Etika Tertawa dan Bercanda dalam Islam Menurut Ulama Klasik

- Tertawa dalam pandangan Imam al-Ghazali
- Candaan Nabi dan teladan ulama salaf
- Batasan dalam bercanda, menjauhi dusta, dan ejekan
Dalam kehidupan sehari-hari, tertawa dan bercanda adalah bagian alami dari interaksi sosial manusia. Namun, dalam perspektif Islam, segala bentuk ekspresi, termasuk tawa dan candaan, diatur oleh nilai-nilai adab dan akhlak.
Ulama-ulama klasik memberikan perhatian khusus pada topik ini, karena tawa dan candaan yang tidak terkendali dapat mengarah pada lalai, menyakiti perasaan orang lain, atau bahkan jatuh ke dalam dosa seperti berdusta atau menghina. Islam bukan agama yang kaku dan mengekang kegembiraan.
Rasulullah SAW pun dikenal sesekali bercanda dengan para sahabatnya, namun tidak pernah keluar dari batas kebenaran dan adab. Oleh karena itu, para ulama seperti Imam al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan Al-Qurtubi merinci panduan bagaimana seorang muslim seharusnya tertawa dan bercanda, yakni dengan hikmah, kejujuran, dan mempertimbangkan keadaan sekitar.
Berikut etika tertawa dan bercanda dalam Islam menurut ulama klasik.
1. Tertawa dalam pandangan Imam al-Ghazali

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam al-Ghazali menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara keseriusan dan kegembiraan. Menurutnya, tertawa tidaklah haram, namun terlalu sering tertawa dapat mematikan hati, yakni membuat seseorang lalai dari mengingat Allah.
Al-Ghazali mengutip sabda Nabi SAW, “Janganlah kalian banyak tertawa, karena banyak tertawa mematikan hati.” Dengan kata lain, tawa boleh-boleh saja, asalkan tidak menjadi kebiasaan yang menjauhkan seseorang dari kesadaran spiritual.
Al-Ghazali juga menyarankan agar seorang muslim menjaga wibawa dan khusyuk, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan ibadah dan ilmu. Bercanda atau tertawa berlebihan dalam majelis ilmu, shalat, atau forum serius dianggap tidak sopan dan bisa menghilangkan manfaat dari majelis tersebut.
Menurutnya, tawa adalah ibarat garam dalam makanan, diperlukan dalam kadar kecil untuk menyempurnakan suasana, bukan untuk mendominasi.
2. Candaan Nabi dan teladan ulama salaf

Rasulullah SAW sendiri pernah bercanda, tetapi tidak pernah berkata kecuali yang benar. Dalam hadis riwayat Abu Dawud, Nabi berkata kepada seorang wanita tua bahwa orang tua tidak akan masuk surga, lalu setelah wanita itu terkejut, beliau menjelaskan bahwa maksudnya adalah karena semua orang akan dibangkitkan dalam keadaan muda.
Ini menunjukkan bahwa candaan beliau bersifat edukatif, tidak menyakiti, dan mengandung kebenaran. Ulama salaf seperti Abdullah bin Mas'ud dan Umar bin Khattab pun dikenal sesekali bercanda dengan para sahabat dan keluarganya, tetapi mereka selalu menjaga kejujuran dan tidak menjadikan canda sebagai kebiasaan utama.
Mereka memandang bahwa candaan yang sehat bisa mempererat ukhuwah, tetapi harus dikendalikan agar tidak berubah menjadi senda gurau yang melalaikan.
3. Batasan dalam bercanda, menjauhi dusta, dan ejekan

Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menyebut bahwa berdusta dalam bercanda tetap dihitung sebagai dosa. Rasulullah SAW bersabda, "Celakalah orang yang berbicara dan berdusta untuk membuat orang lain tertawa, celakalah dia!" Ini menunjukkan bahwa kejujuran tetap menjadi syarat utama dalam bercanda. Tidak dibenarkan mengarang cerita atau menggoda seseorang dengan kebohongan hanya demi menciptakan tawa.
Bercanda dengan mengejek, menjatuhkan martabat, atau membuka aib orang lain juga sangat dilarang. Ulama tafsir seperti Al-Qurtubi menafsirkan ayat “Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain…” (QS. Al-Hujurat: 11) sebagai larangan bercanda yang mengandung unsur hinaan, baik secara langsung maupun tersirat. Maka, etika dalam bercanda adalah memastikan bahwa orang lain tidak tersinggung, tidak dirugikan, dan tidak merasa direndahkan.
4. Manfaat dan bahaya tertawa dalam perspektif ruhani

Ibnu Qayyim al-Jawziyyah menjelaskan bahwa tawa bisa menjadi penyejuk jiwa jika dilakukan dengan niat yang bersih dan dalam batas yang wajar. Tertawa dalam kebersamaan yang sehat bisa menumbuhkan cinta, persahabatan, dan meringankan beban hidup. Namun, ia juga mengingatkan bahwa tawa yang berlebihan bisa melemahkan semangat ibadah dan menjauhkan seseorang dari keseriusan hidup.
Tawa yang terus-menerus juga bisa membuat seseorang kurang sensitif terhadap dosa dan penderitaan orang lain. Oleh karena itu, para ulama mengajarkan pentingnya menangis karena takut kepada Allah sebagai penyeimbang dari terlalu banyak tertawa. Dalam banyak kitab tasawuf, tangis karena rindu kepada Allah lebih dipuji daripada tawa yang tiada batas.
Demikian etika tertawa dan bercanda dalam Islam menurut ulama klasik.