Ketika Tuntutan Terus Bersikap Kuat Justru jadi Beban Psikologis

Di era modern, istilah resilience atau ketangguhan mental sering dielu-elukan sebagai kunci untuk bertahan dalam berbagai tekanan hidup. Mulai dari masalah pekerjaan hingga krisis global.
Namun, di balik dorongan untuk tetap kuat, tersembunyi konsekuensi yang jarang dibicarakan: kelelahan karena harus selalu tangguh. Fenomena ini dikenal sebagai resilience fatigue, sebuah kondisi di mana tuntutan untuk terus bersikap kuat justru menjadi beban psikologis yang melemahkan.
Alih-alih menjadi tameng yang melindungi kesehatan mental, dorongan berlebihan untuk tangguh dapat menimbulkan rasa bersalah, kelelahan emosional, dan bahkan gangguan kesehatan mental. Banyak orang merasa gagal bila menunjukkan kelemahan, padahal manusiawi untuk merasa lelah, rapuh, atau butuh istirahat.
Berikut ulasan mengenai fenomena resilience fatigue, bagaimana ia muncul, tanda-tandanya, serta langkah-langkah untuk mengatasinya.
1. Apa itu resilience fatigue?

Resilience fatigue adalah kondisi di mana individu merasa lelah secara emosional, mental, dan bahkan fisik karena terus-menerus dipaksa atau memaksa diri sendiri untuk menjadi tangguh. Berbeda dari kelelahan biasa, kondisi ini muncul dari ekspektasi internal dan eksternal yang berulang agar seseorang mampu menghadapi segala situasi tanpa terpuruk.
Konsep resilience fatigue masih relatif baru dalam literatur psikologi, tetapi sudah diidentifikasi dalam konteks pekerjaan sosial, layanan kesehatan, bahkan kehidupan sehari-hari. Saat seseorang terus-menerus mendengar kalimat seperti “Kamu pasti kuat!” atau “Jangan menyerah!” tanpa diimbangi ruang untuk merasa rapuh, mereka justru berisiko mengalami kelelahan mental yang mendalam.
2. Tekanan sosial di balik tuntutan tangguh

Budaya modern kerap menilai ketangguhan sebagai simbol keberhasilan. Individu yang mampu bertahan dari berbagai masalah dianggap hebat dan menjadi teladan. Akibatnya, banyak orang merasa harus selalu tampil tegar, bahkan ketika hati dan pikiran mereka rapuh.
Tekanan sosial semacam ini sering tidak terlihat, tetapi sangat kuat. Media sosial, misalnya, kerap mempopulerkan kisah survivor atau fighter tanpa memperlihatkan sisi kelelahan dan kerentanan. Alhasil, muncul persepsi keliru bahwa menjadi tangguh berarti tidak boleh terlihat lemah. Padahal, menolak mengakui kesulitan justru dapat memperburuk kondisi psikologis.
3. Tanda-tanda resilience fatigue

Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka mengalami resilience fatigue hingga kondisinya sudah cukup berat. Salah satu cirinya adalah muncul rasa frustrasi atau marah ketika diminta kuat atau tetap semangat, seolah-olah mereka tidak boleh merasa sedih atau lelah.
Tanda lainnya meliputi kelelahan emosional, sulit merasa bahagia, gangguan tidur, serta rasa hampa meski secara sosial terlihat berfungsi normal. Individu mungkin juga menarik diri secara sosial karena merasa malu memperlihatkan kerentanannya. Pada titik tertentu, resilience fatigue bisa berkembang menjadi depresi atau gangguan kecemasan.
4. Dampak psikologis yang kerap terabaikan

Salah satu bahaya resilience fatigue adalah munculnya rasa bersalah. Individu merasa gagal bila tidak sanggup terus bersikap tangguh. Ini menciptakan lingkaran setan di mana mereka semakin memaksa diri, hingga akhirnya kelelahan total.
Selain itu, resilience fatigue dapat menurunkan self-esteem. Ketika seseorang mulai merasa tidak cukup tangguh, mereka menganggap diri lemah atau tidak kompeten. Ini dapat memicu penarikan sosial, isolasi emosional, hingga gangguan relasi. Ironisnya, hal ini justru bertolak belakang dari tujuan resilience itu sendiri, yaitu menjaga kesehatan mental.
5. Cara mengatasi resilience fatigue

Langkah pertama mengatasi resilience fatigue adalah mengakui bahwa menjadi tangguh bukan berarti tidak boleh rapuh. Normal untuk merasa lelah, marah, atau sedih. Membangun kesadaran diri atau self-awareness dan menerima keterbatasan adalah fondasi penting agar tidak terjebak dalam siklus kelelahan.
Selain itu, penting untuk memiliki support system yang tidak sekadar memotivasi agar kuat, tetapi juga menyediakan ruang aman untuk mengekspresikan kerentanan. Terapi psikologis, teknik mindfulness, serta aktivitas self-care terbukti efektif membantu individu memproses kelelahan emosional. Kuncinya adalah menemukan keseimbangan antara daya tahan mental dan izin untuk berhenti sejenak.
Dorongan untuk selalu tangguh memang berniat baik, tetapi harus diiringi kesadaran bahwa manusia memiliki batas. Resilience fatigue mengingatkan kita bahwa ketangguhan bukan berarti mematikan rasa rapuh, melainkan mampu bangkit setelah mengakui luka dan kelelahan. Mari beri ruang bagi diri kita untuk beristirahat, karena istirahat bukanlah tanda kelemahan, melainkan bagian dari kekuatan itu sendiri.
Demikian ulasan mengenai fenomena resilience fatigue, bagaimana ia muncul, tanda-tandanya, serta langkah-langkah untuk mengatasinya.