TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Lotim Zona Merah Kasus Kekerasan Anak, Tapi Tetap Dapat Predikat KLA

Kasus kekerasan anak tinggi, terutama kekerasan seksual

Kantor Bupati Lombok Timur (dok. Ruhaili)

Lombok Timur, IDN Times - Kabupaten Lombok Timur kembali mendapatkan predikat Kabupaten Layak Anak (KLA) tingkat Pratama. Tetapi predikat tersebut dianggap tidak sesuai karena angka kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi masih tinggi. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Lombok Timur bahkan menyebutkan bahwa daerah ini menjadi zona merah kasus kekerasan pada anak.

Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Lombok Timur, H Ahmat mengaku bahwa kasus kekerasan terhadap anak tidak terlalu berpengaruh terhadap penilaian KLA. Kasus kekerasan ini, hanya masuk penilaian sub-indikator dari 27 indikator penilaian.

Dalam hal ini, banyak yang mempertanyakan keputusan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) yang memberikan predikat kabupaten/kota layak anak di tengah maraknya kasus kekerasan seksual. Hampir di semua daerah di Provinsi Nusa TTenggara Barat (NTB) terjadi kasus kekerasan seksual pada anak. Kasusnya bahkan banyak terjadi di lingkungan pendidikan, seperti di sekolah dan pondok pesantren.

Ahmat mengatakan bahwa penilaian KLA secara garis besar yaitu terkait pendidikan, kesehatan, ruang bermain anak, dan pelayanan publik yang ramah anak. Tetapi untuk mencegah dan menekan kasus kekerasan anak ini, berbagai usaha dan upaya yang dilakukan. Saalah satunya membuat regulasi  tentang pelayanan ramah anak dan perlindungan anak, mulai dari Peraturan Daerah (Perda) tentang Perlindungan Perempuan dan Anak, Peraturan Bupati (Perbup) tentang tindak kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, Perturan Desa (Perdes) tentang larangan pernikahan anak dan awik-awik perlindungan anak di tingkat Dusun.

Meskipun dipayungi banyak regulasi, tetapi posisi Lombok Timur tetap stagnan di posisi predikat pratama, hal itu disebabkan karena pelaksanaan dan penerapannya yang belum maksimal oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) maupun oleh pemerintah desa ataupun instansi lainnya. Hal itu juga merupakan penyebab masih terjadinya kekerasan ataupun perundungan terhadap anak.

"Untuk kasus kekerasan terhadap anak memang berpengaruh, tetapi hanya masuk dalam penilaian sub-indikator," ungkap H. Ahmat, Rabu (9/8/2023).

Baca Juga: Harta Kekayaan 3 Calon Penjabat Bupati Lotim, Kadisos NTB Paling Tajir

1. Tidak naik peringkat bukan karena angka kasus kekerasan anak

Kepala Dinas DP3AKB Lombok Timur, H. Ahmat (dok. Pribadi/Ruhaili)

Meskipun mendapatkan predikat pratama, tetapi Ahmat mengaku kecewa dengan hasil tersebut, karena target yang ingin dicapai tahun ini yaitu naik ke predikat madya KLA. Padahal ke-27 indikator itu sudah dilaksanakan, hanya saja belum dilaksanakan secara maksimal oleh OPD dan instansi terkait.

Menurut Ahmat, harusnya semua OPD terkait betul betul paham dan mengerti peran dan fungsi masing-masing. Menurutnya, untuk mencapai hal tersbut, tidak bisa hanya DP3AKB saja, tetapi semua OPD harus melakukan regulasi tersebut. Misalnya bagaimana menyiapkan ruang bermain anak-anak di desa. Termasuk kaitannya dengan Dinas Perhubungan, apakah sudah melengkapi zebra cross di jalan menuju sekolah.

Sementara menurutnya kasus kekerasan terhadap anak itu tidak terlalu berpengaruh.  Tetapi yang terpenting penilaian terhadap hak-hak anak apakah terpenuhi atau tidak,  termasuk salah satunya hak perlindungan, bukan karena banyaknya kasus kekerasan terhadap anak.

"Semua regulasi sudah tersedia tapi dijalankan secara maksimal atau tidak, oleh semua elemen. Mari semua opd terkait maksimalkan program untuk anak, kemudian data-data yang kita miliki harus valid," imbuh H. Ahmat.

2. LPA sebut Lotim zona merah kasus kekerasan anak

Ketua LPA Lotim Judan Putrabaya (Dok. Pribadi/Ruhaili)

Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Lombok Timur (Lotim) menyebut Lotim zona merah kasus kekerasan seksual pada anak. Pada tahun 2022- 2023 ini, LPA Lotim mencatat sebanyak 15 kasus kekerasan seksual anak dengan korban sebanyak 50 orang.

Jumlah kasus tersebut dihitung berdasarkan data laporan yang ditangani LPA Lotim. Parahnya, dari 15 kasus tersebut, sebagian besar terjadi di lingkungan pendidikan yang korbannya merupakan siswa dan santri.

Ketua LPA Lotim Judan Putrabaya berharap pemerintah dan juga Aparat Penegak Hukum (APH) harus bersikap tegas terhadap para pelaku. Menurut Judan, dalam implementasinya banyak hal yang perlu dibenahi. Tidak saja berbicara soal regulasi yang membahas pencegahan, tetapi terkait juga dengan alokasi anggaran yang memadai, terutama dinas yang menangani anak. 

"Kasus kekerasan seksual ini berdampak sangat nyata sekarang, bukan hanya secara fisik mereka sangat merasa terganggu, namun juga tidak sedikit di antara korban menjadi anak yang tertutup dalam menghadapi permasalahannya itu," pungkasnya.

Baca Juga: Difabel di Lotim Tetap Bisa Memilih Meski Tak Punya Adminduk

Berita Terkini Lainnya