Dalam tradisi ini, dua lembar kain sarung digunakan untuk menutup tubuh sebagai bentuk aurat sesuai ajaran agama Islam. Salah satunya digunakan untuk menutupi bagian bawah, sementara yang lain berfungsi sebagai penutup bagian atas yang hanya menampilkan mata. Awalnya dikenal sebagai Rimpu Sampela, namun seiring waktu, pemakaian Rimpu telah mengalami perubahan, di mana bagian bawahnya menggunakan rok biasa bukan sarung.
Tradisi menggunakan Rimpu bersamaan dengan masuknya ajaran Islam di Bima, ditandai dengan kehadiran pedagang Islam yang didominasi oleh perempuan Arab. Hal ini mendorong perempuan di Bima untuk mengadopsi pakaian ini, menjadikannya sebagai simbol khas masyarakat Bima.
Dengan berjalannya waktu, Rimpu mulai digunakan untuk menutup aurat sesuai ajaran Islam. Namun, keberadaannya juga merupakan upaya dari pemerintah untuk memanfaatkan kain sarung atau kain tenun sebagai komoditas perdagangan dunia. Salah satunya adalah tembe nggoli, kain tenun khas Bima.