Tanggapan Pakar Lingkungan Hidup Prof Emil Salim tentang Komodo

Prof Emil:binatang tak hidup sendiri, ekosistem harus dijaga

Jakarta, IDN Times - Taman Nasional Komodo merupakan salah satu destinasi yang banyak dikunjungi wisatawan. Namun, hal ini justru berdampak menjadi suatu ancaman bagi ekosistem di Taman Nasional Komodo, dikarenakan minimnya kesadaran wisatawan akan pengetahuan lingkungan pada destinasi yang dituju.

Untuk itu, destinasi wisata yang berlokasi di Nusa Tenggara Timur (NTT) ini memerlukan adanya program konservasi dan penerapan pariwisata berkelanjutan dalam menunjang kelestarian mutu destinasi. Hal ini berguna untuk mempertahankan ekosistem makhluk hidup di dalamnya. Termasuk menjaga kelestarian kehidupan satwa liar (wildlife) dari komodo yang sejak September 2021 statusnya terancam punah dan telah termasuk dalam daftar merah International Union for Conservation (IUCN).

Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Pertama (1978 - 1993), Prof H Emil Salim, MA, PhD yang pada awal masa jabatannya menetapkan Taman Nasional Komodo sebagai salah satu Taman Nasional pertama di Indonesia mengatakan, bahwa Taman Nasional Komodo merupakan wisata yang berbeda dengan wisata Bali, wisata kebudayaan atau wisata tempat lain.

"Wisata komodo adalah wisata dengan living creature yang unik yang merupakan binatang yang historis." ujarnya dalam siaran pers yang diterima IDN Times pada Selasa (26/7/2022).

Prof Emil menambahkan wisata komodo adalah wisata dengan nyawa hewan. Bukan wisata barang mati seperti Borobudur atau lainnya. Komodo adalah makhluk hidup yang keunikannya justru menjadi daya tarik.

"Nah jika demikian halnya, maka komodo sebagai makhluk hidup, harus kita pertahankan," ujarnya.

1. Jangan mengacu pada kuantitas tamu

Tanggapan Pakar Lingkungan Hidup Prof Emil Salim tentang KomodoSeorang wisatawan sedang melihat rusa (dok System Dynamics Center)

Menurut Prof Emil, strategi pariwisata di daerah komodo jangan diletakkan pada jumlah kuantitas tamu, tapi pada keterbatasan kualitas tamu. Menurutnya, selama ini komodo dianggap objek yang berhak dimanfaatkan, tak peduli ekosistem berubah atau tidak. Tidak peduli berapa pengunjung yang datang. Binatang tidak hidup sendiri, bergantung pada ekosistem di sekitarnya. Sedangkan kita masih melakukan pembangunan, tak peduli dengan dampak lingkungan.

"Maka jangan jumlah pengunjung menjadi kriteria. Yang menjadi objek wisata adalah makhluk hidup, bukan barang mati. Apabila ekosistemnya terganggu bisa mengganggu ekuilibrium kehidupan komodo, yang mana kita tidak punya ahlinya," paparnya.

Prof Emil menyarankan orientasi terhadap komodo harus berubah. Komodo bukan sebagai objek turis saja tapi sebagai makhluk unik. "Ribuan tahun masih hidup di Republik Indonesia ini. Masha Allah, ini adalah kekayaan luar biasa," ujarnya. 

2. Binatang tak bisa hidup sendiri

Tanggapan Pakar Lingkungan Hidup Prof Emil Salim tentang Komodohttps://unsplash.com/GuillaumeMarques

Prof Emil juga menyampaikan bahwa suatu binatang tidak bisa hidup sendiri, melainkan ia bergantung pada ekosistem di sekitarnya, sementara manusia sembarangan mengakses habitatnya. Termasuk membuang sampah sembarangan hingga melakukan penggunaan lahan.

“Tidak ada yang peduli pada dampak dari penggunaan lahan, perubahan iklim, suhu, serta alam. Tidak ada yang peduli. Yang penting wisatawan dapat hotel, dapat berwisata, dan dapat naik kapal. Apakah ada yang peduli dengan komodo? Tidak ada. Yang penting uang, uang, dan uang,” ucap Prof Emil.

Maka dari itu, kedepannya strategi pengelolaan Taman Nasional Komodo tidak hanya menjadikan jumlah wisatawan sebagai patokan, melainkan berapa besar toleransi yang dapat diterima oleh ekosistem komodo dan makhluk hidup lainnya.

Selain itu, harga masuk perlu dinaikkan sebagai kompensasi untuk mengembalikan apa yang hilang dari ekosistem Komodo dan makhluk hidup lainnya di kawasan. Tidak hanya untuk mewujudkan pariwisata yang bertanggung jawab, tetapi juga mengedepankan prinsip serta praktek konservasi dalam melestarikan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ada duanya.

"Perlakukan Komodo sebagai binatang yang terhormat dan luhur. Jangan rombak pulau, jangan datangkan wisata demi perut semata." tutup Prof Emil

Baca Juga: Antisipasi PMK, Pengiriman Ternak dari NTB ke NTT Ditutup Total

3. Kapasitas maksimal wisatawan sebanyak 292.000 per tahun

Tanggapan Pakar Lingkungan Hidup Prof Emil Salim tentang KomodoKomodo di Pulau Komodo. (IDN Times/Hana Adi Perdana)

Dalam menunjang program konservasi dan pariwisata berkelanjutan, kajian daya dukung daya tampung berbasis jasa ekosistem dilakukan untuk mengetahui batas kemampuan Taman Nasional Komodo dalam menampung jumlah wisatawan.

Berdasarkan pertumbuhan wisatawan dan ekonomi, pertumbuhan wisatawan 1,33 kali (2013-2016) menjadi 2,05 kali (2016-2019) dan nilai ekonomi Manggarai Barat sebesar 1,7 kali (2013-2016) mengalami penurunan menjadi 1,5 kali (2016-2019). Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berbanding terbalik dengan pertumbuhan wisatawannya.

Kepadatan pariwisata yang terjadi di Taman Nasional Komodo secara tidak langsung dapat memengaruhi kelangsungan hidup Komodo dan makhluk hidup lainnya.Diperoleh dari hasil kajian, bahwa kapasitas ideal Taman Nasional Komodo dalam menampung wisatawan ialah sebanyak 219.000 dan maksimal sebanyak  292.000 kunjungan per tahun.

Hal itu dilihat dari panjang jalur terpendek trekking, lama berjalan rata-rata wisatawan, lama berkunjung wisatawan dan tingkat kenyamanan berwisata serta dengan mempertimbangkan nilai jasa ekosistem di dalamnya.

Jika jumlah kunjungan lebih dari nilai maksimal dapat menyebabkan jasa ekosistem berkurang, mulai dari jasa ekosistem sumberdaya genetik, jasa ekosistem biodiversitas, jasa ekosistem penyediaan air bersih, jasa ekosistem pengaturan iklim, jasa ekosistem produksi primer (oksigen), jasa ekosistem ruang hidup, jasa ekosistem ecotourism, jasa ekosistem estetika dan lainnya yang diperkirakan nilainya mencapai Rp11 triliun.

Sedangkan jika dilakukan pembatasan maka nilai yang hilang menurun menjadi Rp10 miliar dan masih mampu dilakukan perbaikan serta pemulihan dengan tetap mendapatkan nilai manfaat secara ekonomi dan berkelanjutan.

Pengurangan nilai Jasa Ekosistem dipengaruhi oleh dua faktor, faktor geologis dan faktor sosial. Faktor geologis ditunjukkan dengan adanya pengaruh dari perubahan iklim terhadap kadar produktivitas primer (Oksigen) dalam keterbatasan daya dukung dan daya tampung wilayah kedepannya.

Untuk nilai produktivitas primer pada tahun 2021 sebesar 2.198.677.815 kg/tahun yang bersumber dari luasan hutan, savana, terumbu karang serta ketersediaan zona pelagis, dan akan pada tahun 2045 akan mengalami penurunan menjadi sebesar 1.099.338.907 kg/tahun. Sedangkan faktor sosial, seperti penggunaan lahan untuk pembangunan homestay yang mengakibatkan terjadinya pengurangan cadangan air tanah, banyaknya sampah ataupun limbah dari wisatawan baik di darat maupun wilayah perairan.

Dr. Irman Firmansyah, yang memimpin Tim Kajian Daya Dukung Daya Tampung Berbasis Jasa Ekosistem di Taman Nasional Komodo DI Jakarta mengatakan jika upaya konservasi yang ketat tidak diberlakukan, dan kunjungan wisatawan tidak dibatasi, maka akan terlihat penurunan signifikan dalam nilai jasa ekosistem di dalam Taman Nasional Komodo, terutama di Pulau Komodo dan Pulau Padar.

“Jangan heran jika kegiatan pariwisata pun akan ikut punah,” ujarnya.

4. Tentang System Dynamics Center

Tanggapan Pakar Lingkungan Hidup Prof Emil Salim tentang KomodoPrescon oleh SDC (dok System Dynamics Center)

System Dynamics Center (SDC) merupakan lembaga pelatihan yang bersertifikat langsung dari Powersim Software Internasional, sebagai perwakilannya di Indonesia (Powersim Indonesia) untuk memberikan pelatihan, mendistribusikan lisensi dan mengembangkan program.

Sasarannya ke universitas dan institusi di Indonesia yang memerlukan analisis dengn pendekatan System Dynamics. SDC juga rutin melakukan penelitian dan studi tentang perencanaan kebijakan, pengembangan laboratorium kebijakan, pengembangan repositori satu portal dan pusat pelatihan, serta untuk penguatan data menuju big data science dan data intelligence.

Sejak tahun 2007, SDC telah merangkul pakar-pakar Sistem Dinamik dari berbagai universitas untuk mendukung Kajian/Penelitian kebijakan berdasarkan pendekatan Sistem Dinamik. SDC telah bekerja sama dalam melakukan berbagai kajian dengan berbagai lembaga pusat studi, lembaga swasta, lembaga pemerintah daerah dan pusat (Kementerian) serta Perguruan Tinggi.

System Dynamics Center berperan dalam penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas yang mewadahi para peneliti, perencana dan pengambil keputusan untuk membuka filosofi, pemahaman serta penerapan suatu implementasi pendekatan System Dynamics. Implementasi SDC memberikan kemudahan proses belajar mandiri (merdeka belajar) bagi perguruan tinggi.

Seiring dengan pesatnya perkembangan pemanfaatan System Dynamics sebagai salah satu metodologi untuk proses pembuatan kebijakan, banyaknya minat pelatihan baik dari  dosen, mahasiswa, peneliti, perencana, konsultan, pelaku usaha, pejabat pemerintah di tingkat nasional dan daerah yang menjadi peserta pelatihan dan/atau penelitian serta kajian sistem dinamik.

SDC sering dilibatkan dalam penilaian proses pembuatan kebijakan baik di tingkat nasional maupun daerah. SDC menjalin kerjasama yang kuat dengan lembaga dan mitra lain berdasarkan MoU atau bentuk perjanjian hukum lainnya. Selanjutnya SDC mengembangkan jaringan melalui penandatanganan MoU dengan universitas dan institusi yang menggunakan system dynamics dalam kajiannya.

Baca Juga: Pemprov NTT Tetapkan Tarif Masuk Pulau Komodo dan Padar Rp3,75 Juta

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya