Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Alasan Algoritma Media Sosial Menciptakan Siklus Adiktif

Ilustrasi alasan mengapa algoritma media sosial menciptakan siklus adiktif. (Pinterest/Lonelo jr)

Media sosial awalnya diciptakan sebagai alat untuk mempererat hubungan antarmanusia dan menyebarkan informasi. Namun, seiring waktu, platform-platform tersebut berkembang menjadi mesin bisnis yang didorong oleh data dan atensi pengguna.

Di balik tampilan yang ramah dan interaktif, tersembunyi sistem algoritma yang dirancang untuk menjaga perhatian kamu selama mungkin di dalam aplikasi. Bahkan jika itu berarti memanipulasi respons psikologis secara tidak sadar.

Penelitian menunjukkan bahwa algoritma media sosial tidak jauh berbeda dari zat adiktif seperti nikotin atau narkotika dalam cara kerjanya terhadap otak manusia. Algoritma dirancang untuk merangsang dopamine, yaitu neurotransmitter yang berkaitan dengan perasaan senang dan membentuk pola perilaku kompulsif.

Artikel ini membahas bagaimana algoritma media sosial menciptakan siklus adiktif yang memengaruhi kesehatan mental, sosial, dan bahkan demokrasi.

1. Algoritma dirancang untuk menangkap perhatian

Ilustrasi brain rot, kecanduan konten receh di media sosial secara berlebihan. (Pinterest/Denk Positief)

Algoritma media sosial bekerja berdasarkan preferensi pengguna, yaitu semakin lama seseorang menghabiskan waktu di platform, semakin banyak data yang dikumpulkan untuk menyempurnakan konten yang ditampilkan. Hal ini menciptakan umpan balik algoritmik yang disesuaikan secara personal dan sangat sulit untuk diabaikan.

Notifikasi, likes, dan komentar disusun agar pengguna terus kembali dan menggulir layar tanpa henti, ungkap Harris dalam The Social Dilemma. Sama seperti zat adiktif yang memberikan "high" sesaat, media sosial menawarkan kepuasan instan yang bersifat sementara.

Otak manusia bereaksi terhadap lonjakan dopamin saat menerima validasi sosial, menciptakan siklus yang mirip dengan kecanduan narkoba. Alter dalam bukunya Irresistible: The Rise of Addictive Technology and the Business of Keeping Us Hooked, mengatakan semakin sering pengguna membuka aplikasi, semakin kuat pula keterikatannya secara neurologis.

2. Pengaruh terhadap sistem dopamin otak

Ilustrasi brain rot, kecanduan konten receh di media sosial secara berlebihan. (Pinterest/La Vie Des Reines)

Sistem dopamin dalam otak berperan besar dalam motivasi dan pencarian hadiah. Ketika pengguna menerima notifikasi atau pengakuan sosial secara acak, otak melepaskan dopamin dalam pola yang tidak terprediksi, seperti yang terjadi dalam perjudian. Ketidakpastian ini justru membuat pengguna semakin terdorong untuk terus mengecek ponsel.

Penelitian yang dilakukan Turel dan Bechara dengan judul A Triple-Process Model of Neural Decision-Making in Internet Addiction, mengungkapkan stimulasi berulang ini mengubah cara otak memproses kesenangan dan menciptakan toleransi, sehingga pengguna perlu lebih banyak interaksi untuk merasakan efek yang sama.

Sama seperti pecandu zat, seseorang yang kecanduan media sosial dapat mengalami gejala putus saat tidak aktif, seperti kecemasan, gelisah, atau perasaan hampa.

3. Desain antarmuka yang mendorong ketergantungan

Ilustrasi brain rot, kecanduan konten receh di media sosial secara berlebihan. (Pinterest/Laut Nachdenken)

Fitur seperti scroll tak terbatas, autoplay video, dan notifikasi waktu nyata adalah bagian dari desain antarmuka yang dirancang untuk menjaga pengguna tetap aktif. Desain ini bukan sekadar estetika, melainkan hasil dari eksperimen perilaku yang bertujuan meningkatkan engagement. Dalam praktiknya, ini memperkuat kebiasaan konsumsi digital yang tidak disadari, kata Eyal dalam makalahnya Hooked: How to Build Habit-Forming Products.

Desain tersebut juga membuat pengguna kehilangan kontrol atas waktu. Banyak yang menyadari mereka telah menghabiskan berjam-jam di media sosial tanpa niat awal untuk melakukannya. Ini menunjukkan bahwa bukan sekadar kontennya yang membuat adiktif, melainkan mekanisme teknologinya sendiri.

4. Dampak terhadap kesehatan mental

Ilustrasi alasan mengapa banyak orang merasa kesepian di dunia yang terkoneksi. (Pinterest/afamuche.com)

Penelitian Twenge dan Campbell dalam jurnalnya Associations between screen time and lower psychological well-being among children and adolescents, menemukan paparan terus-menerus terhadap media sosial meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan sosial, hingga gangguan tidur. Ketika pengguna membandingkan hidup mereka dengan unggahan orang lain, muncul perasaan tidak puas, iri hati, atau rendah diri. Efek ini sangat terasa pada remaja dan anak muda yang identitas sosialnya sedang terbentuk.

Siklus adiktif juga memperparah ketergantungan emosional terhadap validasi eksternal. Ketika nilai diri seseorang bergantung pada jumlah like atau komentar, rasa harga diri menjadi rapuh. Ini menimbulkan pola pikir berbahaya di mana eksistensi digital lebih penting daripada kesehatan psikologis yang sebenarnya, ungkap Andreassen dalam jurnalnya Development of a Facebook Addiction Scale.

5. Tanggung jawab etis dan regulasi

Ilustrasi alasan mengapa algoritma media sosial menciptakan siklus adiktif. (Pinterest/Lonelo jr)

Zuboff dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism, mengatakan meski perusahaan media sosial memiliki kapasitas teknologi luar biasa, tanggung jawab etis mereka terhadap kesehatan pengguna masih dipertanyakan. Banyak platform enggan membatasi fitur adiktif karena engagement tinggi berarti pendapatan iklan yang besar. Situasi ini menimbulkan konflik antara keuntungan ekonomi dan kesejahteraan publik.

Laporan European Commission pada tahun 2020, mengungkapkan beberapa negara mulai mempertimbangkan regulasi untuk membatasi manipulasi algoritma, seperti mewajibkan transparansi atau mengatur waktu layar. Namun, upaya ini masih sangat terbatas dan belum mampu menandingi skala pengaruh perusahaan teknologi besar.

Kesadaran kolektif dan kebijakan publik lah yang diperlukan untuk memutus siklus adiktif yang kini telah mengakar dalam kehidupan digital manusia.

Itulah bagaimana algoritma media sosial menciptakan siklus adiktif yang memengaruhi kesehatan mental, sosial, dan bahkan demokrasi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Linggauni -
EditorLinggauni -
Follow Us