Ilustrasi jawaban Al-Quran atas doa-doamu. (Pinterest/sarif)
Wa idz ta'adzdzana rabbukum la'in syakartum la'azîdannakum wa la'ing kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd.
Artinya, “(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.” (QS. Ibrahim, ayat 7)
Fakhruddin ar-Razi menerangkan dalam Mafatihul Ghaib bahwa kandungan utama dalam surat Ibrahim ayat tujuh setidaknya ada tiga. Pertama, pada hakikatnya syukur merupakan ungkapan rasa pengakuan diri atas nikmat dari yang Maha Pemberi.
Kedua, janji Allah SWT untuk menambah kenikmatan bagi yang merasa bersyukur. Nikmat tersebut bisa berbentuk jasmani maupun rohani. Nikmat rohani ini jika benar-benar dirasakan maka akan mencapai maqam (derajat) tertinggi yakni cinta kepada-Nya. Sedang nikmat jasmani ialah ketika seseorang selalu menyibukan diri sebagai bentuk rasa syukur, maka semakin banyak nikmat yang ia peroleh.
Ketiga, sikap kufur akan nikmat bisa menyebabkan rasa tersiksa. Rasa tersiksa ini muncul karena ia tidak tahu (tertutup) akan nikmat Allah sehingga ia juga tidak benar-benar mengetahui Allah SWT. Katidak tahuan itulah yang menurut ar-Razi sebagai siksa yang besar.
Yang menarik dalam ayat ini adalah ada pada janji Allah SWT. Secara tegas Allah akan memberikan tambahan nikmat bagi hamba yang bersyukur. Namun, jika berbicara pada orang-orang yang kufur, Allah tidak langsung memberikan azab kepada mereka melainkan hanya mengingatkan bahwa azab-Nya sangatlah pedih. Ini merupakan bentuk kasih sayang-Nya karena Ia tidak secara langsung memberi azab bagi yang kufur.