Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Desa Sade di Lombok. (Dok. Pribadi/Yerin Shin)
Desa Sade di Lombok. (Dok. Pribadi/Yerin Shin)

Bahasa Sasak di Lombok dikenal kaya, unik, dan penuh warna, tetapi sebagian kosakatanya mulai terlupakan oleh penuturnya sendiri. Generasi muda lebih sering memakai bahasa Indonesia sehingga perlahan meninggalkan kata-kata tradisional yang dulu akrab di telinga. Fenomena ini membuat sejumlah kosakata Sasak tenggelam dan jarang muncul dalam percakapan sehari-hari.

Perubahan gaya hidup dan dominasi media berpengaruh besar terhadap keberlangsungan bahasa daerah. Semakin banyak orang yang merasa lebih praktis menggunakan bahasa Indonesia, terutama dalam lingkungan formal. Akibatnya, banyak kata Sasak yang dulunya sering diucapkan kini hanya dikenal oleh kalangan tertentu.

Padahal, kosakata Sasak tidak hanya sekadar kata, tetapi juga bagian penting dari identitas budaya masyarakat Lombok. Setiap kata menyimpan makna, sejarah, dan cara pandang orang Sasak terhadap kehidupan. Mengingat kembali kosakata jarang terdengar ini menjadi upaya kecil untuk menjaga keberlanjutan bahasa daerah.

1. Nasi Mataq: istilah Sasak untuk jerawat

Warga Desa Sade yang ada di Lombok. (IDN Times/Sunariyah)

Nasi mataq adalah kata Sasak yang digunakan untuk menyebut jerawat, meski kini lebih sering diganti dengan istilah Indonesia. Nama ini muncul karena bentuk jerawat dianggap mirip butiran beras mentah yang kecil dan bulat. Meskipun terdengar lucu, kata ini mulai jarang terdengar di kalangan anak muda Lombok.

Banyak orang lebih memilih mengatakan “jerawat” karena terpengaruh media dan percakapan sehari-hari. Padahal, nasi mataq punya kekhasan yang memperkaya identitas bahasa Sasak. Penggunaannya kini lebih sering ditemukan di daerah pedesaan atau pada penutur lanjut usia.

Kosakata ini adalah contoh bagaimana bahasa daerah bisa kehilangan ciri khas jika tidak dipertahankan. Tanpa disadari, generasi muda mungkin tidak lagi mengetahui padanan Sasaknya. Menggunakan kata seperti nasi mataq adalah langkah kecil menjaga agar bahasa Sasak tetap hidup.

2. Nyemporon: kata Sasak untuk aksi terjun

ilustrasi melompat (pexels.com/Temo Berishvili)

Kata nyemporon digunakan untuk menyebut tindakan terjun ke air, seperti ke sungai atau kolam. Istilah ini dulu sering dipakai ketika anak-anak bermain di sungai atau irigasi. Namun, saat ini kata “terjun” lebih banyak terdengar dibanding nyemporon.

Pergantian kosakata ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan kebiasaan dan lingkungan. Anak-anak kini lebih banyak bermain di rumah sehingga jarang mengalami aktivitas tradisional seperti berenang di sungai. Akibatnya, istilah yang melekat pada kegiatan tersebut ikut memudar.

Ketika kata nyemporon ditinggalkan, hilang pula sedikit cerita tentang gaya hidup masyarakat Sasak tempo dulu. Kosakata bahasa tidak pernah berdiri sendiri, karena selalu terhubung dengan konteks budaya. Menghidupkan kembali kata ini berarti menghargai memori masa kecil masyarakat Lombok.

3. Kedesor: jatuh ke arah depan

ilustrasi lompat tali (pexels.com/RDNE Stock project)

Kedesor adalah kata Sasak yang menggambarkan seseorang jatuh ke arah depan akibat tersandung atau kehilangan keseimbangan. Kata ini sangat spesifik dan tidak bisa digantikan oleh sekadar “jatuh”. Tetapi kini, generasi muda lebih sering menggunakan istilah Indonesia yang lebih umum.

Perubahan penggunaan kata ini menunjukkan pergeseran cara orang menggambarkan pengalaman fisik. Istilah spesifik seperti kedesor perlahan terpinggirkan karena dianggap kurang praktis atau tidak lagi populer. Padahal, kekayaan sebuah bahasa justru terlihat dari detail kosakata seperti ini.

Menjaga penggunaan kata kedesor berarti menjaga kekayaan ekspresif dalam bahasa Sasak. Kata ini menyimpan karakter dan rasa yang tidak dimiliki padanan Indonesia. Dengan kembali memakainya, kita bisa merawat nuansa khas yang dimiliki bahasa daerah.

4. Pelingkak: istilah Sasak untuk ranting pohon

Potret burung di ranting pohon (pexels.com/Aaron J Hill)

Pelingkak adalah padanan Sasak untuk “ranting” atau cabang kecil pohon. Kata ini dulu sering digunakan oleh masyarakat desa yang akrab dengan pekerjaan di ladang dan kebun. Namun kini, istilah “ranting” lebih banyak digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Perubahan lingkungan dan pekerjaan masyarakat membuat kata pelingkak semakin jarang terdengar. Anak muda yang tumbuh dalam lingkungan perkotaan bahkan mungkin tidak pernah mendengar istilah ini sama sekali. Hal ini menunjukkan adanya jarak antara generasi dengan kosakata tradisional.

Kata pelingkak menjadi bukti bahwa bahasa Sasak sangat kaya dengan istilah alam dan lingkungan. Setiap kata mencerminkan kedekatan masyarakat dengan alam sekitarnya. Dengan memahami kembali kata ini, kita turut menjaga keberlanjutan bahasa daerah.

5. Boyot: kata Sasak untuk gempa

ilustrasi gempa bumi (freepik.com/user189

Boyot adalah kata Sasak yang digunakan untuk menyebut guncangan bumi atau gempa. Istilah ini cukup tua dan sering ditemukan dalam percakapan generasi terdahulu. Namun kini, kata “gempa” lebih mendominasi karena sering digunakan dalam pemberitaan dan pendidikan.

Perubahan penggunaan kata ini menunjukkan bagaimana media memengaruhi bahasa masyarakat. Istilah yang lebih sering muncul di televisi atau sekolah otomatis menggantikan istilah lokal. Akibatnya, boyot perlahan menghilang dari kehidupan sehari-hari.

Padahal, kata boyot menyimpan nilai sejarah dan kedekatan masyarakat Sasak dengan fenomena alam. Menggunakan kata ini kembali bukan hanya soal bahasa, tetapi juga warisan budaya. Kosakata tradisional akan tetap hidup jika tetap digunakan oleh generasinya.

6. Sandikala: istilah Sasak untuk senja atau menjelang malam

Ilustrasi senja di pelabuhan (freepik.com/wirestock)

Sandikala adalah kata Sasak yang sangat indah untuk menggambarkan senja. Istilah ini memuat suasana peralihan sore menuju malam dengan nuansa yang lembut dan puitis. Namun kini, kata ini hanya digunakan dalam konteks sastra atau budaya tertentu.

Banyak orang lebih mengenal dan menggunakan istilah “senja” karena lebih populer di media sosial dan karya modern. Hal ini membuat sandikala semakin jarang terdengar dalam percakapan umum. Padahal, kata ini memiliki nilai estetika yang sangat tinggi.

Menggunakan kembali kata sandikala dapat membantu memperkaya kosakata sastra lokal. Selain itu, kata ini dapat menjadi simbol keindahan bahasa daerah yang unik. Melestarikan kata seperti ini berarti melestarikan kehalusan budaya Sasak.

7. Jun Rubin: istilah Sasak untuk selumbari (dua hari yang lalu)

Salah satu destinasi wisata di NTB. (Dok. Kemenparekraf)

Jun rubin adalah istilah dalam bahasa Sasak untuk menyebut selumbari, yaitu hari pada dua hari yang lalu. Kata ini dulu sering muncul dalam percakapan sehari-hari ketika orang Sasak menjelaskan urutan waktu. Namun kini, banyak orang lebih memilih menggunakan istilah Indonesia sehingga kata ini semakin jarang terdengar.

Generasi muda yang jarang memakai bahasa Sasak dalam percakapan cenderung tidak lagi mengenal kata jun rubin. Pergeseran ini membuat kosakata tradisional seperti ini perlahan hilang dari memori kolektif penutur muda. Padahal, kata tersebut menunjukkan betapa detailnya bahasa Sasak dalam mengatur konsep waktu.

Melestarikan kata jun rubin berarti menjaga kekhasan bahasa Sasak dalam menjelaskan hubungan waktu. Istilah ini bukan hanya kata, tetapi bagian dari tradisi tutur yang sudah ada sejak lama. Jika digunakan kembali, kata jun rubin dapat tetap hidup dalam percakapan masyarakat Lombok.

Tujuh kosakata seperti nasi mataq, nyemporon, kedesor, pelingkak, boyot, sandikala, dan jun rubin adalah contoh kecil dari kekayaan bahasa Sasak yang terancam hilang. Perubahan zaman membuat banyak kata tradisional jarang terdengar, padahal masing-masing menyimpan makna dan sejarah budaya yang penting. Menjaga penggunaannya dalam percakapan sehari-hari adalah cara sederhana untuk memastikan bahasa Sasak tetap hidup di generasi mendatang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team