Ini Alasan Mengapa Menunggu Rasanya Lebih Lama dari Waktu Sebenarnya

- Persepsi waktu terpengaruh emosi negatif
- Waktu kosong terasa lebih lama daripada waktu terisi
- Ekspektasi awal dan ketidakpastian memengaruhi persepsi waktu
Menunggu sering dianggap hal sepele, tetapi siapa pun yang pernah terjebak dalam antrean panjang, menanti chat balasan yang tak kunjung datang, atau duduk resah menunggu hasil tes kesehatan, tahu betapa menyiksanya waktu terasa berjalan lambat. Fenomena waktu terasa melambat ini bukan sekadar ilusi biasa.
Psikologi dan neurologi menunjukkan bahwa persepsi waktu sangat dipengaruhi emosi, tingkat perhatian, serta konteks sosial. Apa yang sebenarnya terjadi di otak kita saat menunggu? Menariknya, pengalaman menunggu menjadi semakin intens di era modern.
Segala hal bergerak cepat, internet super kilat, layanan instan, aplikasi pemesanan satu klik, membentuk ekspektasi kita bahwa segalanya harus cepat. Akibatnya, toleransi kita terhadap penundaan makin rendah.
Berikut ulasan mengenai mengapa menunggu terasa lebih lama daripada waktu sebenarnya, serta mekanisme psikologis yang bekerja di balik fenomena tersebut.
1. Persepsi waktu dan peran emosi

Saat kamu menunggu, rasa cemas, bosan, atau gelisah sering muncul. Emosi negatif ini membuat otak lebih “aware” terhadap setiap detik yang berlalu. Penelitian Droit-Volet dan Meck dalam jurnal Trends in Cognitive Sciences menunjukkan bahwa saat seseorang mengalami kecemasan, persepsi waktu melambat karena otak terus memproses stimulus di sekitarnya secara lebih intens.
Hal inilah yang membuat menunggu terasa menyiksa. Contohnya, lima menit menunggu di ruang tunggu dokter terasa lebih lama daripada lima menit mengobrol dengan teman. Karena emosi negatif mendominasi saat menunggu, kita lebih fokus menghitung waktu ketimbang menikmati aktivitas yang sedang dijalani. Otak kita, seolah-olah, memperbesar rasa “lama” tersebut demi mempersiapkan diri menghadapi sesuatu yang dianggap penting atau menegangkan.
2. Waktu kosong lebih lama dari waktu terisi

Penelitian Maister dengan judul The Psychology of Waiting Lines menunjukkan bahwa waktu terasa lebih singkat jika kita sibuk melakukan sesuatu. Inilah mengapa banyak tempat pelayanan publik memasang televisi, musik, atau bahkan permainan kecil di ruang tunggu. Gangguan kecil ini membuat otak tidak terus-menerus menghitung detik demi detik.
Sebaliknya, saat kita tidak punya distraksi, perhatian kita sepenuhnya tertuju pada waktu. Contoh klasik adalah saat menunggu loading bar komputer tanpa apa pun yang bisa dikerjakan. Otak memeriksa setiap perubahan kecil, menciptakan ilusi waktu yang lebih panjang. Inilah sebabnya “waktu kosong” terasa berlipat ganda lamanya dibanding “waktu terisi.”
3. Ekspektasi vs realita durasi

Seberapa lama waktu terasa juga sangat ditentukan oleh ekspektasi awal kita. Jika kita diberitahu bahwa proses hanya butuh 10 menit, tetapi ternyata memakan 30 menit, kekecewaan memperburuk persepsi waktu. Ekspektasi yang tidak sesuai realita menciptakan rasa “penipuan waktu.”
Sebaliknya, jika ekspektasi dibuat lebih panjang, waktu menunggu bisa terasa lebih singkat. Inilah trik yang sering digunakan perusahaan jasa, misalnya memperkirakan waktu tunggu lebih lama dari kenyataan, agar pelanggan merasa “senang” ketika dilayani lebih cepat dari prediksi. Ini juga berkaitan dengan psikologi layanan, yang berfokus pada mengelola harapan pelanggan agar pengalaman menunggu tidak terasa menyakitkan.
4. Ketidakpastian membunuh waktu

Menunggu tanpa kepastian, misalnya tidak tahu kapan dokter datang, kapan bus akan tiba, atau kapan chat akan dibalas, terbukti meningkatkan stres dan membuat waktu terasa lebih panjang, lanjut Maister. Ketidakpastian menciptakan kecemasan konstan yang membuat otak kita terus memprediksi apa yang akan terjadi.
Ini juga menjelaskan mengapa orang lebih sabar saat menunggu di antrian yang bergerak perlahan daripada menunggu antrian yang tampak macet total. Ada rasa lega saat kita melihat sedikit pergerakan, meskipun sangat lambat. Ketidakpastian adalah musuh terbesar dalam pengalaman menunggu karena memicu rasa kehilangan kendali.
5. Individu yang berbeda, persepsi waktu yang berbeda

Tidak semua orang mengalami waktu menunggu dengan cara yang sama. Faktor kepribadian, usia, bahkan kondisi psikologis memengaruhi persepsi waktu. Penelitian Lake, LaBar, dan Meck dengan judul Emotional modulation of interval timing and time perception menunjukkan bahwa orang dengan tingkat kecemasan tinggi cenderung merasakan waktu lebih panjang saat menunggu.
Selain itu, anak-anak atau orang muda biasanya merasa waktu berjalan lambat, sementara orang dewasa atau lansia mengeluhkan waktu terasa cepat berlalu. Alasannya, semakin bertambah usia, semakin banyak “referensi waktu” dalam memori kita, sehingga unit waktu terasa relatif lebih kecil dibanding keseluruhan pengalaman hidup kita. Hal ini juga berdampak pada bagaimana kita memaknai waktu menunggu.
Emosi, ekspektasi, rasa bosan, bahkan kepribadian memengaruhi persepsi kita terhadap durasi waktu. Memahami psikologi menunggu tidak hanya membantu kita lebih sabar, tetapi juga bisa dimanfaatkan oleh bisnis atau layanan publik untuk menciptakan pengalaman yang lebih nyaman. Pada akhirnya, waktu memang objektif, tetapi cara kita merasakannya sepenuhnya subjektif.
Demikian ulasan mengenai mengapa menunggu terasa lebih lama daripada waktu sebenarnya, serta mekanisme psikologis yang bekerja di balik fenomena tersebut.