Investasi Menjamur, Konflik Pertanahan Bisa Jadi Bom Waktu di NTB

Walhi: Pemerintah harus kedepankan kepentingan warga

Mataram, IDN Times - Pengembangan Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) di Kawasan Mandalika, Kuta Lombok Tengah dan potensi pertambangan yang cukup besar di Pulau Sumbawa  menjadi daya tarik investor menanamkan investasinya di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun masuknya investasi selalu dibarengi dengan konflik pertanahan antara masyarakat, pemerintah daerah dan investor.

Bukan itu saja, ratuan kepala keluarga (KK) di Desa Sembalun menolak Hak Guna Usaha (HGU) lahan seluas 120 hektare. Lokasinya di Desa Sembalun Kecamatan Sembalun Lombok Timur Nusa Tenggara Barat.

Investasi yang semakin banyak dapat menjadi ancaman bagi masa depan pertanahan di NTB. Konflik pertanahan berlarut-larut membuat tenaga dan waktu Pemerintah tersita untuk mencari jalan keluar. Persoalan ini dapat menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja.

1. Kronologis proses HGU lahan petani di Sembalun

Investasi Menjamur, Konflik Pertanahan Bisa Jadi Bom Waktu di NTBPetani Sembalun tetap menolak HGU PT SKE di Sembalun/dok. Afif

Direktur Lembaga Studi Bantuan Hukum Provinsi Nusa Tenggara Barat Badarudin, SH menjelaskan awal proses peralihan lahan petani di Sembalun selama masa kepemimpinan Soeharto tahun 1960 lalu. Badarudin mengatakan, sejak kedatangan Soeharto di Sembalun tahun 1987 silam, lahan seluas 550 hektare dikuasai setahun setelah kedatangan Soeharto tahun 1988-1989.

“Kedatangan Soeharto 1987 di tanah itu dalam rangka panen bawang, melihat situasi itu, Soeharto pun menguasai 550 hektar sesuai izin HGU tahun 1988,” kata Badar sapaannya, Jumat (18/2/2022).

Setahun setelah Soeharto mengeluarkan izin lokasi lahan seluas 550 hektare. Tahun 1989, izin HGU atas nama PT Sembalun Kusuma Emas seluas 183 hektare.

“Tapi waktu itu belum dilakukan pembebasan di tanah HGU itu. Sedangkan pembebasannya tahun 1990. Setelah HGU keluar ada tiga tempat. Keluarlah pembebasan tahun 1990 sesuai berita acara pembebasannya,” katanya.

2. Persoalan lahan di Mandalika

Investasi Menjamur, Konflik Pertanahan Bisa Jadi Bom Waktu di NTBPak Sibawaih, pemilik lahan dekat Sirkuit Mandalika. (IDN Times/Aldila Muharma)

Sama halnya dengan persoalan lahan pada pembangunan daerah Destinasi Super Prioritas Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika.  Penasihat Satgas Penyelesaian Sengketa Lahan Kawasan Mandalika Profesor Zainal Asikin memberikan catatan soal lambatnya penyelesaian lahan sengkata di tengah pembanguan Sirkuit Mandalika yang mendapat sorotan PBB.

Dalam catatan Asikin, ada beberapa kasus lahan belum juga mendapat titik terang penyelesaian antara warga dan PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC).

“Sedikitnya ada 12  bidang lahan di area Sirkuit Mandalika belum selesai pada saat event MotoGP,” katanya.

Asikin menilai penyebab banyaknya sengketa lahan di area Sirkuit Mandalika adalah masih banyaknya kasus lahan di lingkungan internal warga yang bermukim di Mandalika. Penyelesaian sengketa lahan ini ujar Asikin diperkirakan tidak bisa selesai sebelum MotoGP.

“Ini menyelesaikan masalah yang rumit. Kita pelan-pelan agar mencapai hasil yang maksimal. Itu saja harapan kita bekerja secara normal saja yang penting kasusnya kita selesaikan secara objektif," tegas Asikin.

Dari data sementara, jumlah delapan bidang lahan sengketa di area Sirkuit Mandalika dengan rincinan sesuai data lampiran surat ahli waris yang diajukan ke ITDC Nomor: 0103/GUB/ITDC/2021 diperkirakan mencapai 7,8 hektar sesuai hasil pendataan sementara.

Berikut nama pemilik lahan yang diklaim masih Kawasan pembangunan sirkuit Mandalika antara lain: Amak Jinalim seluas 0,64 hektare di tikungan 4 (T4), Amaq Menar di T6-T7 seluas 0,95 hektare, Amak Bengkok dua bidang di T7-T8 seluas 1,5 hektare dan T12 1,3 hektare, Amak Kader 0,8 hektare di T13, Amak Labak 0,1 hektare di T13,  H Aman Yasin 1,3 hektare di T10 dan T11 dan Nursiwan di HPL 20 1,1 hektare.

3. Warga tergusur dari tempat tinggalnya

Investasi Menjamur, Konflik Pertanahan Bisa Jadi Bom Waktu di NTBKondisi rumah warga Dusun Ebunut Desa Kuta Mandalika yang masih bertahan di dalam area Sirkuit MotoGP Mandalika di lahan HPL nomor:22 IDN Times/Ahmad Viqi Wahyu Rizki

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi NTB meminta dalam menyelesaikan konflik pertanahan, Pemerintah jangan hanya mengedepankan investasi. Tetapi juga harus mengedepankan kepentingan masyarakat yang menjadi korban tergusur dari tempat tinggalnya. Jangan sampai konflik pertanahan menjadi bom waktu di NTB.

"Pemerintah harus menegaskan ruang-ruang wilayah kelola rakyat. Hasil investigasi Walhi, konflik agraria banyak mengorbankan rakyat, hanya mementingkan investasi saja," kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Provinsi NTB Amri Nuryadin saat berbincang dengan IDN Times di Mataram, Kamis (18/2/2022).

Disebutkan, konflik pertanahan di NTB terjadi dalam beberapa ruang lingkup. Antara lain kehutanan, lahan pertanian, pertambangan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dari 2 juta hektare luas daratan di NTB, sebesar 71 persen dikuasai negara dan investasi. Sedangkan tanah yang dikuasai rakyat hanya 29 persen.

Seperti kehadiran investasi di kawasan Mandalika, kata Amri, banyak warga yang dulunya menghuni daerah tersebut terdampak. Di kawasan Mandalika, Walhi menemukan setidaknya tiga hal yang menjadi konsentrasi. Di antaranya persoalan pembebasan lahan, belum jelasnya rencana detail tata ruang (RDTR) dan pengelolaan sampah.

Saat ini, kata Amri, kehadiran UU Omnibuslaw yang membuka ruang investasi seluas-luasnya pasti akan menimbulkan konflik besar di sektor pertanahan. Memang betul, investasi adalah penunjang dalam pembangunan. Yaitu cara meningkatkan kesejahteraan dan membuka lapangan kerja.

"Tapi banyak menyisakan konflik. Karena selalu mengedapankan investasi. Semasih regulasi berpihak kepada investor. Tak ada jaminan pemerintah berpihak kepada rakyat. Omnibuslaw yang ditunda dua tahun putusan MK tetapi tetap jalan seperti di NTB," katanya.

Dalam menyelesaikan konflik pertanahan, Pemerintah jangan mengedepankan represivitas. Aparat tetap menjalankan tugas sesuai fungsinya tetapi juga harus memberikan jaminan keamanan bagi rakyat yang terdampak.

"Kalau rakyat konflik dengan investasi, posisi negara tidak hanya mengedepankan investasi. Tapi juga mengedepankan kepentingan rakyat," ujar Amri.

Amri menegaskan Walhi tidak anti terhadap investasi. Tetapi investasi yang masuk diharapkan juga benar-benar menyejahterakan rakyat. "Ketika  berkonflik maka harusnya porsi pemerintah tidak lebih besar pada investasi," tandasnya.

Permasalahan administrasi pertanahan salah satu laporan atau pengaduan teratas yang diterima Ombudsman RI Perwakilan NTB. Pengaduan masalah administrasi pertanahan kadang menjadi urutan pertama dan kedua setelah sektor pendidikan.

Baca Juga: Ribuan Penonton MotoGP Mandalika, Konektivitas Bandara Disiapkan

4. 11 persen aduan pertanahan di Ombudsman NTB

Investasi Menjamur, Konflik Pertanahan Bisa Jadi Bom Waktu di NTBSeorang pekerja berada di tikungan ke 2 lintasan Mandalika International Street Circuit di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Pujut, Praya, Lombok Tengah, NTB, Minggu (15/8/2021). (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)

Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTB Adhar Hakim yang dikonfirmasi IDN Times di Mataram, Jumat (18/2/2022) menyebutkan pada 2021, pihaknya menerima sekitar 400 laporan, pengaduan dan konsultasi dari masyarakat. Dari aduan tersebut 43 persen sektor pendidikan, 11,01 persen sektor pertanahan, 9,32 persen sektor kepegawaian, 5,9 persen sektor kepolisian dan 5,08 persen sektor kesejahteraan sosial.

"Petanya di 34 provinsi di Indonesia mirip-mirip begitu. Kalau tidak urutan pertama maka kedua sebagai pengaduan terbanyak administrasi pertanahan. Selalu masuk lima besar substansi yang dilaporkan masyarakat," kata Adhar.

Permasalahan maladministrasi sektor pertanahan yang terjadi di NTB seperti penyimpangan prosedur, pelayanannya berlarut-larut, dan perbuatan melanggar hukum atau pungli. Sehingga wajar, kata Adhar,  kasus-kasus pertanahan selalu tinggi karena memang selalu terjadi.

"Alasan kedua, setiap jengkal yang kita injak ini memang tanah menjadi pelayanan yang bersifat massal. Pelayanan bersifat massal ini berpotensi menjadi permasalahan dan diadukan. Karena berhubungan dengan kepentingan masyarakat banyak," terangnya.

Oleh sebab itu, Ombudsman memberikan atensi terkait reformasi internal di sektor administrasi pertanahan Kantor Pertanahan dan Kanwil BPN. Selaain itu, koordinasi lintas sektoral antara BPN dengan Pemda kabupaten/kota dan provinsi.

Misalnya ketika ada pembebasan lahan untuk sektor pembangunan pariwisata dan lainnya. Potensi permasalahannya pertama sudah ada di Kantor Pertanahan. Kemudian potensi kedua, buruknya koordinasi dengan Pemda kabupaten/kota dan provinsi terutama kasus pembebasan tanah yang berskala besar maupun skala kecil seperti Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

"Yang menjadi catatan bagi kami bahwa setiap tahun BPN menjadi substansi yang paling banyak dilaporkan. Artinya, perubahan internal lamban dan koordinasi lintas sektoral," ucapnya.

5. Berawal dari administrasi pertanahan yang buruk

Investasi Menjamur, Konflik Pertanahan Bisa Jadi Bom Waktu di NTBIlustrasi sertifikat tanah. IDN Times/Istimewa

Adhar mengatakan konflik pertanahan yang terjadi di Mandalika, Gili Trawangan, Sembalun dan lainnya merupakan dampak administrasi pertanahan yang sejak awal tidak beres. Konflik-konflik pertanahan yang terjadi hanya sebuah dampak dari sebuah administrasi pertanahan yang tidak clear sejak awal dari potensi maladministrasi.

"Karena dari awal ndak dikelola dengan bagus administrasi pertanahannya. Begitu masalah baru shortcut atau jalan pendek untuk menenangkan. Jangan begitu karena masyarakat sudah mengalami kerugian moral, materil.  Ini sudah kadung kusut permasalahnnya," tambahnya.

Adhar mengatakan di mana ada potensi investasi, proyek "lapar" tanah atau proyek yang butuh lahan yang luas dan tertib administrasi pertanahan. Jika tidak dikelola dengan baik administrasi pertanahannya sejak awal maka sama dengan menyimpan bom waktu masalah pertanahan. "Kalau ini tak mampu terinventarisir dengan baik, konflik tinggal menunggu waktu," katanya.

Persoalan terkait dengan pertanahan akan menjadi isu yang semakin banyak ke depan jika tidak didesain kanal penyelesaian yang benar. Sehingga, ia  memahami upaya pemerintah yang mendorong percepatan administrasi pertanahan. Karena itu akan meminimalisir potensi-potensi konflik pertanahan.

"Persinggungan peta tanah antara wilayah yang berpotensi investasi dengan milik masyarakat secara pribadi banyak sekali. Sehingga memang bentuk upaya pencegahan konflik itu, terus membangun tertib administrasi pertanahan," ujarnya.

6. Penyelesaian persoalan tanah di gili

Investasi Menjamur, Konflik Pertanahan Bisa Jadi Bom Waktu di NTBsyakirurohman.net

Salah satu contoh baik dalam menyelesaikan konflik pertanahan di NTB adalah pengelolaan aset milik Pemprov NTB seluas 65 hektare di Gili Trawangan Desa Gili Indah Kecamatan Pemenang Lombok Utara. Setelah memutus kontrak kerja sama dengan PT. Gili Trawangan Indah (GTI) yang menelantarkan lahan tersebut puluhan tahun, Pemprov NTB menyerahkan pengelolaan aset tersebut dengan kerja sama bersama masyarakat.

Hal itu ditandai dengan ditandatanganinya kerja sama pemanfaatan aset tersebut antara Gubernur NTB, H. Zulkieflimansyah dengan masyarakat Gili Trawangan, Selasa (11/1/2022) lalu. Penadatanganan  perjanjian kerja sama pemanfaatan aset daerah antara Pemerintah Provinsi NTB dengan masyarakat dan pengusaha Gili Trawangan dilakukan setelah pemutusan kontrak dengan GTI.

Pemerintah Provinsi NTB mengakhiri perjanjian kontrak produksi No. 1 Tahun 1995 tentang pemanfaatan aset tersebut dengan PT. GTI yang ditandatangani 12 April 1995. Gubernur menegaskan, Pemerintah Provinsi NTB telah menghidangkan karpet merah kepada GTI untuk membangun Gii Trawangan menjadi lebih  baik. Namun, berkali-kali diingatkan agar segera merealisasikan investasinya tak kunjung dilaksanakan.

Penandatanganan kerja sama pemanfaatan aset ini dilakukan agar ada kepastian hukum bagi masyarakat setempat. Sehingga tidak lagi merasa  ditakut-takuti apalagi diteror. Penandatanganan kerja sama pemanfaatan aset ini juga dilakukan untuk meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah serius menangani Gili Trawangan dengan sebaik-baiknya.

Penandatangan perjanjian ini sebagai langkah awal menuai kebaikan  di kemudian hari. Pemerintah Provinsi NTB ingin menghadirkan investasi yang tenang, aman dan nyaman di daerah ini  khususnya Gili Trawangan.  Mengutip pernyataan Presiden Jokowi, Indonesia tidak mungkin maju ekonominya tanpa investor. Salah satu tempat investasi yang menarik  adalah Gili Trawangan.

Penadatanganan  perjanjian kerja sama pemanfaatan aset tersebut  membuat  masyarakat Gili Trawangan menjadi lega. Masyarakat setempat yang selama ini sebagian besar hidup dari sektor pariwisata mengaku senang setelah Gubernur NTB melakukan penandatanganan kerja sama pemanfaatan aset dengan masyarakat.

Salah satu pelaku usaha wisata Gili Trawangan, Abdilun  mengaku lega setelah ditandatanganinya perjanjian pemanfaatan aset Gili Trawangan antara masyarakat dengan Pemerintah Provinsi NTB. Bagi pemilik penginapan di Gili Trawangan ini, penandatanganan perjanjian kerja sama akan semakin memberikan kenyamanan dalam melakukan usaha wisata.

Berdasarkan hasil penilaian Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), nilai sewa aset Pemprov NTB di Gili Trawangan sebesar Rp3 juta per meter persegi atau Rp300 juta per are selama setahun. Sekretaris Satgas Optimalisasi Aset Gili Trawangan Pemprov NTB Lalu Rudi Gunawan mengatakan hasil penilaian DJKN tersebut tidak mungkin bisa dipakai karena banyak masyarakat yang tidak mampu.

Sehingga Gubernur mengambil kebijakan lain untuk membantu masyarakat Gili Trawangan. Yaitu, pengenaan biaya sewa mengacu kepada Perda Provinsi NTB, sebesar Rp25.000 per meter persegi atau Rp2,5 juta per are selama setahun.

Di samping itu, warga diberikan kelonggaran mencicil tergantung kemampuannya selama setahun. Jika sampai tahun ketiga tidak juga mampu mencicil, masyarakat melapor ke Pemprov NTB bahwa benar-benar tidak mampu sehingga akan diberikan keringanan 50 persen bahkan 100 persen.

Pihaknya sudah berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai hal ini. Bagi masyarakat yang benar-benar tidak mampu dapat diberikan keringanan hingga 100 persen.

"Kami sudah koordinasi dengan KPK, bagi masyarakat tidak mampu bisa melakukan itu. Tapi tahapan harus dilakukan," tandas Kabag Hukum Biro Hukum Setda NTB ini.

Tim Penulis : Muhammad Nasir, Ahmad Viqi Wahyu Rizki dan Linggauni

Baca Juga: 12 Bidang Lahan di Area Sirkuit Mandalika Masih Bersengketa

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya