Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi kenapa kita sulit menikmati hal yang pernah kita inginkan? (Pinterest/RPY)

Intinya sih...

  • Adaptasi hedonik, kebahagiaan sementara setelah impian tercapai

  • Ilusi pencapaian di masa depan menghalangi nikmati momen sekarang

  • Perbandingan sosial dan kurangnya kehadiran penuh menggerus rasa puas

Kita pernah sangat menginginkan sesuatu, pekerjaan tertentu, pasangan yang ideal, rumah impian, atau sekadar kebebasan waktu. Kita menunggu, berjuang, dan berharap. Tapi anehnya, saat keinginan itu tercapai, seringkali kita justru kesulitan menikmatinya. Rasa puas cepat memudar, semangat berganti dengan kebosanan, dan muncul pertanyaan baru, "Apa lagi setelah ini?"

Fenomena ini bukan sekadar ketidaktahuan cara bersyukur, melainkan bagian dari proses psikologis yang kompleks. Ada faktor neurologis, psikologis, dan budaya yang membuat kita cepat kebal terhadap apa yang dulu begitu kita idamkan. Memahami dinamika ini akan membantu kamu membangun rasa puas yang lebih tahan lama dan menemukan kembali makna di balik hal-hal yang sudah kamu miliki.

Berikut pembahasan mengapa kebahagiaan sering terasa singkat setelah impian menjadi nyata.

1. Adaptasi hedonik, ketika impian menjadi biasa

Ilustrasi tips merencanakan tujuan hidup ideal. (Pinterest/SUCCESS Magazine)

Adaptasi hedonik adalah istilah psikologi yang menjelaskan bagaimana manusia cepat terbiasa dengan perubahan positif dalam hidup. Saat kamu mendapatkan sesuatu yang kamu impikan, otak memunculkan lonjakan kebahagiaan, tapi hanya sementara. Setelah itu, kebahagiaan kembali ke titik netral karena kamu mulai menganggap hal tersebut sebagai normal.

Contohnya, ketika kamu mendapat promosi kerja yang dulu kamu impikan, ada euforia pada minggu-minggu pertama. Namun seiring waktu, tugas-tugas baru terasa membosankan atau menegangkan. Kamu kembali ingin sesuatu yang baru lagi. Inilah sebabnya kamu terus-menerus mengejar sesuatu, tapi jarang benar-benar merasa puas dalam jangka panjang.

2. Ilusi bahwa kebahagiaan ada di depan, bukan sekarang

Ilustrasi cara mengubah luka batin menjadi perubahan yang menguatkan. (Pinterest/Afam Uche)

Kita dibesarkan dalam budaya yang memuja pencapaian dan target. Kebahagiaan sering diposisikan sebagai hasil akhir: setelah dapat gelar, punya pasangan, punya rumah, atau pensiun. Akibatnya, kita terbiasa menunda rasa syukur dan merasa tidak lengkap sebelum mencapai sesuatu lagi.

Ketika akhirnya kamu memperoleh apa yang dulu diidamkan, otak kamu yang sudah terbiasa mengejar akan merasa bingung. "Masa iya ini saja?" Karena kebahagiaan tidak terasa sebesar ekspektasi, kamu merasa kecewa diam-diam. Padahal, mungkin kamu hanya belum terlatih untuk berhenti dan benar-benar menikmati momen yang sudah kamu miliki.

3. Perbandingan sosial yang tak ada habisnya

Ilustrasi kenapa kita sulit menikmati hal yang pernah kita inginkan? (Pinterest/RPY)

Media sosial memperkuat kecenderungan kamu untuk membandingkan diri. Meskipun kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan, kamu melihat orang lain yang tampaknya punya lebih: rumah lebih besar, pasangan lebih romantis, karier lebih cemerlang. Akibatnya, rasa cukup yang sudah kamu miliki menjadi keruh.

Perbandingan ini tidak hanya menggerogoti rasa puas, tapi juga membuat kamu mempertanyakan nilai dari pencapaian kamu sendiri. Kamu mulai berpikir, "Mungkin ini bukan impian yang sesungguhnya", atau "Mungkin aku bisa lebih baik." Ini menciptakan siklus tanpa akhir di mana kebahagiaan selalu tampak satu langkah lebih jauh dari posisi kamu sekarang.

4. Kurangnya kehadiran penuh

Ilustrasi tanda kamu sudah saatnya butuh detoks digital. (Pinterest/ZenifySpaces)

Banyak dari kita hidup dalam mode otomatis, seperti bekerja, berinteraksi, bahkan bersenang-senang tanpa sepenuhnya hadir dalam momen itu. Akibatnya, meskipun kamu sudah memiliki hal-hal yang dulu diimpikan, kamu tidak benar-benar merasakannya. Kehadiran penuh atau mindfulness memungkinkan kita meresapi makna dari momen sederhana.

Misalnya, memiliki waktu luang yang dulu sangat didambakan, kini diisi dengan scrolling tanpa arah. Rumah yang nyaman justru jadi latar belakang rutinitas tanpa rasa. Tanpa kehadiran batin yang utuh, kebahagiaan menjadi datar, bukan karena kurangnya kualitas hidup, tapi karena kamu tidak benar-benar mengalaminya.

5. Belajar merayakan, bukan mengejar terus-menerus

Ilustrasi tanda orang yang terlalu dimanjakan oleh orang tuanya di masa kecil. (Pinterest/Denis Cebulec)

Untuk bisa menikmati apa yang sudah kamu miliki, kamu perlu berhenti sejenak dari mode kejar-kejaran. Alih-alih terus bertanya "Apa yang berikutnya?", kamu bisa belajar bertanya, "Apa yang bisa aku rayakan hari ini?" Merayakan bukan berarti berhenti berkembang, tetapi memberi jeda agar kamu bisa mengapresiasi apa yang sudah dicapai.

Kamu juga perlu memperbaiki definisi bahagia, bahwa kebahagiaan bukan ledakan emosi besar, tetapi kehadiran yang tenang dan berkelanjutan. Dengan belajar bersyukur secara sadar dan rutin merefleksikan hal-hal yang sudah berjalan baik, kamu memberi ruang bagi rasa cukup untuk tumbuh. Dan dalam rasa cukup itulah, kamu bisa menemukan kenikmatan sejati atas hal-hal yang pernah begitu kamu inginkan.

Demikian pembahasan mengapa kebahagiaan sering terasa singkat setelah impian menjadi nyata. Semoga artikel ini bisa menjawab pertanyaan yang selama ini kamu tanyakan, ya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team