Kisah Pilu Warga Pesisir Bima, Tinggal di  Rumah Kumuh dan Krisis Air

Harap pembebasan lahan dan bantuan bedah rumah

Kota Bima, IDN Times - Kisah pilu dialami sejumlah Kepala Keluarga (KK) yang menempati wilayah pesisir di Kelurahan Melayu Kecamatan Asakota, Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Tidak hanya mengeluhkan tentang rumah tidak layak huni, mereka juga menderita kesulitan air bersih.

Krisis air yang mereka alami tidak hanya saat musim kemarau seperti saat ini, tapi juga ketika musim hujan. Kondisi tersebut, memaksa mereka merogoh kocek setiap hari untuk bisa mendapatkan air bersih.

1. Tempati rumah kumuh berlantai tanah dan beratap terpal

Kisah Pilu Warga Pesisir Bima, Tinggal di  Rumah Kumuh dan Krisis AirFoto ibu Asia ketika menunjukan bagian dapur rumahnya (IDN Times/Juliadin)

Salah seorang warga setempat bernama Asia mengaku senang didatangi wartawan. Dengan harapan semua keluh kesahnya selama mendiami wilayah pesisir, bisa dilihat dan didengarkan langsung oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bima. 

Kepada IDN Times, ibu lima anak ini membeberkan jika selama ini menempati rumah yang tidak layak huni. Bahkan untuk memastikan kondisi itu, dia sempat menunjukkan semua sisi di dalam rumahnya.

Benar saja, dari pantauan langsung di lokasi, dia menempati rumah yang kondisinya nyaris roboh. Hanya dibuat dari kayu lapuk, beratap seng bercampur terpal dengan berlantai tanah.

Sementara bagian dinding, dibuat dengan papan kayu dan ditambal pakai bambu bekas yang diambil dari sampah bawaan arus gelombang laut. Sedangkan isi rumah, nyaris tidak ada barang berharga.

Yang ada hanya terpantau satu unit lemari lapuk yang kini termakan usia, dua kamar tidur dan sejumlah peralatan perabotan rumah tangga. Kondisi ini, tidak heran jika pakaian dan barang mereka tampak berserakan di semua sisi rumah.

"Kalau lagi musim hujan, di semua sisi bocor dan lantainya becek. Namanya lantai tanah, tahu sendiri kan gimana keadaannya," ungkap dia, Selasa (30/8/2022).

Baca Juga: Pemda Bima Cuek, Warga Donggo Patungan Perbaiki Jalan Rusak

2. Kondisi ekonomi tidak memungkinkan meningkatkan kwalitas rumah

Kisah Pilu Warga Pesisir Bima, Tinggal di  Rumah Kumuh dan Krisis Airilustrasi uang tunai baru (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah)

Dengan kondisi saat ini, dia menaruh harapan kepada pemerintah daerah agar dirinya bisa mendapatkan bantuan bedah rumah seperti warga lain. Jika bukan tahun ini, paling tidak mereka mengakomodir pada tahun 2023 atau 2024 mendatang. 

"Sangat saya harapkan bantuan bedah rumah dari pemerintah. Dulu saya pernah didata sebagai calon penerima bantuan itu, tapi gak jadi sampai sekarang," keluh dia.

Sementara ingin membangun sendiri, dengan kondisi ekonomi yang mencekik saat ini dirasa sulit untuk dijangkau. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja susah untuk diperoleh, apalagi mau bangun rumah yang membutuhkan banyak biaya.

Suaminya bekerja sebagai buruh musiman di pelabuhan dan sesekali menjadi buruh tani. Tergantung jika ada yang membutuhkan jasanya. 

"Misalnya jadi buru di Pelabuhan Bima, sehari hanya dikasih upah paling tinggi Rp100 ribu. Sementara buruh di lahan warga, kadang diberi Rp70 ribu hingga Rp100 ribu per hari," jelasnya.

Jika tak ada yang menggunakan jasa suaminya, dia bersama suaminya terkadang harus berjibaku mencari kerang di sekitar pantai di Pelabuhan Bima. Hasilnya, lalu dijual keliling dari satu kampung ke kampung yang lain.

"Dari hasil itu buat beli beras dan lain-lain. Kalau gak bekerja begitu, kami mau makan apa," ungkapnya.

3. Krisis air bersih

Kisah Pilu Warga Pesisir Bima, Tinggal di  Rumah Kumuh dan Krisis AirIlustrasi droping air bersih. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

Selain kondisi rumah, Asia juga mengeluhkan kesulitan air bersih. Selama ini, ia bersama warga pesisir lain harus merogoh kocek untuk membeli air yang layak untuk dikonsumsi. Jika kondisi kantong menipis, bahkan mereka harus mengambil air wakaf di Desa Ule Kecamatan Asakota.

"Memang di sini ada airnya, cuma kadar garamnya tinggi serta agak bau. Air itu hanya boleh digunakan untuk mencuci, tidak untuk diminum," bebernya.

Sementara bantuan air dari pemerintah Kota Bima sejak Januari 2022 hingga akhir Agustus ini belum pernah mereka terima. Padahal, mereka sudah mengetahui jika di wilayah setempat ditetapkan sebagai lokasi rawan krisis air bersih.

"Seingat saya belum pernah. Mungkin ada di wilayah lain yang pernah diberikan air bersihnya," tutur Asia.

Senada juga disampaikan warga lain bernama Sri Juhari. Dia mengaku menempati rumah tidak layak huni, hanya beratap seng dan berdinding anyaman bambu.

Tidak banyak yang diharapkan dari ibu yang merangkap kepala keluarga ini, Pemkot Bima sekiranya dapat memberikan perhatian lebih ke warga yang menempati pesisir pantai. Terutama pembebasan lahan yang kini mereka tempati sudah bertahun-tahun.

"Lahan yang kami tempati saat ini milik PT Pelindo. Hal terpenting yang kami harapkan Pemkot bisa bebaskan lahan ini, seperti janjinya saat Pilkada beberapa tahun silam," harap Sri Juhari.

Baca Juga: Diduga Korsleting Listrik, Asrama Santri Ponpes di Bima Ludes Terbakar

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya