TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Fenomena Psikologi yang Memengaruhi para Penggemar Olahraga

Memberi pesan kebencian termasuk masalah kejiwaan

ilustrasi menonton pertandingan sepak bola di stadion (pexels.com/Tembela Bohle)

Mataram, IDN Times - Kompetisi olahraga menarik perhatian banyak orang, terutama kaum laki-laki. Pertandingan olahraga tidak hanya menjadi waktu yang menyenangkan, tetapi juga menegangkan bagi para penggemar. Berbeda dengan penonton biasa yang hanya menonton pertandingan dan segera melupakannya, penggemar sejati melanjutkan ketertarikan mereka meskipun pertandingan telah usai.

Penggemar olahraga yang bersemangat akan tetap mendukung tim mereka apa pun hasilnya. Perilaku ini dapat dikaitkan dengan kondisi psikologis tertentu yang berhubungan dengan emosi penggemar. Berikut adalah beberapa di antaranya:

1. Fanxiety (kecemasan)

Fanxiety adalah gabungan kata "fan" dan "anxiety," yang menggambarkan kecemasan yang dirasakan oleh penggemar olahraga menjelang atau selama pertandingan. Kondisi ini biasanya memuncak menjelang akhir pertandingan. Penggemar yang mengalami fanxiety akan merasakan tangan berkeringat, jantung berdebar kencang, napas cepat, dan dada sesak, akibat perasaan gugup dan stres.

Menurut Dr. Janna Gordon-Elliott, psikiater klinis di NewYork-Presbyterian/Weill Cornell Medical Center, perasaan gugup ini tidak selalu negatif. Secara positif, kondisi ini menandakan semangat, persiapan, serta meningkatkan kewaspadaan dan fokus dalam menghadapi hasil pertandingan. Namun, jika gejalanya berlebihan, bisa diatasi dengan berolahraga atau aktivitas fisik lain untuk membantu tubuh lebih tenang atau rileks.

2. BIRGing dan CORFing (mencari kebanggaan)

BIRGing adalah kondisi di mana penggemar ikut merasakan kegembiraan ketika tim kesayangan mereka menang. Mereka merasa hebat dan seolah terlibat langsung dalam kemenangan tersebut, sering menggunakan kata "kita" menang untuk menggambarkan perasaannya.

Istilah ini pertama kali muncul dalam penelitian Robert Cialdini pada 1970-an. Ia dan rekannya meneliti organisasi pelatihan sepakbola terbesar (National Collegiate Athletic Association), di mana para siswa cenderung mengungkapkan kemenangan tim sekolah mereka dengan "kami menang, kami berhasil." Penggunaan atribut sekolah juga meningkat setelah kemenangan.

Sebaliknya, CORFing adalah kondisi ketika tim yang didukung kalah, dan penggemar menjauhkan diri dari kekalahan tersebut. Kata yang digunakan berubah dari "kita" menjadi "mereka." Istilah ini diperkenalkan oleh C.R. Snyder, MaryAnne Lassergard, dan Carol E. Ford. Selain fenomena menjauhkan diri, penggemar juga sering menyalahkan faktor luar, seperti wasit atau aturan pertandingan yang dianggap tidak adil.

Baca Juga: BP3MI Kawal Proses Hukum Pelaku Penembakan TKI NTB di Malaysia

3. Disinhibition (kebebasan bertindak)

Penggemar sering merasa lebih bebas mengekspresikan diri secara impulsif. Mereka berteriak, bersorak, dan tos dengan orang asing di sekitar mereka, bahkan yang biasanya pendiam sekalipun. Namun, tindakan berlebihan ini dapat memicu kegaduhan, baik setelah kemenangan maupun kekalahan.

Perilaku ini didorong oleh pikiran, perasaan, dan rangsangan eksternal tanpa mempertimbangkan konsekuensi di masa depan. Menurut The Behavioral Scientist, perilaku ini mengacu pada pengurangan atau hilangnya kontrol diri akibat kondisi kejiwaan, penggunaan zat, keadaan emosional, serta faktor sosial dan lingkungan.

Reaksi spontan penggemar dapat semakin memungkinkan dengan adanya internet, yang sering dianggap sebagai “ruang aman” untuk memposting pesan kebencian di media sosial tanpa memikirkan konsekuensi. Menurut Sports Networker, kendala normal seperti norma jangka panjang dan kesadaran diri hilang, menyebabkan penggemar bertindak berdasarkan emosi dan motivasi tanpa pertimbangan.

4. Superstitious behavior (percaya takhayul)

Perilaku ini merujuk pada tindakan atau ritual yang diyakini penggemar dapat memengaruhi hasil pertandingan. Berdasarkan keinginan untuk mengontrol, terutama saat menghadapi ketidakpastian, perilaku ini dapat berupa mengenakan pakaian tertentu, duduk di tempat tertentu, atau membeli makanan tertentu selama pertandingan.

Tindakan ini sering diyakini memiliki hubungan sebab akibat dengan hasil pertandingan, meskipun tidak ada bukti logis yang mendukung keyakinan ini. Menurut penelitian Shana M. Wilson, perilaku takhayul dapat terjadi saat dihadapkan pada situasi yang membuat cemas dan dapat dipengaruhi oleh hasil pertandingan, lokasi tim, dan kualitas permainan.

Verified Writer

Hanna Ridha

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya