Mengapa Terlalu Banyak Pilihan Bisa Membuat Kita Kelelahan?

Kebebasan memilih sering dipuja sebagai salah satu ciri kemajuan zaman. Dari memilih menu makan siang, model ponsel, jalur karier, hingga gaya hidup, kita dikelilingi pilihan hampir di setiap aspek hidup. Namun, ironisnya, semakin banyak pilihan, semakin banyak pula orang merasa kelelahan, bimbang, dan bahkan menyesal.
Fenomena ini dikenal sebagai choice overload atau kelelahan karena terlalu banyak pilihan. Alih-alih merasa bebas, kita justru terjebak dalam lingkaran keraguan dan stres. Dalam artikel ini, penulis mengajak kamu menyelami bagaimana otak manusia memproses pilihan yang melimpah, mengapa terlalu banyak opsi bisa membuat kita sengsara, dan bagaimana cara menyiasatinya agar kita bisa mengambil keputusan dengan lebih tenang.
Berikut ulasan mengapa terlalu banyak pilihan bisa membuat kita kelelahan?
1. Otak kita tidak dirancang untuk pilihan tak terbatas

Secara evolusi, otak manusia berkembang dalam lingkungan dengan pilihan yang relatif terbatas. Nenek moyang kita mungkin hanya memilih antara dua jalur berburu atau dua tempat berlindung. Kini, kita berhadapan dengan ratusan merek, ribuan konten digital, dan lusinan jalur karier. Otak kita kewalahan memproses terlalu banyak informasi, memicu apa yang disebut decision fatigue atau kelelahan mengambil keputusan, ungkap Baumeister dan kawan-kawan dalam jurnal Journal of Personality and Social Psychology.
Ketika harus menimbang terlalu banyak opsi, kita cenderung menjadi lebih impulsif atau justru menunda keputusan sama sekali. Ini bukan sekadar masalah “bingung memilih,” melainkan reaksi neurologis karena korteks prefrontal kita, yaitu bagian otak yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan yang punya kapasitas terbatas. Akibatnya, kita cepat merasa stres dan kelelahan mental.
2. Ilusi kebahagiaan dari banyak pilihan

Banyak orang percaya semakin banyak pilihan, semakin besar peluang untuk bahagia. Logikanya, lebih banyak opsi berarti kemungkinan lebih tinggi menemukan apa yang paling sesuai. Namun, penelitian Schwartz dalam bukunya yang berjudul The Paradox of Choice: Why More Is Less menunjukkan hal sebaliknya: terlalu banyak pilihan sering kali membuat kita kurang puas, lebih menyesali keputusan, dan selalu bertanya-tanya apakah pilihan lain lebih baik.
Inilah yang disebut paradox of choice. Kita menjadi terlalu sibuk membayangkan apa yang terlewat dibanding menikmati apa yang sudah dipilih. Misalnya, setelah memilih restoran, kita masih terpikir, “Bagaimana kalau tadi ke tempat lain? Apa makanannya lebih enak?” Kebahagiaan yang seharusnya muncul dari kebebasan memilih, justru terkikis oleh rasa menyesal dan rasa kehilangan akan pilihan yang tidak diambil.
3. Dari kecemasan ke perfeksionisme

Terlalu banyak pilihan tidak hanya melelahkan, tetapi juga menciptakan kecemasan mendalam. Kita takut membuat keputusan yang salah. Ini memicu stres, insomnia, bahkan rasa tidak berdaya. Banyak orang merasa hidup menjadi beban karena terus-menerus harus mengambil keputusan, besar maupun kecil.
Selain itu, muncul kecenderungan perfeksionisme. Kita ingin memilih yang paling sempurna dalam segala hal. Padahal, pilihan terbaik jarang benar-benar ada. Perfeksionisme membuat kita tidak pernah merasa cukup puas. Bahkan setelah mengambil keputusan, kita masih mencari pembenaran bahwa pilihan kita memang yang paling tepat, yang semakin menguras energi mental, tegas Frost dalam jurnalnya The dimensions of perfectionism.
4. Fenomena paralisis keputusan

Salah satu dampak nyata dari kebanyakan pilihan adalah decision paralysis. Kita terlalu lama menganalisis, menimbang kelebihan dan kekurangan setiap opsi, hingga akhirnya tidak memilih apa pun. Ini terjadi baik pada keputusan besar seperti memilih pasangan hidup atau karier, maupun hal sepele seperti memilih nonton film.
Fenomena ini juga dijelaskan lewat apa yang disebut analysis paralysis. Semakin kompleks pilihan, semakin besar kemungkinan kita mandek. Alih-alih merasa bebas, kita malah terjebak dalam kebimbangan yang berujung frustrasi. Parahnya, saat akhirnya memutuskan, kita sering merasa menyesal karena yakin pilihan lain mungkin lebih baik.
5. Bagaimana menyiasati kelelahan pilihan?

Berita baiknya, ada cara agar kita tidak terus-menerus lelah oleh banyaknya pilihan. Salah satunya adalah membatasi opsi secara sadar. Jika sedang berbelanja, putuskan hanya akan memilih antara tiga merek. Jika memilih aktivitas akhir pekan, cukup buat dua atau tiga opsi. Penelitian Iyengar dan Lepper dalam jurnalnya When choice is demotivating: Can one desire too much of a good thing? menunjukkan bahwa orang lebih bahagia saat pilihan mereka terbatas karena merasa lebih mudah membuat keputusan.
Selain itu, kita perlu melatih prinsip satisficing, yaitu memilih yang cukup baik, bukan yang sempurna. Tidak semua keputusan harus dianalisis mendalam. Terkadang, cukup bertanya, “Apakah ini memadai dan membuatku cukup senang?” Dengan begitu, kita menghemat energi mental untuk hal-hal yang benar-benar penting, dan membiarkan diri menikmati apa yang sudah dipilih.
Demikian ulasan mengapa terlalu banyak pilihan bisa membuat kita kelelahan? Semoga bisa menjawab kebingungan kamu selama ini, ya.