Bencana Abrasi Hantui Warga Mataram hingga Gili Trawangan

Walhi desak Perda Zonasi Wilayah Pesisir dievaluasi

Mataram, IDN Times - Bencana abrasi pantai menghantui warga pesisir di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Mulai dari pesisir Kota Mataram hingga Gili Trawangan, Meno dan Air (Tramena), yang menjadi daerah tujuan para pelancong untuk berwisata, abrasi pantai kian parah.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB mengatakan maraknya investasi yang merampas ruang hidup dan ruang kelola rakyat menjadi pemicu semakin tingginya ancaman abrasi pantai. Keleluasaan investasi yang tidak pro rakyat mendegradasi lingkungan hidup di daerah-daerah pesisir.

1. Warga pesisir Kota Mataram tiap tahun dihantui banjir rob

Bencana Abrasi Hantui Warga Mataram hingga Gili TrawanganWarga Lingkungan Mapak Indah Kota Mataram membuat Bronjong untuk mencegah hantaman ombak besar. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Salah satu daerah yang sering terjadi banjir rob akibat gelombang pasang di Kota Mataram adalah Lingkungan Mapak Indah Kelurahan Jempong Baru Kecamatan Sekarbela. Di daerah itu, bibir pantai sudah terkikis hampir mencapai 100 meter sejak beberapa tahun terakhir.

Salah seorang warga Lingkungan Mapak Indah, H. Muhammad Mashur yang ditemui IDN Times, Jumat (5/8/2022) menyebutkan sebanyak dua unit rumah warga ambles akibat gelombang tinggi yang terjadi sejak awal Agustus ini. Bronjong penahan gelombang yang dibangun masyarakat secara swadaya rusak dihantam ombak.

"Dua rumah warga yang sudah rusak. Bekas temboknya yang rusak dihantam ombak kita pakai buat bronjong," tutur Mashur disela-sela membuat bronjong di Pantai Mapak Indah.

Mashur mengungkapkan abrasi pantai sudah kian parah. Bibir pantai yang terkikis ombak telah mencapai 100 meter. Bencana abrasi pantai terus berulang tiap tahun. Bahkan, sekarang bronjong yang telah dibangun masyarakat secara swadaya sudah hancur.

Mashur menceritakan ketika terjadi gelombang pasang, tinggi ombak bisa mencapai 5 meter atau atap rumah warga. Rumah warga terendam banjir rob hingga satu meter. Sehingga ketika terjadi gelombang tinggi seperti saat ini, warga cukup was-was.

"Kalau malam gak tidur-tidur. Warga takut rumahnya ambruk. Sehingga kalau malam mengungsi di rumah warga lain," ungkapnya.

Baca Juga: Bahaya! Kerusakan Terumbu Karang di Gili Trawangan Sudah Parah

2. Abrasi di Gili Tramena akibat kerusakan terumbu karang

Bencana Abrasi Hantui Warga Mataram hingga Gili TrawanganAbrasi pantai di Gili Air Lombok Utara. (Dok. Istimewa)

Selain wilayah pesisir Kota Mataram, abrasi pantai juga kian parah di Gili Tramena yang menjadi daerah tujuan para pelancong. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) NTB, Muslim mengatakan abrasi di Gili Trawangan, Meno dan Air disebabkan gelombang dan arus laut yang besar.

Ditambah dengan ekosistem perairan bawah laut yang mulai tergerus. Sehingga kecepatan arus yang menghantam Gili Tramena, tidak lagi mampu difilter oleh ekosistem bawah laut yang ada di sana. Abrasi pantai di kawasan yang menjadi tujuan wisatawan domestik dan mancanegara itu telah menjadi keluhan warga setempat.

Masyarakat sudah menyampaikan keluhannya kepada Gubernur NTB saat berkunjung ke Gili Trawangan pada awal tahun 2022 ini. Ancaman abrasi yang kian parah di Gili Tramena bahkan menjadi atensi Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves). Deputi Perencanaan Ruang Laut Kemenko Marves telah melakukan tinjauan lapangan sekitar dua bulan lalu.

"Sudah ada upaya penanganan, tinggal kita tunggu progres, karena situasi fiskal negara juga yang terbatas ini. Rencananya tahun ini, cuma kami masih menunggu juga. Yang support dan atensi ini kan dari Kemenko Marves," kata Muslim.

Abrasi pantai di Gili Tramena disebabkan kerusakan terumbu karang yang masuk kategori cukup tinggi. Tingkat kerusakan terumbu karang lebih dari 50 persen. Apabila kondisi terumbu karang dan mangrove masih bagus maka dapat menghambat abrasi pantai.

Selain itu, vegetasi yang berada di pinggir pantai jangan sampai ditebang karena dapat mengurangi ancaman dari abrasi. Untuk mengatasi abrasi di Gili Trawangan, akan dibuat tanggul di tempat abrasi dan penanaman mangrove. Serta pelaksanaan pembuatan kebun bibit karang dan lain-lain berkaitan dengan pesisir.

Pemerintah Pusat telah menetapkan Lombok dan Gili Tramena menjadi Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) setelah terbitnya Perpres No. 84 Tahun 2021. Dalam Perpres No. 84 Tahun 2021 dijelaskan bahwa pengembangan Lombok dan Gili Tramena meliputi Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) Lombok, Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air.

Ditegaskan bahwa destinasi tersebut masuk dalam kawasan strategis pariwisata nasional. Dalam pengembangan itu, banyak pihak yang terlibat. Mulai dari pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. Untuk pemerintah daerah, tanggung jawab diberikan pada Pemerintah Provinsi NTB, Pemerintah Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Utara, Lombok Timur, dan Pemerintah Kota Mataram.

Baca Juga: Hilang Dekat Jalur Kapal Tanker, Nelayan Lombok Belum Ditemukan 

3. Walhi sebut ada praktik perampasan ruang laut di NTB

Bencana Abrasi Hantui Warga Mataram hingga Gili TrawanganBibir pantai Mapak Indah Kota Mataram yang terkikis akibat abrasi. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Direktur Eksekutif Daerah Walhi NTB, Amri Nuryadin menegaskan bahwa di Provinsi NTB telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2017-2037. Namun masih jauh dari harapan untuk memberikan ruang sebesar-besarnya bagi rakyat.

Sebaliknya, yang terjadi adalah maraknya investasi yang merampas ruang hidup dan ruang kelola rakyat. Terlebih lagi sejak UU Cipta Kerja diterbitkan sehingga memberikan keleluasaan investasi yang tidak pro rakyat dan mendegradasi lingkungan hidup.

Amri menyebutkan penguasaan lahan, ruang hidup dan ruang kelola rakyat untuk berbagai proyek strategis nasional di Pulau Lombok, terutama untuk pariwisata. Secara keseluruhan di Pulau Lombok mencapai 16.279,30 hektare yang sebagian besarnya berada di kawasan pesisir. Yaitu Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Lombok Tengah.

Secara khusus di Kabupaten Lombok Tengah, hampir seluruh pesisir laut pantai selatan adalah wilayah pariwisata. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK Mandalika sendiri, menguasai lahan hingga 1.250 hektare. Mencakup sekitar 18,14 Km bibir pantai, dan menghilangkan ratusan hektare rawa dan hutan mangrove. Serta hilangnya akses rakyat atas 8 teluk menjadi wilayah private yang sebelumnya adalah wilayah kelola rakyat, baik untuk aktivitas nelayan dan budidaya rumput laut.

Amri menambahkan, hilangnya ruang hidup dan ruang kelola rakyat, serta ancaman perusakan lingkungan hidup, juga terjadi di Gili Trawangan, Meno dan Air. Ia menyebut, PT. Tiara Cipta Nirwana (PT. TCN) adalah perusahaan pemegang kontrak kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) tentang investasi pengelolaan air bersih di tiga gili, sejak tahun 2017. Dengan pengolahan menggunakan teknologi Sea Water Reserve Osmosis (SWRO) atau sistem penyulingan air laut.

Saat ini, PT. TCN sedang dalam proses pembangunan fasilitas SWRO-nya di Gili Trawangan. PT. TCN membuat bangunan bawah tanah yang sangat besar, tepat di bibir/sempadan pantai utara Gili Trawangan sebagai tempat penampungan air laut dan pompa intake dilengkapi dengan 3 turbin besar.

Tempat tersebut sebelumnya merupakan lokasi penangkaran penyu, dan merupakan spot menyelam (diving) dan wilayah tangkap nelayan. Pembangunan fasilitas saat ini dan operasinya ke depan berpotensi meninggalkan dampak perusakan yang serius atas lingkungan dan air bersih akibat intrusi air laut.

Sedangkan Gili Meno, lanjut Amri, kerusakan lingkungan, khususnya di kawasan konservasi mangrove untuk pembangunan hotel oleh PT. BASK. Keberadaan hotel PT. BASK memberikan ancaman kerusakan ekosistem mangrove yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan abrasi pantai dan ancaman risiko bencana lainnya di pesisir Gili Meno.

Selain itu, ancaman kerusakan lingkungan dan ruang hidup serta ruang kelola nelayan juga disebabkan oleh maraknya investasi di wilayah pesisir. Selain untuk pariwisata seperti pembangunan akomodasi, dan infrastruktur lainnya, juga disebabkan oleh pembangunan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan perlindungan sempadan pantai dan wilayah-wilayah konservasi laut.

Salah satunya investasi untuk tambak, seperti tambak udang di Labuan Lombok yang dibangun di atas lahan seluas 30 hektare. Di mana wilayahnya telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Timur sebagai salah satu desa wisata.

Baca Juga: Pemerintah Targetkan Realisasi Investasi Rp18,5 Triliun di NTB

4. Ancaman kerusakan di Pulau Sumbawa

Amri juga menuturkan, ancaman perusakan lingkungan juga terjadi di Pulau Sumbawa, terutama disebabkan oleh operasi tambang dan alih fungsi lahan dalam skala besar di wilayah pesisir.

Sejumlah pertambangan besar yang menguasai lahan skala luas wilayah pesisir di Pulau Sumbawa antara lain PT. AMNT di Kabupaten Sumbawa Barat..AMNT merupakan tambang emas yang sudah beroperasi puluhan tahun di atas lahan ribuan hektare.
K

emudian PT. Sumbawa Timur Mining (PT. STM) di Hu’u Kabupaten Dompu, yang menjalankan operasinya di atas kawasan hutan yang juga merupakan wilayah pesisir. Selain itu, proyek smelter di Kabupaten Sumbawa Barat yang digadang akan dibangun oleh dua perusahaan besar, yaitu: PT. China Nonferrous Meta Industri Foreign Engineering Construction Co., Ltd (NFI), dan PT. PIL Indonesia.

Untuk itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diminta mengevaluasi Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah disahkan di 28 provinsi karena banyak memberikan dampak buruk. Setidaknya ada lima masalah genting yang dilahirkan oleh Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pertama, tidak menempatkan masyarakat pesisir seperti nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan, termasuk tidak dilibatkan sejak penyusunan Perda Zonasi.

Kedua, alokasi ruang hidup dan ruang tangkap masyarakat pesisir, khususnya nelayan sangat kecil dibandingkan dengan alokasi ruang untuk kepentingan pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan baik pasir maupun migas pariwisata, konservasi, dan sejumlah proyek lainnya.

Ketiga, penyusunan Perda Zonasi lebih banyak mengakomodasi serta memberikan kepastian hukum untuk kepentingan pebisnis, bukan masyarakat pesisir.
Keempat, dengan banyaknya mengakomodasi proyek tambang, Perda Zonasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan serta kesehatan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

Kelima, mencampur adukan kawasan tangkap nelayan tradisional dengan kawasan pemanfaatan umum lainnya. Hal ini mempersempit kawasan tangkap sekaligus melanggengkan perampasan ruang laut.

Pemerintah dituntut untuk memprioritaskan perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang akan tenggelam akibat krisis iklim dengan cara mengevaluasi dan mencabut berbagai konsesi proyek ekstraktif dan eksploitatif yang membebani pesisir dan pulau-pulau kecil.

Baca Juga: Polda NTB Gagalkan Penyelundupan 1,7 Kg Ganja di Lombok Timur 

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya