber pengetahuan, dan sahabat bagi mereka yang mencintai ilmu. Namun, tidak semua orang memiliki hubungan yang nyaman dengan buku. Ada sebagian individu yang justru merasakan kecemasan, ketegangan, bahkan ketakutan mendalam ketika harus membaca atau berhadapan dengan buku. Kondisi ini dikenal sebagai bibliophobia, yaitu fobia terhadap buku, baik terhadap bentuk fisiknya, isi tulisannya, maupun pengalaman yang berkaitan dengan membaca.

Sekilas, bibliophobia terdengar aneh atau tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang takut terhadap benda yang dianggap simbol ilmu dan kebijaksanaan? Namun bagi penderitanya, ketakutan ini nyata dan dapat mengganggu aktivitas belajar, bekerja, atau bahkan kehidupan sosial. Bibliophobia bukan sekadar malas membaca, tetapi bentuk gangguan kecemasan yang dapat berakar dari trauma, tekanan psikologis, atau pengalaman buruk di masa lalu.

Mari kita mengenal lebih jauh fobia unik ini, mulai dari pengertiannya hingga cara mengatasinya.

1. Apa itu bibliophobia?

Ilustrasi Mengenal Bibliophobia, Ketakutan yang Tak Masuk Akal pada Buku. (pexels.com/cottonbro studio)

Bibliophobia berasal dari bahasa Yunani “biblio” yang berarti buku dan “phobos” yang berarti takut. Secara sederhana, bibliophobia adalah rasa takut yang berlebihan terhadap buku atau kegiatan membaca. Penderitanya mungkin merasa cemas saat berada di perpustakaan, panik ketika harus membuka buku tebal, atau bahkan menghindari melihat buku sama sekali. Dalam beberapa kasus, ketakutan ini juga muncul terhadap isi buku, terutama jika buku tersebut membahas hal-hal yang memicu trauma atau kecemasan tertentu.

Fobia ini bisa muncul dalam berbagai bentuk. Ada yang takut terhadap semua jenis buku, ada pula yang hanya takut terhadap jenis buku tertentu, misalnya buku pelajaran, buku agama, atau buku yang memiliki huruf dan gambar padat. Rasa takut bisa disertai pikiran irasional, seperti keyakinan bahwa buku menyimpan sesuatu yang berbahaya, menekan, atau membawa kenangan yang tidak menyenangkan. Kondisi ini dapat membuat seseorang kesulitan belajar, bekerja, atau menjalani pendidikan formal dengan baik.

2. Gejala yang dialami penderita bibliophobia

Ilustrasi Mengenal Bibliophobia, Ketakutan yang Tak Masuk Akal pada Buku. (pexels.com/cottonbro studio)

Gejala bibliophobia mirip dengan fobia spesifik lainnya, meliputi reaksi fisik dan emosional yang kuat. Secara fisik, penderita bisa mengalami jantung berdebar cepat, berkeringat, sesak napas, gemetar, atau merasa mual ketika berhadapan dengan buku. Dalam situasi ekstrem, mereka bisa langsung menutup atau menjauh dari buku karena panik dan tidak mampu mengendalikan diri. Bahkan hanya melihat rak buku atau mendengar seseorang berbicara tentang membaca bisa memicu rasa tidak nyaman.

Secara emosional, penderita sering kali merasa tertekan, malu, atau frustrasi karena tidak bisa melakukan hal yang bagi orang lain tampak biasa. Mereka mungkin menghindari situasi akademik, seperti sekolah atau kursus, demi menghindari interaksi dengan buku. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan rendah diri, kesulitan karier, serta isolasi sosial karena merasa “berbeda” dan tidak dimengerti oleh orang lain.

3. Penyebab bibliophobia

Ilustrasi alasan mengapa keheningan dapat menjadi guru terbaik. (pexels.com/George Milton)

Penyebab bibliophobia bisa sangat beragam. Salah satu penyebab yang paling umum adalah pengalaman traumatis di masa lalu yang berkaitan dengan membaca atau pendidikan. Misalnya, seseorang yang sering dimarahi guru atau orang tua karena gagal memahami pelajaran bisa mengaitkan buku dengan rasa takut, tekanan, atau kegagalan. Trauma emosional ini kemudian terbawa hingga dewasa dan berkembang menjadi fobia terhadap buku.

Selain itu, faktor psikologis dan sosial juga berperan. Tekanan akademik yang tinggi, sistem pendidikan yang kaku, atau lingkungan yang menilai seseorang hanya dari kemampuannya membaca dan memahami teks dapat menciptakan rasa cemas yang berlebihan terhadap buku. Faktor genetik atau kecenderungan alami terhadap gangguan kecemasan juga bisa membuat seseorang lebih rentan mengembangkan bibliophobia.

4. Cara mengatasi bibliophobia

Ilustrasi Cara Mengubah Rutinitas Biasa jadi Momen Produktif yang Bermakna. (pexels.com/Ivan Samkov)

Bibliophobia dapat diatasi dengan pendekatan yang tepat dan dukungan psikologis yang konsisten. Salah satu terapi yang sering digunakan adalah terapi cognitive behavioral therapy (CBT). Dalam terapi ini, penderita diajak untuk mengenali pikiran negatif yang muncul ketika berhadapan dengan buku, lalu menggantinya dengan pemikiran yang lebih logis dan positif. Misalnya, dari keyakinan “buku itu menakutkan” menjadi “buku hanyalah alat yang bisa membantu saya belajar dengan tenang”.

Selain CBT, exposure therapy juga efektif membantu penderita mengatasi ketakutan secara bertahap. Penderita diperkenalkan pada buku mulai dari jarak jauh, kemudian memegangnya, membuka beberapa halaman, hingga akhirnya mampu membaca dengan nyaman. Proses ini dilakukan perlahan agar otak terbiasa bahwa buku tidak berbahaya. Dukungan lingkungan, seperti guru, keluarga, atau teman yang tidak menghakimi, sangat penting agar penderita tidak merasa sendirian dalam proses pemulihan.

Bibliophobia mungkin terdengar tidak biasa, namun ia merupakan bentuk nyata dari gangguan kecemasan yang dapat menghambat perkembangan seseorang. Ketakutan terhadap buku bukanlah tanda kemalasan atau kebodohan, melainkan refleksi dari pengalaman emosional yang belum terselesaikan. Dengan terapi yang tepat, empati dari orang sekitar, serta keinginan kuat untuk berubah, penderita bibliophobia bisa kembali menemukan kenyamanan dalam membaca. Sebab, buku sejatinya bukan sumber ketakutan, melainkan jendela menuju pemahaman yang lebih luas tentang dunia dan diri sendiri.

Itulah ulasan tentang bibliophobia, yaitu ketakutan yang tak masuk akal pada buku.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team