Kenapa Ada Orang Tidak Lagi Takut dengan Kata Kiamat?

Dahulu, kata “kiamat” memicu ketakutan besar. Entah berbentuk bencana alam, perang nuklir, serangan alien, atau hukuman Tuhan, bayangan akhir dunia selalu menghadirkan rasa gentar. Namun kini, di tengah berita soal perubahan iklim, pandemi global, hingga ancaman kecerdasan buatan, banyak orang justru bersikap datar. Seolah-olah kiamat bukan lagi hal yang perlu ditakuti, melainkan hanya satu episode drama lain dalam hidup modern. Fenomena ini dikenal sebagai “boring apocalypse.”
Istilah “boring apocalypse” muncul dari pengamatan bahwa meski ancaman eksistensial kian nyata, reaksi publik justru semakin tumpul. Ada yang bersikap sinis, ada pula yang tertawa lewat meme, atau sekadar merasa lelah. Apa sebenarnya yang membuat banyak orang tidak lagi gentar menghadapi kemungkinan akhir dunia?
Penulis akan mengajak kamu membahas faktor psikologi, budaya pop, hingga kelelahan emosional yang membentuk sikap “masa bodoh” terhadap kiamat.
1. Kiamat kini jadi konten yang biasa

Salah satu penyebab mengapa kiamat terasa “membosankan” adalah bagaimana media modern terus-menerus menampilkan narasi kehancuran. Film, serial TV, video game, hingga TikTok penuh dengan kisah zombie, kehancuran iklim, perang nuklir, atau alien menyerang. Paparan terus-menerus membuat otak manusia kebal terhadap ancaman yang dulunya dianggap luar biasa.
Ini mirip dengan fenomena desensitisasi, di mana stimulus yang awalnya menimbulkan emosi kuat, lama-kelamaan kehilangan efeknya jika terus diulang. Dulu film kiamat seperti Armageddon membuat orang gelisah. Kini, film apokaliptik hanya dianggap hiburan biasa. Bahkan anak-anak pun tumbuh dalam budaya pop yang menganggap kiamat sebagai genre film, bukan ancaman nyata.
2. Kelelahan mental karena krisis beruntun

Manusia modern hidup di tengah rentetan krisis: pandemi, perubahan iklim, perang, inflasi, krisis politik. Ketika ancaman datang bertubi-tubi, otak mengalami “crisis fatigue”, kelelahan mental karena terus menghadapi masalah besar tanpa jeda.
Ketakutan terhadap kiamat akhirnya berubah menjadi kelelahan emosional. Banyak orang merasa percuma merasa takut jika tak ada yang bisa mereka lakukan. Ini menimbulkan sikap pasrah, sinis, atau bahkan humor gelap sebagai mekanisme bertahan. Apokalips tidak lagi menakutkan, melainkan hanya tambahan beban di daftar masalah sehari-hari.
3. Optimisme teknologi, “pasti ada solusi”

Faktor lain yang membuat kiamat terasa “membosankan” adalah optimisme teknologi. Banyak orang percaya bahwa teknologi akan selalu menemukan jalan keluar. Dari geoengineering untuk menghentikan pemanasan global, vaksin mRNA untuk melawan pandemi, hingga ide pindah ke Mars, masyarakat modern cenderung yakin bahwa sains bisa mencegah skenario terburuk.
Keyakinan ini bersifat paradoks. Di satu sisi, ia menenangkan karena memberi harapan. Di sisi lain, ia membuat orang kurang merasa mendesak bertindak. Ketakutan terhadap kiamat dianggap kuno, digantikan sikap “tenang saja, ilmuwan akan menyelesaikan semua.” Pandangan ini bisa berbahaya jika membuat masyarakat lalai terhadap tindakan pencegahan.
4. Humor gelap dan meme, senjata melawan kecemasan

Media sosial memopulerkan humor gelap sebagai cara menghadapi ancaman global. Meme tentang kiamat, perubahan iklim, atau perang nuklir bertebaran, seringkali dikemas dengan nada sarkastik. Bagi generasi muda, humor menjadi cara menjaga kewarasan sekaligus mengurangi rasa takut.
Namun, humor juga memiliki sisi gelap. Terlalu banyak bercanda soal kiamat bisa menurunkan rasa urgensi. Sesuatu yang seharusnya serius berubah menjadi lelucon, membuat banyak orang tidak lagi terdorong untuk bertindak. Meme memang membuat ancaman terasa lebih ringan, tetapi bisa juga menjadi tameng penyangkal realitas.
5. Kiamat terasa terlalu jauh atau terlalu lambat

Alasan lain kata kiamat terasa membosankan adalah karena banyak skenario apokaliptik berlangsung sangat lambat. Contohnya perubahan iklim. Kita tahu bumi memanas, es mencair, bencana makin sering terjadi. Namun proses ini berjalan dalam skala puluhan atau ratusan tahun. Ancaman yang lambat jarang memicu kepanikan karena manusia sulit merespons bahaya yang tidak instan.
Selain itu, banyak orang merasa kiamat bukan urusan mereka, melainkan urusan generasi mendatang. “Ah, kiamat masih lama,” menjadi mantera yang menghalau kecemasan. Padahal, dampak kerusakan lingkungan atau perang nuklir bisa muncul tiba-tiba. Rasa “terlalu jauh” inilah yang membuat kiamat tidak lagi menakutkan, melainkan hanya sekadar teori.
Fenomena boring apocalypse mencerminkan perubahan cara manusia menghadapi ancaman besar. Paparan media, kelelahan krisis, optimisme teknologi, humor gelap, dan sifat lambat sebagian krisis membuat banyak orang tak lagi gentar menghadapi bayangan kiamat. Namun, sikap masa bodoh ini bisa berbahaya jika membuat kita gagal bertindak. Mungkin kiamat memang terasa membosankan. Tapi justru karena itu, ia lebih patut diwaspadai.
Demikian pembahasan mengenai faktor psikologi, budaya pop, hingga kelelahan emosional yang membentuk sikap “masa bodoh” terhadap kiamat.