Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi stigma terhadap pasien penyakit kulit menular. (Pinterest/docsmedicalgroup.com)

Intinya sih...

  • Penyakit kulit menular: antara fakta medis dan mitos

  • Dampak psikologis: luka yang tak terlihat

  • Dampak sosial: pengucilan hingga diskriminasi

Penyakit kulit menular seperti kusta, herpes, skabies, hingga kurap masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Meski banyak jenis penyakit kulit menular dapat diobati dan sembuh total, stigma sosial terhadap penderitanya tetap tinggi. Orang dengan penyakit kulit menular sering dijauhi, dianggap jorok, bahkan dikucilkan dari lingkungan sosial.

Padahal, tidak semua penyakit kulit menular semudah itu berpindah antar-manusia, apalagi jika sudah menjalani pengobatan. Stigma ini membawa dampak psikologis yang berat bagi pasien. Rasa malu, minder, hingga depresi menjadi konsekuensi yang sering tidak terlihat. Selain menghambat penyembuhan, stigma juga membuat pasien enggan memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan, sehingga risiko penularan justru semakin besar.

Artikel ini akan mengupas lebih dalam bagaimana stigma muncul, apa saja dampaknya, dan bagaimana kita seharusnya menyikapi isu ini.

1. Penyakit kulit menular: antara fakta medis dan mitos

Ilustrasi stigma terhadap pasien penyakit kulit menular. (Pinterest/Health)

Banyak orang masih salah memahami penyakit kulit menular. Penyakit seperti kusta, misalnya, sering dianggap sangat mudah menular hanya lewat sentuhan singkat, padahal penularan kusta membutuhkan kontak erat dan waktu lama. Demikian pula herpes, yang hanya menular pada fase tertentu, bukan setiap saat. World Health Organization mengungkapkan kurangnya edukasi membuat penyakit-penyakit ini dihubungkan dengan kebersihan buruk atau perilaku amoral.

Sayangnya, mitos yang melekat kuat di masyarakat lebih berpengaruh daripada penjelasan medis. Pasien dianggap “menjijikkan” atau “pembawa penyakit,” meski banyak kasus sebenarnya tidak berbahaya jika ditangani dengan baik. Perbedaan persepsi antara fakta medis dan anggapan sosial inilah yang menjadi akar stigma.

2. Dampak psikologis: luka yang tak terlihat

Ilustrasi cara mengubah luka batin menjadi perubahan yang menguatkan. (Pinterest/Afam Uche)

Stigma bukan sekadar masalah sosial, tetapi juga menjadi beban psikologis yang berat bagi pasien. Banyak penderita merasa minder, malu, dan menarik diri dari pergaulan. Mereka kerap khawatir orang lain akan menilai mereka jorok atau menganggap penyakitnya sebagai kutukan. Rasa malu ini bahkan membuat beberapa pasien enggan mengobati penyakitnya secara medis, karena takut diketahui orang lain.

Kondisi psikologis yang terpuruk bisa memicu depresi, gangguan kecemasan, dan bahkan keinginan bunuh diri. Dalam penelitian di beberapa wilayah endemis kusta, stigma sosial terbukti menjadi salah satu faktor utama penderita mengalami masalah kesehatan mental yang serius. Masalah psikologis inilah yang sering terabaikan dalam pelayanan kesehatan kita, ungkap Mulyadi dan Astuti dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat.

3. Dampak sosial: pengucilan hingga diskriminasi

Ilustrasi stigma terhadap pasien penyakit kulit menular. (Pinterest/docsmedicalgroup.com)

Tidak sedikit pasien penyakit kulit menular yang mengalami pengucilan sosial. Mereka dijauhi oleh teman kerja, tetangga, bahkan keluarga. Kasus pasien kusta yang kehilangan pekerjaan atau ditolak saat melamar kerja masih kerap terjadi, meski sudah ada aturan hukum yang melarang diskriminasi.

Selain dalam lingkungan sosial, stigma juga muncul di lingkungan pelayanan kesehatan. Ada laporan pasien yang merasa diperlakukan berbeda oleh tenaga medis karena penyakit kulitnya dianggap menjijikkan. Padahal, tenaga kesehatan seharusnya menjadi garda terdepan melawan stigma, bukan justru memperkuatnya. Diskriminasi semacam ini membuat pasien semakin enggan mengakses layanan kesehatan.

4. Hambatan dalam pengobatan dan pencegahan

Ilustrasi seberapa bahaya HIV? Ini fakta medis, sosial, dan upaya pencegahannya. (Pinterest/draristide.ro)

Salah satu akibat paling fatal dari stigma adalah pasien enggan berobat. Mereka takut dicap atau diketahui tetangga, sehingga memilih diam meski penyakitnya makin parah. Ini sangat berbahaya karena beberapa penyakit kulit menular, seperti kusta atau skabies, perlu segera diobati untuk mencegah kecacatan atau penularan lebih luas.

Di sisi lain, stigma juga membuat masyarakat tidak mau memeriksakan diri meski mengalami gejala. Padahal, deteksi dini sangat penting dalam pengobatan penyakit kulit menular. Stigma yang kuat menjadi tembok penghalang untuk program kesehatan publik, karena masyarakat lebih memilih menutupi penyakit daripada mencari pengobatan.

5. Menghapus stigma: peran edukasi dan empati

Ilustrasi penyakit yang jarang diketahui orang padahal berbahaya. (Pinterest/Health)

Menghapus stigma terhadap pasien penyakit kulit menular harus dimulai dari edukasi yang benar. Pemerintah, tenaga medis, dan media memiliki tanggung jawab memberikan informasi akurat tentang cara penularan, pengobatan, dan fakta medis. Kampanye kesehatan yang tidak hanya berbasis data, tetapi juga menyentuh aspek sosial, sangat penting dilakukan.

Selain edukasi, empati masyarakat memegang peran besar. Kita harus mengingat bahwa pasien penyakit kulit menular adalah korban, bukan penjahat. Perlakuan yang penuh belas kasih akan mendorong mereka untuk berobat, memutus rantai penularan, sekaligus memulihkan rasa percaya diri mereka. Jika stigma hilang, maka bukan hanya pasien yang sembuh, tetapi juga kualitas kesehatan masyarakat akan meningkat secara keseluruhan.

Demikian ulasan bagaimana stigma muncul, apa saja dampaknya, dan bagaimana kita seharusnya menyikapi isu pasien penyakit kulit menular ini. Semoga artikel ini bisa menambah pengetahuan kamu ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team