5 Fakta Ilmiah yang Mengungkap Rahasia di Balik Fenomena Deja Vu

Hampir semua orang pernah mengalaminya, yaitu momen ketika sebuah situasi terasa begitu familiar, seolah-olah kita pernah mengalaminya sebelumnya, padahal kenyataannya tidak. Fenomena ini dikenal sebagai deja vu, yaitu istilah yang berasal dari bahasa Prancis yang berarti "sudah terlihat".
Walau berlangsung hanya beberapa detik, deja vu sering memicu rasa heran, penasaran, bahkan misteri bagi banyak orang. Namun, dalam dunia sains, deja vu bukanlah hal mistis. Para peneliti telah lama mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam otak ketika kita mengalami sensasi ini.
Berikut ini 5 fakta ilmiah yang mengungkap rahasia di balik fenomena deja vu, berdasarkan riset neurologi dan psikologi terbaru.
1. Deja vu berasal dari gangguan pemrosesan memori otak
Deja vu diyakini terjadi karena adanya gangguan kecil dalam sistem pengolahan memori otak. Brown dalam makalahnya The deja vu experience mengatakan ketika otak salah menafsirkan pengalaman baru sebagai kenangan lama, muncullah sensasi familiar yang membingungkan. Area otak yang bertanggung jawab atas hal ini adalah lobus temporal medial, khususnya hipokampus, yang memproses memori jangka panjang dan pengenalan pola.
Fenomena ini seperti korslet pada sistem memori, yaitu informasi yang seharusnya diproses sebagai hal baru, justru langsung dimasukkan ke dalam folder kenangan. Ini menyebabkan kita merasa telah mengalami sesuatu yang sebenarnya baru saja terjadi. Fenomena ini memperlihatkan betapa kompleks dan kadang tidak sempurnanya sistem kerja otak manusia.
2. Lebih umum terjadi pada orang muda dan sehat
Studi menunjukkan bahwa deja vu lebih sering terjadi pada orang muda, terutama antara usia 15–25 tahun. Sno dan Linszen dalam jurnalnya The deja vu experience: Remembrance of things past? mengatakan hal ini terjadi karena pada usia tersebut, kemampuan kognitif dan daya ingat sedang berada pada puncaknya, sehingga otak lebih aktif dalam memproses dan membandingkan informasi baru dengan memori yang sudah ada.
Sebaliknya, frekuensi deja vu cenderung menurun seiring bertambahnya usia, kemungkinan karena penurunan sensitivitas sistem memori. Uniknya, deja vu juga lebih sering terjadi pada orang yang cenderung kurang tidur atau sedang mengalami stres ringan, yaitu dua kondisi yang bisa membuat pemrosesan informasi di otak menjadi tidak stabil, namun tidak sampai mengganggu kesadaran secara signifikan.
3. Bisa dipicu oleh kesamaan situasi atau lingkungan
Sering kali, deja vu terjadi karena situasi atau lingkungan baru memiliki elemen yang mirip dengan pengalaman masa lalu, walau kita tidak secara sadar mengingatnya. Misalnya, tata letak ruangan, pencahayaan, atau bahkan aroma tertentu bisa memicu respons familiar di otak tanpa kita sadari. Ini disebut sebagai pemrosesan memori implisit, di mana otak mengingat detail kecil tanpa kita sadari secara sadar.
Ketika elemen-elemen tersebut muncul kembali dalam konteks yang berbeda, otak kita mengasosiasikannya dengan pengalaman masa lalu dan muncullah sensasi deja vu. Fenomena ini menunjukkan bagaimana otak mengandalkan pola dan asosiasi dalam mengenali lingkungan.
4. Mirip dengan aktivitas neurologis pada epilepsi temporal
Penelitian pada pasien epilepsi, khususnya yang mengalami epilepsi lobus temporal, menunjukkan bahwa deja vu bisa terjadi sesaat sebelum serangan. Hal ini memberikan petunjuk penting bahwa deja vu berkaitan dengan aktivitas saraf yang tidak biasa di bagian otak yang menangani memori dan persepsi, ucap Gloor dalam jurnalnya Experiential phenomena of temporal lobe epilepsy: Facts and hypotheses.
Meskipun orang sehat juga mengalami deja vu, dalam konteks epilepsi, sensasi ini muncul karena impuls listrik yang tidak normal memicu pengaktifan ulang memori secara acak. Ini mengindikasikan bahwa deja vu bisa menjadi semacam kilatan listrik kecil di otak, cukup kuat untuk memunculkan rasa familiar, tapi tidak sampai menyebabkan kejang.
5. Sains masih belum sepenuhnya memahami deja vu
Walau banyak teori dan studi neurologis yang mendekati penjelasan logis tentang deja vu, kenyataannya para ilmuwan masih belum mencapai konsensus tunggal. Fenomena ini sangat subjektif, sulit untuk diukur secara langsung di laboratorium, dan biasanya tidak berlangsung lama. Ini menyulitkan para peneliti untuk menangkapnya dalam kondisi eksperimen.
Namun, kemajuan teknologi pencitraan otak seperti fMRI dan EEG telah membantu memperjelas bagaimana area otak tertentu aktif saat deja vu terjadi. Sains terus berkembang dalam mengeksplorasi fenomena ini, dan siapa tahu, suatu saat nanti kita benar-benar bisa merekam deja vu saat terjadi, dan memahami sepenuhnya bagaimana dan mengapa kita bisa merasa seperti pernah berada di sini sebelumnya.
Itulah 5 fakta ilmiah yang mengungkap rahasia di balik fenomena deja vu, berdasarkan riset neurologi dan psikologi.